Tujuan Pembuatan Puisi
Puisi merupakan salah satu bentuk komunikasi nan unik. Lewat komunikasi, kita tak mencoba memaknai isi saj, namun juga merasakan isi. Puisi dapat mengubah pemikiran dan pandangan kita terhadap sesuatu. Karena itu puisi banyak digunakan dalam berbagai keperluan. Misalnya lirik lagu nan menggugah semangat demonstran atau puisi nan membuat haru dan mengiris hati. Tujuan dari puisi dapat sangat personal namun dapat juga sosial. Salah satu bentuk sosial ini ialah berupa kumpulan puisi bertema lingkungan .
Tujuan Pembuatan Puisi
Tujuan puisi memang dapat bermacam. Ada nan sebagai hiburan, atau tujuan lebih luas seperti kepedulan sosial atau religius. Salah satu tujuan dari puisi mungkin ialah mengajak buat lebih peduli terhadap lingkungan. Tema puisi ini memang belum populer.
Namun puisi nan bertema lingkungan tetap ada dan mendapat loka di hati penikmatnya. Bukan tak mungkin kepedulian terhadap lingkungan dapat muncul setelah membaca puisi tentang kepedulian terhadap lingkungan. Apalagi di tengah isu lingkungan nan banyak meruak belakangan ini. Berikut ini dua contoh puisi nan bertema lingkungan dari penyair ternama di Indonesia.
Puisi pertama dibuat oleh Taufik Ismail. Dia ialah penyair legendaris Indonesia. Puisinya banyak nan bertemakan sosial dan religius. Sejak masa kuliah dia sudah aktif membuat puisi. Perseteruannya dengan pihak komunis membuat Taufik Ismail menjadi salah satu pejuang seni dari kalangan agama Islam nan sangat dihormati. Dia termasuk membuat puisi nan menyentuh paska meletusnya kejadian G 30 S.
Taufik Ismail banyak menelurkan puisi nan berhubungan dengan masyarakat, lingkungan dan Tuhan. Lewat karya-karyanya, berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri diterimanya. Berbagai puisinya juga banyak diterjemahkan dalam bahasa asing. Dia juga sering diundang buat membaca puisi di dalam dan luar negeri.
Salah satu karyanya nan bertemakan sosial dan lingkungan hayati ialah “Membaca Tanda-Tanda”. Berikut sajak dalam puisi karya Taufik Ismail ini:
Membaca Tanda-Tanda
Ada sesuatu nan rasanya mulai lepas
Dari tangan
Dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu nan mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
Abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
Yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
Tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang
Dan karbon dioksid itu
Menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
AirMata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
AllahKami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalu barah dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
AllahAmpuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu nan rasanya
Mulai lepas dari tangan
Dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu nan mulanya
Tidak begitu jelas
Tapi kini kami
MulaiMerindukannya
---
Saudaraku, tunjukan nilai persaudaraanmu
Dengarkan rintihan dan tangisan rakyat Aceh
Panjatkan doa buat mereka
Berikan hal terbaik nan kita punya...
Lingkungan Mati
Kau sebut orang bicara tentang hijau daunan, rimbun pepohonan, bermilyar kilometer kubik air yang
memadat, mencair dan menguap, garis gunung dan lembah nan serasi, komposisi zat asam nan rapi dalam harmoni,
Tapi nan nampak oleh mataku orang-orang bertanam tebu seluas lapangan sepakbola di bibir mereka.
Kau bercerita orang bicara tentang serangga dan fisika tanah, unggas dan kimia udara, ikan dan habitat lautan, manusia dan tetangganya, bumi dan klimatologi,
Tapi nan terdengar oleh telingaku ialah serangkai lagu dimainkan lewat instrumen tua sudah, dan bertabur debu.
Kau tulis orang telah bicara mengenai rekayasa genetika padi dan sapi, penggergajian kayu dan pengedukan mineral bumi, penyuburan industri dan transportasi, distribusi keuntungan dan budaya, pemerataan angka-angka di atas sapta jajaran kepala demi kepala,
Tapi nan terasa olehku ialah bohong nan bergincu lalu ejekan terus-terusan pada kemiskinan, perpacuan dalam keserakahan, dengan paduan suara pengatas-namaan dengan penuh keteraturan.
