Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati siapa nan tak mengenal namanya, dia ialah tokoh besar di Tanah Jawa bahkan sampai mancanegara. Di Tanah Jawa dia termasuk salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya nan sangat berwarna selain sebagai pakar spiritual, pemimpin dan pakar pemerintahan, mubaligh dan da'i.
Pada jamannya beliau merupakan pemimpin rakyat sebab menjadi raja nan bergelar Sultan Pakungwati nan kemudian berubah menjadi Kesultanan Cirebon. Di mancanegara, beliau terkenal sebab kisahnya nan menikahi seorang putri dari Kaisar China.
Asal-usul Keluarga Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah ialah nama sebenarnya dari Sunan Gunung Jati. Dia ialah seorang alim ulama nan nan menyebarkan agama islam sampai akhir hayatnya. Meskipun pada kenyatannya beliau merupakan keturunan raja.
Dia ialah seorang anak nan lahir dari pasangan suami Istri dari orang asing keturunan arab dengan putri raja di Tanah Jawa yaitu Nyai Rara Santang atau nan dikenal dengan nama lain Syarifah Muda'im.
Ayahnya ialah seorang nan berasal dari Gujarat, India, dia merupakan Mubaligh dan Musafir besar nan terkenal.
Beliau ialah putra dari Ahmad Jalal Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi bin Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama nan disegani dan dihormati di Hadramaut, Yaman nan garis silsilah keluarganya sampai kepada keturunan Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ada juga dari sumber lain nan mengatakan ayah dari Syarif Hidayatullah ialah seorang Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Tapi nan jelas ayah dari Syarif Hidayatullah ialah keturunan dari bangsa arab nan mempunyai nasab atau silsilah sampai pada keluarga dari Rasulullah SAW.
Sedangkan Ibunya ialah putri dari dari raja Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan Istrinya Nyai Subang Larang, nan mana ibunya merupakan adik dari Raden Kian Santang atau nan lebih dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuana.
Ayah dan Ibunya berjumpa di daerah Timur Tengah atau Arab, saat ibunya Rara Santang sedang menunaikan ibadah haji bersama kakaknya yaitu Kian Santang . Awal rendezvous itu sebab ketertarikan seorang pembesar mesir nan tak lain ialah Abdullah bin Nur Alam kepada Rara Santang nan mana Rara Santang mempunyai paras nan mirip dengan almarhumah istrinya.
Akhirnya melalui rendezvous itu pembesar mesir meminta Rara Santang menjadi istrinya, sejak itulah nama Rara Santang di ubah menjadi Syarifah Muda'im. Melalui perkawinannya terlahirlah dua orang putra yakni Syarif Hidayatullah itu sendiri dan adiknya Syarif Nurullah.
Selama masa kecilnya Syarif Hidayatullah tinggal di daerah Mesir di loka ayahnya, sampai dia akhirnya pulang ke Tanah Jawa bersama ibunya ketika ayahnya meninggal dunia.
Padahal setelah ayahnya meninggal dia diminta buat menggantikan ayahnya, namun permintaan itu ditolaknya hingga dia menunjuk dan meminta adiknya Syarif Nurullah buat menggantikan ayahnya menjadi seorang pembesar di mesir.
Kepulangannya ke kampung halaman ibunya di Padjajaran bermaksud buat berdakwah di Tanah Jawa dengan berbekal ilmu nan ditimbanya di mesir dan di tanah arab ataupun negeri timur tengah.
Dalam menimba ilmu Syarif Hidayatullah belajar pada ulama-ulama besar secara langsung dan dia lakukan dengan tekun dan sungguh-sungguh, bahkan dalam menuntut ilmu dia rela buat langsung datang sendiri ke loka belajar nan ditujunya, hingga dia berkelana ke banyak negara.
Istri-istri Sunan Gunung Jati
Dalam sejarah hidupnya beliau memiliki istri lebih dari satu. Kesemua istrinya itu merupakan seorang nan mempunyai kedudukan sebagai seorang putri dari para pembesar nan terkenal. Berikut ini istri-istri nan ada pada kehidupan beliau, yaitu:
1. Nyai Kawunganten
Nyai Kawunganten ini ialah keluarga dari pembesar Banten, tepatnya ialah adik dari Bupati Banten saat itu. Awalnya Syarif Hidayatullah hanya berkunjung saja, tapi sebab keinginan Bupati Banten, maka terjadilah perkawinan itu.
