Gibran dalam Karya
Gibran ialah nama panggilan akrab buat sosok pujangga ternama global Khalil Gibran. Siapa nan tidak mengenal Khalil Gibran nan karya-karyanya menyihir dan menginspirasi banyak orang. Ariel Peterpen dan Ahmad Dhani termasuk orang nan karya-karya musiknya terilhami syair Gibran.
Khalil Gibran seorang penyair besar asal Lebanon. Gibran lahir pada 6 Januari 1883 nan besar di Amerika ini telah menerbitkan banyak buku dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Jika Anda melongok ke toko buku hampir selalu dipastikan Anda menemukan karya Gibran bertengger di rak buku-buku sastra.
Gibran dan Alam
Sebagian orang kerap mempertanyakan bagaimana kehidupan seorang tokoh di masa kecilnya sehingga menjadi orang nan dikenal luas warga global melintasi batas-batas negara. Apa kira-kira nan telah menempa Gibran sehingga mempersembahkan karya-karya latif nan begitu monumental. Bagi penggemar buku-buku Gibran, tentu sudah mengenal cita rasa tulisannya nan kerap dengan begitu latif menggambarkan lukisan alam dan filosofi hayati nan kaya.
Namun, tak banyak orang nan tahu bahwa di desa Basyari—Lebanon—tempat kelahiran Gibran, ia sering mengalami ancaman alam, seperti amukan badai, agresi gempa dan ancaman petir. Tak heran sebagian besar karyanya banyak berisi permenungan tentang kedahsyatan alam.
Semenjak kecil Khalil Gibran telah menjalani serangkaian kehidupan nomaden; pindah dari satu negara ke negara lain. Menginjak usia 10 tahun, Gibran hijrah ke Boston Massachusetts, Amerika Perkumpulan bersama ibu dan kedua adik perempuannya.
Selama 3 tahun, kehidupan Gibran di bangku sekolah di Boston dipengaruhi budaya dan gaya Amerika. Pengalamannya dengan budaya Amerika ini telah memperkaya penjelajahannya akan bahasa dan sastra. Kemudian pada 1899 hingga 1902, ia harus pindah ke Beirut buat melanjutkan studi di College de la Sagasse—sekolah tinggi Katholik-Maronit.
Menjelang remaja, seiring dengan kematangan pola pikirnya, Khalil Gibran mulai menggugat dan mempertanyakan ketidakberesan kehidupan di masa kecilnya. Ia merasa heran atas kelemahan kesultanan Usmaniyah. Organisasi gereja nan hanya berkutat pada ritual, dan keberadaan kaum perempuan nan hadir hanya sebagai hiasan dan manut pada sistem patriarki. Perenungannya akan permasalah sosial ini telah mengilhaminya buat menuliskannya dalam sastra berbahasa Arab.
Lebanon, Tetap Inspirasi Gibran
Pengalaman hayati Gibran nan dipengaruhi berbagai budaya negara membuatnya memiliki wawasan nan luas. Ia pun mampu menggabungkan ingatan masa kecilnya nan ia sandingkan dengan tempat-tempat di negara nan sempat ia singgahi. Meskipun hayati nomaden, inspirasi utamanya tetap tanah kelahirannya yakni Lebanon.
Sikap kritis Gibran telah ia tunjukan melalui tulisan-tulisannya semenjak usia remaja. Pada 1901 hingga 1902, buat pertama kalinya Gibran menulis naskah drama berjudul "Spirits Rebellious" nan ia selesaikan di Boston dan diterbitkan di New York City. Naskah drama ini berisi empat cerita pada masa ini sebagai somasi keras Gibran terhadap prilaku korup para pegiat agama—pihak gereja.
Dampak dari sikap kritisnya ini, Gibran harus bersedia menanggung resiko pengasingan dari pihak gereja Maronit. Namun apa nan ditulis Gibran tak semua menuai sikap kontra, sebagian orang menilai sindiran-sindiran nan ditulis Gibran merupakan asa sekaligus angin segar pembelaan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Ketika masa pencarian jadi dirinya di Paris. Tiba-tiba, jiwa Gibran diguncangkan dengan warta duka nan diterimanya dari konsulat Turki nan mengabarkan warta kematian adik perempuannya Sultana nan berusia 15 tahun sebab agresi penyakit TBC. Masih dalam suasana berkabung, Gibran harus kembali kehilangan keluarganya. Kakaknya nan bernama Peter nan menjadi tulang punggung saudara dan ibunya juga meninggal dampak penyakit TBC.
