dalam Karya Tulis

dalam Karya Tulis

Dalam negara dengan budaya feodal nan cukup kental seperti Indonesia, gelar nan inheren pada nama seseorang merupakan sebuah hal penting. Tak sedikit orang nan mendewakan gelar dan mau melakukan berbagai cara demi memperoleh sebuah gelar buat di depan atau di belakang namanya. Kedudukan gelar nan sedemikian dipuja ini membuat penulisan nama gelar menjadi tidak dapat diabaikan.



Jenis-jenis Gelar

Ada beberapa jenis gelar nan bisa inheren pada seseorang. Gelar-gelar tersebut adalah:



Gelar Kebangsawanan Karena Keturunan

Gelar ini diperoleh otomatis secara turun-temurun. Tidak sembarang orang berhak menggunakan gelar kebangsawanan ini. Gelar ini hanya berhak disandang oleh mereka nan memiliki interaksi kekerabatan dengan kerajaan, atau memiliki darah biru (darah para bangsawan).

Banyak suku bangsa di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Melayu, Aceh, Minang, Banten dan sebagainya masih mempertahankan penulisan nama gelar peninggalan kerajaan-kerajaan antik dahulu. Misalnya:

  1. Raden (Jawa dan Sunda)
  2. Raden Mas, Raden Ayu, Raden Roro, Kanjeng Tumenggung, Bendoro Ratu Ayu, dan sebagainya (Jawa, terutama Solo dan Yogyakarta).
  3. Tubagus, Ratu, Nyi Mas (Banten)
  4. Cut, Teuku (Aceh)
  5. Datuk, Sutan, Rajo (Minang)
  6. Tengku, Wan, Hang (Melayu)
  7. Ida Ayu, Ida Bagus, dan sebagainya (Bali)



Gelar Kebangsawanan Karena Penganugerahan

Dalam beberapa kejadian, pihak kerajaan bisa menganugerahkan gelar kebangsawanan pada orang-orang nan tak memiliki interaksi darah dengan kerajaan. Orang-orang ini umumnya dianggap telah melakukan jasa-jasa eksklusif nan sangat berarti bagi kerajaan, negara, atau masyarakat.

Dengan penganugerahan ini, tidak sporadis ditemukan orang Bugis memiliki gelar kebangsawanan dari kerajaan Jawa, orang Sunda memiliki gelar kebangsawanan Melayu Deli, dan sebagainya.



Gelar Agama

Ada pula gelar nan diperoleh sebab jabatan nan disandang dalam aplikasi kegiatan agama atau diperoleh setelah melakukan ibadah tertentu. Misalnya:

  1. Haji, Hajjah, Kyai, Kyai Haji, Ajengan, dan sebagainya (Islam)
  2. Romo, Zuster, Uskup, dan sebagainya (Nasrani)


Gelar Akademis

Gelar akademis merupakan gelar nan diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu, mulai dari taraf diploma, S1, S2, hingga S3.

Kepemilikan gelar akademis bisa mempermudah memperoleh pekerjaan, memperoleh promosi jabatan, kenaikan jenjang kepangkatan di kantor, serta kenaikan gaji dan tunjangan penghasilan.

Sayang, keinginan memperoleh gelar akademis ini kadang dilakukan dengan cara-cara nan memalukan, seperti jual beli gelar. Bukan baru sekali media massa mengungkap adanya perguruan tinggi fiktif nan melakukan jual beli gelar ini, misalnya Universitas Dipati Ukur di Bandung beberapa tahun lalu. Universitas ini tak pernah ada, namun anehnya menghasilkan lulusan sarjana.



Penulisan Nama Gelar dalam Karya Tulis

Lalu bagaimana dengan penulisan nama gelar dalam sebuah karya tulis? Tak semua gelar perlu dicantumkan dalam sebuah karya tulis.

  1. Gelar kebangsawanan bisa tetap dicantumkan, walaupun pada praktiknya tak semua pemilik gelar kebangsawanan ini mau mencantumkan gelarnya dalam sebuah karya tulis.

    Pada penulisan daftar pustaka, nama gelar ini bukan merupakan kata utama. Kata primer (yang diletakkan di depan menurut asas pembalikan nama) ialah nama nan tertulis setelah gelar kebangsawanan.

  1. Gelar akademis boleh dituliskan buat menunjukkan bukti diri si pengarang, misalnya di cover buku atau makalah, atau di bawah judul artikel. Umumnya digunakan buat karya tulis nonfiksi ilmiah.

    Karya tulis fiksi tidak perlu mencantumkan gelar. Dalam daftar pustaka atau kutipan dalam badan artikel, nama gelar akademis ini tak perlu dicantumkan. Cukup cantumkan nama si pengarang.

    Misalnya: Prof.Dr. Alam Indrawan, SH., MM., MH ……> ditulis sebagai: Indrawan, Alam