Dari perkawinan ini Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon atau nan dikenal dengan Ratu Wulung Ayu dan Paneran Sebakingking atau Maulana Hasanuddin nan kedepannya menjadi Sultan Banten I.
2. Nyi Pakungwati
Nyi Pakungwati ialah putri dari Pangeran Cakrabuana atau Raden Kian Santang nan tak lain ialah pamannya sendiri nan merupakan penguasa di Negeri Caruban.
Dengan kata lain Syarif Hidayatullah menikahi sepupunya. Bahkan dia menggantikan Pangeran Cakrabuana nan sudah tua buat memimpin Caruban dengan bergelar Susuhunan nan memiliki pengertian orang nan dijunjung tinggi.
3. Putri Ong Tien
Dia ialah seorang putri kerajaan dari Nageri China Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming nan saat itu beragama Islam. Perkawinan ini bertujuan buat mempererat interaksi baik antara kedua negeri yakni Cirebon dengan Negeri China tersebut. Sejak menikah dengan Cucu Prabu Siliwangi itu Putri Ong Tien mengganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding.
Perjuangan Sunan Gunung Jati
Dalam perjuangannya berdakwah menyebarkan agama Islam. Syarif Hidayatullah mendapat begitu banyak tentangan. Bahkan dari kakeknya sendiri nan merupakan Raja Padjajaran sebab beliau memproklamirkan diri menjadi raja dengan bergelar Sultan dari Kesultanan Pakungwati.
Dengan adanya Kesultanan Pakungwati tersebut Cirebon dan beliau nan menjadi Sultannya, sehingga tak ada lagi pengiriman pajak atau upeti kepada Kerajaan Pajajaran nan biasanya disalurkan melalui Kadipaten Galuh.
Menurut Raja Padjajaran hal nan dilakukan cucunya ialah sebagai tindakan pemberontakan. Kemudian Raja Pajajaran mengirimkan pasukan dan prajurit pilihan nan sudah terbukti kemampuannya dengan dipimpin oleh Ki Jagabaya buat menangkap Sultan Pakungwati tersebut.
Tetapi di luar dugaan Raja Padjajaran utusannya tadi malah menjadi pemeluk agama Islam dan menjadi pengikut Sultan Pakungwati sebab ketertarikan mereka pada agama Islam.
Dalam kisahnya, Sunan Gunung Jati memerintahkan Fatahillah menjadi panglima perang menghadapi Portugis di Malaka buat menghadapi Padjajaran dan Portugis di Sunda Kelapa. Dengan donasi dari gabungan kesultanan Cirebon dan Banten nan akhirnya dimenangkan oleh Pasukan nan dipimpin Fatahillah.
Di Malaka mereka sukses memukul mundur bangsa Portugis, sedang di Sunda Kelapa (sekarang bernama Jakarta) mereka sukses meruntuhkan Padjajaran dan Portugis. Kemenangan nan diraih oleh mereka semua, dilalui melalui perjuangan nan berat, keahlian dari Fatahillah serta kehendak Allah, sehingga mampu mengalahkan musuh dalam peperangan memperebutkan Sunda Kelapa.
Akhirnya dengan kemenangan tersebut kemudian Fatahillah diangkat menjadi Adipati Sunda Kelapa. Dalam pemerintahannya nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta, nan sekarang bernama Jakarta oleh Fatahillah.
Wafatnya Sunan Gunung Jati
Pada usia ke 89 tahun, beliau mengundurkan diri dari global pemerintahan dengan meletakkan jabatannya buat lebih berfokus pada dakwah. Kekuasaan nan dipegangnya diberikan kepada Pangeran Pasarean.
Dan pada tahun 1568 M beliau mati pada usia sekitar 120 tahunan. Bersama ibu dan pamannya pangeran Cakrabuana, beliau dimakamkan di gunung Sembung atau Gunung Jati, sebelum kota Cirebon sekitar 15 kilometer dari arah barat.
Selang Dua tahun kemudian meninggal pula Ki Bagus Pasai, atau nan dikenal dengan sebutan Fatahillah nan juga dimakamkan ditempat nan sama. Makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai oleh apapun juga.
Sampai saat ini kompleks pemakaman beliau beserta keluarganya sangat ramai di kunjungi khalayak ramai nan hanya sekedar rekreasi atau berziarah, dan mendoakannya.
Salah satu alasan Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati dikarenakan beliau dimakamkan di daerah Gunung Jati, Cirebon. Tapi dari sumber lain ada nan menyebutkan beliau disebut Sunan Gunung Jati sebab beliau berasal dari Daerah Gunung jati atau sebab beliau membuka pesantren nan namanya Pesantren Gunung Jati.