Belum kering air matanya, Kamilah, ibu kandungnya, harus kembali meninggalkan Gibran ke loka keabadian sebab menderita tumor ganas. Beruntung, Marianna, adiknya tersisa, meskipun menderita trauma psikologis dampak kemiskinan dan penyakit nan mendera keluarganya.
Masa berkabung kehidupan Gibran terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Dan bersama adiknya inilah ia mesti bahu membahu meneruskan kehidupan nan tak lengkap sebab ditinggalkan sebagian keluarganya. Kedua kakak beradik ini tidak patah arang.
Marianna nan telah bekerja sebagai tukang jahit di Miss Teahan's Gowns, bersedia menyisihkan uang buat menerbitkan buku-buku Gibran agar kakaknya bisa meneruskan karier kepenulisannya nan sempat terhenti lantaran alasan ekonomi.
Pada 1908, Gibran hijrah ke Paris. Kehidupan ekonominya berangsur membaik lewat uluran tangan Mary Haskell, seorang kepala sekolah nan memiliki interaksi spesial dengannya. Pada 1909 hingga 1910, Gibran belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kemudian, kembali terbang ke Boston, di Boston inilah ia mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Dan dapat menghidupi keluarganya.
Gibran dalam Karya
Sebelum 1912, Gibran telah menerbitkan "Broken Wings" versi Bahasa Arab atau nan kita kenal dengan “Sayap-sayap Patah” versi Bahasa Indonesia. Buku ini berkisah tentang romansa rumit Selma Karami kepada muridnya. Namun, terpaksa mesti menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya jatuh dipelukan oleh seorang uskup nan oportunis.
Karyanya ini kerap dituding oleh sebagian orang sebagai otobiografi tentang interaksi cintanya dengan Mary Haskell. Sebelum 1918, Gibran telah siap meluncurkan karya perdananya dalam bahasa Inggris, berjudul "The Madman". Lewat buku ini, tergambar jelas interaksi erat antara Gibran dan Mary. Setelah "The Madman", buku Gibran berbahasa Inggris berikutnya ialah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; kemudian disusul "Sang Nabi" pada 1923.
Sebelum terbitnya "Sang Nabi", interaksi antara Mary dan Gibran mulai retak. Florance Minis, seorang saudagar dari Georgia melamarnya, dan menjanjikan Mary suatu kemewahan hayati dan memaksanya berhenti menjadi guru. Interaksi antara Mary dan Gibran nan sempat menjurus pada planning penikahan akhirnya gagal lantaran disparitas prinsif antara keduanya. Akhirnya, Mary pun meninggalkan Gibran dan bersedia menerima kemanisan hayati nan ditawarkan Florance Minis.
Pada 1920, Gibran membentuk wadah kepenulisan orang Arab nan ia beri nama Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan Gibran sederhana ia ingin membangkitkan kembali kesusastraan Arab nan sedang stagnan. Berkat wadah ini, Gibran memiliki banyak penggemar. Salah satunya ialah Barbara Young. Setelah membaca buku "Sang Nabi". Di toko buku miliknya, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan nan dilakukan di studio Gibran.
Tahun 1926, Khalil Gibran merampungkan "Sand and Foam", dan dua tahun berikutnya menerbitkan "Jesus the Son of Man". Ia juga membacakan naskah dramanya, berjudul "Lazarus" pada 6 Januari 1929. Setelah itu, Gibran merampungkan "The Earth Gods" pada 1931. Karyanya nan lain "The Wanderer", nan selama ini disimpan Mary, diterbitkan tanpa bukti diri pengarang pada 1932.
Pada 10 April 1931 pukul 11.00 malam, Gibran menghembuskan napas terakhirnya. Meskipun tubuhnya digerogoti penyakit sirosis hepatis dan tuberkulosis, namun ia menolak buat dirawat di rumah sakit. Ketika pagi menjelang, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.
Keesokan harinya, pagi-pagi Marianna mengabarkan warta kematian Gibran kepada Mary melalui telegram. Meskipun Mary sedang merawat suaminya nan kebetulan saat itu juga sedang sakit, demi Gibran ia tetap menyempatkan diri buat datang melayatnya.
Jenazah Gibran kemudian disemayamkan di Mar Sarkit pada 21 Agustus, di lokasi sebuah biara Karmelit di mana semasa hayati Gibran pernah melakukan ibadah di loka ini.
Setelah Gibran di panggil Tuhan, sebagai orang nan dekat sekaligus pengikut setia Gibran, Barbara Young melaporkan tulisan terakhir Gibran di atas secarik kertas nan berbunyi sebagai berikut: "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan buat membantu global Timur, sebab ia telah banyak sekali membantuku."