Mengenang Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Wanita Asal Maluku, Martha Christina Tiahahu

Mengenang Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Wanita Asal Maluku, Martha Christina Tiahahu

Pahlawan kemerdekaan bermunculan saat Indonesia dijajah selama 3,5 abad. Salah satunya ialah pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku, Martha Christina Tiahahu, nan lahir di Desa Abubu, Pulau Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah, 4 Januari 1800. Pahlawan kemerdekaan Maluku ini terlahir dalam keluarga Tiahahu dari kelompok Soa Uluputi.

Soa dalam bahasa Maluku memiliki arti kelompok nan membagi masyarakat berdasarkan marganya sebagai bukti diri asal-usul keluarga. Sebagai putri seorang kapitan, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini dididik secara disiplin oleh Sang Ayah. Sang Ibu telah meninggal global saat pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini masih belia sehingga seluruh tanggung jawab mengasuh, mendidik, serta membesarkannya ditangani oleh Sang Ayah.

Karena sejak kecil dekat dengan ayahnya, dia memahami tingkah laku dan sikap ayahnya. Bahkan tanpa disadari, dia meniru seluruh tingkah laku ayah, terutama masalah keberanian. Berkat didikan Sang Ayah, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini turut angkat senjata buat mengusir Belanda. Di kalangan pejuang dan masyarakat, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini dikenal sangat pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Dia pun mendapat julukan “Si Mutiara dari Nusa Laut”.

Perempuan pada masa prakemerdekaan kerap disamakan dengan dapur dan mengurus anak. Bahkan sampai sekarang, masih banyak orang nan memiliki asumsi seperti itu. Namun, Martha Christina Tiahahu, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku, membuktikan bahwa tak selamanya kaum wanita hanya bekerja di dapur dan mengurus anak. Dia merupakan sedikit dari wanita Indonesia nan dalam hidupnya berperan sejajar dengan kaum pria, bahkan dalam urusan membela bangsa dan negara. Dia menghabiskan hidupnya buat membantu ayahnya dan para pejuang Maluku mengusir pasukan Belanda dari tanah Maluku.

Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini selalu mengikuti Sang Ayah ke mana pun, termasuk menghadiri rendezvous dan kedap nan membahas perencanaan perang. Karena seringnya menghadiri rendezvous dan kedap seperti itu, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini menjadi terbiasa buat mengatur pertempuran dan membentuk kubu-kubu pertahanan.

Pada 14 Mei 1817 di Hutan Saniri, diadakan kedap dan pengangkatan sumpah setia. Martha Christina Tiahahu, putri tunggal Paulus Tiahahu, memaksa ikut. Sumpah nan diucapkan memberikan semangat nan besar buat Martha Christina Tiahahu. Dia dapat merasakan betapa menggebu-gebunya perasaan rakyat Maluku buat menentang kekuasaan Belanda. Taktik pun diatur sedemikian rupa.

Hasil kedap iru ialah terpilihnya Kapiten Abubu, Paulus Tiahahu, Marta Christina Tiahahu, serta Raja Titawaoi bernama Hehanusa sebagai pemimpin rakyat wilayah Nusa Laut. Selain para pemimpin tersebut, Patimura juga mengirimkan Anthone Rhebok ke Nusa Bahari buat mempersiapkan dan memperkuat taktik perjuangan.

Tugas primer Rhebok ialah mengoordinasikan pertahanan di Nusa Bahari serta mengangkat Paulus Tiahahu sebagai Kapitan Nusa Laut. Paulus Tiahahu, Marta Christina Tiahahu, Hehanusa, dan Rhebok segera mengadakan agresi ke Benteng Beverwijk di Sila Leinitu. Pada pertempuran ini, peranan Martha Christina Tiahahu sangat menonjol, terutama dalam mengobarkan semangat juang rakyat sehingga benteng tersebut sukses direbut oleh rakyat.



Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Wanita Asal Maluku, Martha Christina Tiahahu

Meskipun masih belia, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku nan satu ini selalu ikut ambil bagian dan pantang menyerah. Meskipun berjuang menggempur pasukan Belanda bersama pasukan ayahnya, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku nan memulai perang pertamanya ketika berusia 17 tahun, hanya mengandalkan sebatang tombak. Dengan rambut panjangnya nan terurai dan ikat kepala berupa sehelai kain merah, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini selalu mendampingi ayahnya pada setiap pertempuran.

Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini juga memberikan semangat pada wanita-wanita di sekitarnya buat membantu perjuangan kaum pria di medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita nan berjuang. Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini bersama ayahnya dan Thomas Matulessy, Kapitan Pattimura, sukses menggempur pasukan Belanda di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Mereka sukses membumihanguskan Benteng Duurstede.

Di Desa Ouw, tenggara Pulau Saparua, terjadi pertempuran nan sangat sengit. Pasukan Belanda membumihanguskan Desa Ouw hingga rata dengan tanah. Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini bersama pejuang rakyat menggempur pasukan musuh. Karena persenjataan nan tak seimbang, tipu daya musuh, dan pengkhianatan, para pejuang bisa ditangkap dan dijatuhi hukuman. Ada nan dihukum wafat dan ada nan diasingkan ke Pulau Jawa.

Kapitan Paulus Tiahahu dijatuhi sanksi mati. Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini berusaha buat menyelamatkan ayahnya dari sanksi mati. Dia meminta pada pasukan Belanda buat menghukum wafat dirinya saja. Dia rela menggantikan posisi Sang Ayah nan sudah menua itu. Dia tak mau tapi usahanya sia-sia. Dia harus rela dan tegar melihat Sang Ayah dihukum wafat oleh pasukan Belanda. Pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini dibebaskan dari sanksi sebab belum cukup umur.

Setelah dibebaskan, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini melanjutkan perjuangannya dengan bergerilya ke hutan-hutan. Karena rasa ketidaksukaannya terhadap tindakan pasukan Belanda nan sewenang-wenang, pahlawan kemerdekaan wanita asal maluku ini terus bergerilya hingga tak memikirkan kondisi kesehatannya.

Setelah sekian lama berjuang, akhirnya pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini bersama para pejuang sukses ditangkap oleh pasukan Belanda. Mereka dijatuhi sanksi berupa pengasingan ke Pulau Jawa buat dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Mereka diangkut dengan menggunakan Kapal Perang Eversten.



Berakhirnya Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Wanita Asal Maluku, Martha Christina Tiahahu

Akhir Desember 1817, Kapal Perang Eversten berangkat dari Ambon menuju Pulau Jawa. Di dalam kapal tersebut, terdapat 39 orang tawanan, termasuk pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini. Selama dalam perjalanan menuju Pulau Jawa, pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dia menolak bicara, menolak minum obat, menolak makan, dan menolak minum. Karena tindakannya ini, kondisi kesehatan pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini memburuk. Selepas Pulau Ambon, tapi masih di Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu mengembuskan napas terakhirnya pada 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang di Bahari Banda.



Mengenang Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Wanita Asal Maluku, Martha Christina Tiahahu

Untuk mengenang jasa dan pengorbanan pahlawan kemerdekaan Maluku ini, Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Pemberian gelar ini berdasarkan Surat Keputusan RI No. 012/TK/1969. Pemerintah Republik Indonesia juga menjadikan 2 Januari sebagai Hari Martha Christina.

Selain gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional, pemerintah mendirikan monumen Martha Christina Tiahahu. Monumen pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini nan diresmikan oleh Menteri Sosial Republik Indonesia, HMS. Mintaredja, S.H., pada 2 Januari 1977 terletak di Karang Panjang, daerah bukit nan terlihat jelas dari Kota Ambon.

Monumen ini bersebelahan dengan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Monumen ini tegak berdiri menghadap Teluk Ambon dengan sebatang tombak di tangan Martha Christina Tiahahu, seakan-akan menyiratkan tekadnya menjaga keutuhan Maluku sebagai daerah nan kaya berbagai potensi sumber daya alam dan sebagai bagian kekuatan masa depan buat kesejahteraan masyarakat.

Selain di Karang Panjang, monumen pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini ada di desa kelahirannya. Monumen ini diresmikan 2 Januari 2008 oleh Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, dalam rangka memperingati Hari Martha Christina ke-190 tahun. Syahdan waktu pendirian, monumen ini sangat sulit diletakkan sebab kurang keseimbangan. Walaupun telah dicoba beberapa kali, tetap tak bisa berdiri dengan baik. Monumen ini bisa berdiri dengan posisi seimbang ketika menghadap Bahari Banda, loka jenazah pahlawan kemerdekaan wanita asal Maluku ini dibuang.