Semoga sedikit cuplikan kisah dari beliau ini bisa bermanfaat buat kita semua, dan bisa menambah wawasan kita serta menghilangkan ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya beliau.
Perjalanan Panjang Sunan Gunung Jati Menyebarkan Islam di Tatar Pasundan
Kiprah Walisongo sebagai penyampai ajaran Islam di Indonesia sudah tak lagi perlu diragukan. Sejarah Islam di Indonesia mencatat perjalanan para wali tersebut dengan tinta emas. Sembilan orang wali tersebut masing-masing diberi gelar sunan. Kesembilan sunan tersebut menyebarkan ajaran Islam di Indonesia, terutama Pulau Jawa, salah satunya ialah Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati Mengenalkan Ajaran Islam di Jawa Barat
Pulau Jawa menjadi pulau di Indonesia dengan masyarakat muslim nan dominan. Ini tak lepas pengaruhnya dari usaha nan dilakukan tokoh-tokoh Islam terdahulu. Salah satu nan paling memegang andil cukup besar ialah Walisongo. Sekumpulan ulama nan datang dari berbagai latar belakang ini menjadi tokoh krusial dalam sosialisasi ajaran agama Islam di Pulau Jawa.
Sebagai bagian dari Pulau Jawa, Jawa Barat juga menjadi daerah nan tidak lepas mendapatkan ajaran agama Islam dari para wali tersebut. Daerah nan pada masa lalu terkenal sebab kejayaan Kerajaan Siliwangi ini menjadi “ladang amal” bagi para wali. Dan, wali nan secara tak langsung bertanggung jawab terhadap menyebarnya ajaran agama Islam di Jawa Barat ialah Sunan Gunung Jati.
Perjuangan wali ini menyebarkan ajaran agama Islam berakar di wilayah Cirebon. Di daerah tersebutlah sunan memulai segalanya. Di wilayah itulah, sunan mempersiapkan bekal buat menyebarkan Islam secara lebih luas di daerah Jawa Barat. Cirebon memang menjadi bagian nan tak terpisahkan dari perjalanan salah satu dari sembilan wali ini. Hingga ketika meninggal pun, beliau dikuburkan di Cirebon.
Jawa Barat bukan serta-merta dipilih sebab tanpa alasan. Sesungguhnya, beliau pun tak memilih, silsilah keluarganya lah nan membuat Jawa Barat terasa istimewa baginya. Beliau ialah cucu dari Prabu Siliwangi. Predikatnya sebagai cucu Prabu Siliwangi ini didapat sebab beliau merupakan putra dari Syarifah Muda’im atau Rara Santang nan taklain ialah putri dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang.
Jelas bahwa Jawa Barat ialah bukti diri dari Sunan Gunung Jati ini. Jawa Barat ialah bagian dari kehidupannya. Mengabdikan diri buat membuat warga Jawa Barat memeluk ajaran Islam dirasa sebagai tanggung jawabnya. Upaya-upaya pun dilakukan sunan buat mengenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa Barat.
Perjalanan Awal Sunan Gunung Jati
Cerita tentang perjalanan hayati wali ini hadir dalam banyak versi sehingga cukup sulit buat menentukan mana versi nan sahih dan tidak, terutama berkenaan dengan perjalanannya dalam menyebarkan ajaran agama Islam itu sendiri. Tetapi, dari banyak versi tersebut, satu hal nan dapat ditarik simpulan adalah, beliau memang merupakan tokoh krusial dari penyebaran agama Islam di tanah sunda.
Diceritakan bahwa kedatangan Syarif Hidayatullah atau nama orisinil dari Sunan Gunung Jati dan ibunya Syarifah Muda’im ke Jawa Barat terjadi pada 1475. Sebelum ke daerah asalnya, ibu dan anak ini mengunjungi Gujarat dan Pasai. Nama Gujarat erat kaitannya dengan Syarif Hidayatullah sebab menurut versi lain, ayah dari Syarif Hidayatullah ialah seorang mubaligh nan berasal dari Mesir dan tumbuh besar di Gujarat, India.
Ayahanda beliau bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar atau dikenal dengan nama Syekh Maulana Akbar. Dari silsilah keluarga ayahnya inilah, konon, beliau masih keturunan dari Nabi Muhammad Saw. Jika ibu beliau memiliki latar belakang silsilah Kerajaan Siliwangi, ayahandanya memiliki latar belakang nan berhubungan darah langsung dengan Nabi Muhammad Saw. Sungguh beliau memliki latar belakang keluarga nan istimewa.