Kau ingat-ingatkan saya tentang harmoni budaya antara tetumbuhan – hewan – angkasa – perairan – dan manusia, lalu kau beri saya 1000 kauseri tentang humanisme nan adil dan beradab, serta 1000 petunjuk mengenai sivilisasi nan lestari,
Yang kulihat di layar kaca ialah hewan diadu hewan buat mengeruk isi kantong wisatawan walau itu jelas melanggar peraturan,
manusia diadu manusia walau itu menghina otak manusia dan menggilas
akal waras, semua itu cuma sebab kalap pada sepotong nama dan serakah pada sejumlah rupiah,
Kau bercerita tentang orang nan berkata bahwa sesudah hewan diadu hewan dan hewan diadu manusia budaya jahiliah diresmikan sah,
lalu manusia diadu manusia bermula dengan pemujaan pada kepalan dan luas-luas dipertontonkan, lalu naik satu tangga
manusia diadu manusia dengan senjata, naik tangga berikutnya keroyokan atau pembantaian manusia pada rakyat sendiri atau bangsa lain, dengan bedil sundut bom napalm atau hulu nuklir, dengan karakteristik kekerasan dan penindasan nan makin naik kelas
dalam kebiadaban, maka paripurnalah perusakan pada kehidupan lingkungan.
Kau berkata orang masih juga bicara tentang lingkungan hidup,
Aneh ingatanku malah-terpaku kini pada lingkungan mati.
Peduli Pada Lingkungan
Puisi bertema lingkungan hayati memang sering digunakan buat memberi tahu dan memberi rasa bahwa manusia harus peduli terhadap lingkungan. Dalam agama Islam, manusia sebagai khalifah harus memelihara alam, dan bukan malah merusaknya. Rusaknya alam akan memunculkan ketidakseimbangan nan akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Puisi bertema lingkungan selanjutnya dibuat oleh W.S Rendra. Dia ialah salah satu penyair dan budayawan terbaik nan pernah dimiliki Indonesia. Penyair kelahiran Solo ini sudah dikenal sejak masa remaja. Dia dilahirkan dengan nama Wilibrodus Surendra Broto. Nama itu berganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah ia memeluk agama Islam.
W.S Rendra ialah penyair nan sekubu dengan Taufik Ismail. Dia banyak menulis puisi tentang masalah sosial dan lingkungan. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan dalam bahasa lain. Berbagai penghargaan juga telah diterimanya baik dari dalam maupun luar negeri.
Ciri khas dari W.S Rendra ialah suaranya. Suara W.S Rendra ketika membacakan puisi tak dapat dilupakan dan selalu menyentuh hati. Kelembutan suaranya itu nan membuatnya dijuluki Si Burung Camar. Karakteristik lain ialah isi dari puisinya. Sajak-sajaknya banyak berisi protes terhadap kesenjangan sosial nan terjadi. Salah satu puisinya ada juga nan bertema lingkungan hidup.
Dia menggambarkan bagaimana estetika bahari Indonesia. Estetika bahari ini harus disyukuri dan dirawat dan bukannya dirusak dan disia-siakan. Berikut puisi nan terkenal dan berjudul “Lautan” :
Lautan
Gambar misteri estetika lautan
Gambar misteri estetika lautan
Daratan ialah rumah kita
dan lautan ialah kebebasan
langit telah manunggal dengan samudra
dalam jiwa dan dalam warna
Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang rona biru muda
tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari tembaga
Tiga buah awan nan kecil dan jauh
berlayar di langit dan di air
bersama dua kapal layar
bagai sepasang burung camar
dari arah nan berbeda
Sedang lautan memandang saja
dihadapan paras lautan
nampak diriku nan pendusta
Disini semua harus telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara
Tak usah bersuara !
Janganlah bersuara !
Suara dan kata terasa dena
Daratan ialah rumah kita,
dan lautan ialah rahasia