Kedatangan sunan dan ibunya disambut baik oleh Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im atau ibunda Sunan Gunung Jari merupakan murid dari Syekh Datuk Kahfi. Mengetahui gurunya sudah meninggal dunia, Syarifah Muda’im memutuskan buat menetap di Pasambangan, loka nan sama dengan makam gurunya. Nama Pasambangan inilah nan kemudian dikenal dengan sebutan Gunung Jati.
Dari sinilah, perjalanan sunan menyebarkan agama Islam dimulai. Syarifah Muda’im lalu memutuskan buat melanjutkan pesantren peninggalan gurunya. Tak lupa ia pun mengajak anak lelakinya. Dari pesantren nan ada di daerah Gunung Jati itulah nama Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati .
Beliau nan sudah menjadi seorang lelaki gagah dan pemimpin sebuah pondok pesantren mendapatkan tawaran dari Pangeran Cakrabuana buat menikah dengan putrinya. Putri dari Pangeran Cakrabuana bernama Nyi Pakungwati itu kemudian resmi menjadi istrinya. Tak berapa lama, sebab usianya nan sudah semakin tua, Pangeran Cakrabuana meninggal dunia.
Sebagai seorang menantu, beliau kemudian menerima tampuk kekuasaan Negeri Caruban nan diberikan oleh Pangeran Cakrabuana. Cakrabuana memberikan gelar susuhan ‘orang nan dijunjung’ pada Syarif Hidayatullah. Dengan kekuasaan inilah, bekal sunan buat menyebarkan agama Islam semakin lengkap.
Perjuangan Sunan Gunung Jati Menyebarkan Islam
Sesaat setelah dinobatkan sebagai penerus Cakrabuana, Syarif Hidayatullah pergi mengunjungi kakeknya di Padjajaran. Prabu Siliwangi menyambut kedatangan cucunya dengan baik. Namun, saat cucunya tersebut mengajak prabu buat kembali memeluk Islam, beliau menolak. Meskipun demikian, Prabu Siliwangi mengizinkan cucunya buat menyebarkan ajaran Islam di daerah kekuasaannya.
Perjuangan Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam telah mengantarkannya hingga Serang. Kedatangnnya disambut baik oleh Adipati Banten, sebab ternyata sudah banyak masyarakat Serang nan memeluk Islam. Sultan Banten bahkan menjodohkan sunan dengan putrinya nan bernama Nyi Kawungten. Dari pernikahan dengan putri Adipati Banten, beliau dikarunia dua anak, yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.
Terjadi dua versi dari pernikahan sunan nan kedua ini. Versi lain mengatakan bahwa nan dinikahi oleh sunan ialah adik dari Bupati Banten, nan bernama Nyai Kawunganten, bukan putri dari Adipati Banten. Nama kedua putra dan putri sunan juga berbeda. Dalam versi Nyai Kawunganten ini, sunan memiliki putra dan putri masing-masing bernama Maulana Hasanuddin nan nantinya menjadi Sultan Banten I, dan Ratu Wulung Ayu.
Perjuangan sunan pun berlanjut. Ia kemudian mengunjungi Demak dan banyak bertukar pikiran dengan Sultan Demak serta wali-wali lain mengenai upaya buat menyebarkan agama Islam. Dalam proses pembangunan Masjid Demak, sunan pun ikut membantu. Bersama Sultan Demak dan wali lain, beliau pun mendirikan Kesultanan Pakungwati, dan menjabat sebagai raja dengan gelar sultan.
Kesultanan nan didirikan oleh sunan ini mengundang murka dari Raja Padjajaran. Karena Kesultanan Pakungwati dianggap membangkang sebab tak mengirimkan upeti. Beberapa utusan pun ditugaskan buat menangkap Syarif Hidayatullah. Penangkapan tersebut dipimpin oleh Ki Jagabaya. Bukannya kembali ke Padjajaran dan menangkap sunan, Ki Jagabaya justru masuk Islam dan tak pernah kembali ke Padjajaran.
Ki Jagabaya bukan satu-satunya petinggi nan memilih bergabung dengan kesultanan nan dipimpin sultan. Semakin hari, Kesultanan Pakungwati semakin besar. Perdagangan antar negara pun tak terelakkan. Bahkan sunan kembali dinikahkan. Kali ini dengan putri dari Negeri China bernama Ong Tien nan berubah menjadi Nyi Ratu Rara Semanding.
Di tengah kemajuannya, Syarif Hidayatullah membangun Masjid Agung Sang Ciptarasa pada 1480. Pembangunan masjid ini merupakan ide dari Ratu Pakungwati selaku istri pertama dari Syarif Hidayatullah.
Pembangunan dilaksanakan secara gotong-royong. Para wali dilibatkan dan Raden Patah juga mengirim beberapa pakar buat membangun masjid agung tersebut. Sebagai penghormatan, Syarif Hidayatullah mendapatkan kesempatan buat menegakkan Soko Tatal. Sebagai lambang persatuan umat.
Perjalanan sunan tak sampai di situ. Beliau kemudian membangun jalan raya nan menghubungkan daerah Cirebon dengan daerah kadipaten lain. Pembangunan jalan ini bertujuan buat memudahkan penyebaran agama Islam di seluruh Jawa Barat.
Perjuangan Sunan Gunung Jati Melawan Portugis
Kedatangan bangsa penjajah ke Indonesia berpengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam. Maka, perjuangan Syarif Hidayatullah nan selanjutnya ialah melawan para penjajah-penjajah tersebut. Pada 1511, Portugis sudah menduduki Malaka. Raden Patah kemudian mengirim Adipati Unus atau dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor buat menghadapi Portugis. Sayang, sebab persenjataan Portugis lebih lengkap, Adipati Unus gagal.
Adipati Unus pun kembali ke tanah Jawa. Ikut dalam perjalanannya tersebut, seorang pejuang asal Pasai bernama Fatahillah. Fatahillah ialah seorang mubaligh nan menyebarkan Islam di Malaka. Melihat kondisi Malaka nan tak aman, ia memutuskan buat menyebarkan Islam di Jawa.
Beberapa tahun kemudian, Raden Patah wafat. Beliau digantikan oleh Adipati Unus. Masa pemerintahan Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor penuh dengan pemberontakan. Hingga pada 1521, Adipati Unus meninggal dunia. Kesultanan Demak kemudian dipegang oleh Raden Trenggana nan merupakan putra ke tiga dari Raden Patah.
Fatahillah kemudian diangkap menjadi panglima perang nan ditugaskan buat mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Fatahillan memimpin pasukan gabungan antara Demak dan Cirebon. Diceritakan bahwa Portugis ternyata mendapat donasi dari Padjajaran. Padjajaran nan memang iri dengan Cirebon ingin saingannya tersebut kalah.
Kala itu, Syarif Hidayatullah memang tak berkenan memimpin pasukan. Beliau memercayakan semua pada Fatahillah. Ini tidak lain berkaitan dengan Raja Padjajaran nan tidak lain ialah kakeknya sendiri. Sehingga, tak mungkin baginya buat melawan kakeknya sendiri secara langsung.
Berkat kepiawaiannya, Fatahillah beserta pasukan gabungan antara Demak dan Cirebon sukses mengalahkan Portugis dan Padjajaran. Selesai menghadapi penjajah, perlawanan selanjutnya datang dari sisa-sisa pasukan Padjajaran. Bersama dengan Pangeran Sebakingking, putra Syarif Hidayatullah, Fatahillah dengan mudah mengalahkan mereka. Sebakingking inilah nan nantinya menjadi penguasa Banten, dan menyandang gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah sendiri diangkat menjadi Adipati. Di bawah kekuasaannya, Islam semakin meluas di tanah Jawa. Ia kemudian dijodohkan oleh sunan dengan putrinya, Ratu Wulung Ayu. Jabatan Fatahillah sebagai Adipati Sunda Kelapa diberikan pada Ki Bagus Angke. Fatahillah sendiri saat itu menjadi penasihat sultan dan namanya berubah menjadi Kyai Bagus Pasai.
Di masa tuanya, Syarif Hidayatullah lebih banyak menghabiskan waktu buat melakukan syiar dakwah di Pesantren Pasambangan. Jabatannya sendiri diberikan pada Pangeran Muhammad Arifin selaku putranya. Sayang, Pangeran Muhammad Arifin meninggal terlebih dahulu sehingga posisinya digantikan oleh Sebakingking nan berkedudukan di Banten. Sementara Cirebon diperintah oleh menantu Fatahillah bernama Aria Kamuning nan kemudian diberi gelar Adipati Carbon I.
Perjuangan Sunan Gunung Jati berakhir pada 1568. Pada usia 120 tahun, beliau mati dan dimakamkan di Gunung Sembung.