Hadiah Sastra Rancage Pemelihara Sajak Sunda

Hadiah Sastra Rancage Pemelihara Sajak Sunda

Sastra ialah bagian dari kebudayaan. Dan puisi ialah bagian dari gender sastra. Jadi puisi itu tumbuh dan berkembang dalam sebuah kebudayaan. Contohnya, sajak sunda berkembang dalam sebuah kebudayaan sunda.

Puisi atau sering disebut dengan sajak ialah ungkapan rasa bahasa nan disampaikan melalui diksi latif dengan maksud buat meyampaikan gagasan atau pesan kepada pembaca.

Namun sayang, meski setiap manusia itu mempunyai jiwa sentimentil buat meratap dan curhat melalui ungkapan bahasanya sendiri, sangat sporadis orang peduli dan menyukai puisi, terutama puisi orang lain. Oleh sebab itu, buku-buku puisi kurang begitu diminati oleh para pembaca, kecuali para penikmat sastra atau mahasiswa jurusan bahasa. Itu pun terpaksa membeli sebab tugas akademis.

Melihat kenyataan semacam itu, tidak sporadis para penyair malas menulis sajak sebab sajaknya tak bersifat komersil seperti halnya kalau dia menulis sebuah novel. Oleh sebab itu, para penyair lebih suka menulis novel daripada menulis sajak, sebab jelas royalti nan dihasilkan dari buku penjualan novel itu lebih besar dari royalti penjualan buku sajak.

Para penyair menulis sajak bukan sekadar buat mendapat royalti atau honorarium dari pihak media masa atau penerbit, tetapi karyanya ingin diapresiasi oleh masyarakat sebab setiap sajak itu niscaya mempunyai pesan dan gagasan nan ingin disampaikan oleh penyairnya melalui metafora kata nan dibangunnya.



Apakah Sajak Sunda Menghilang?

Itu buat puisi nan ditulis dengan bahasa Indonesia nan dapat dimengerti oleh siapa saja di seluruh nusantara. Namun, bagaimana dengan sajak sunda, nan hanya dimengerti orang sunda?

Mungkin nasibnya jauh lebih jelek lagi sebab tak semua orang sunda menyukai puisi apalagi berbahasa sunda maka semakin terpuruklah sajak-sajak sunda.

Sekarang, coba tanyakan pada setiap orang siapa nan tahu puisi atau sajak sunda nan terkenal. Mungkin hanya segelintir orang nan tahu. Namun ketika kita menanyakan tentang puisi berbahasa Indonesia, niscaya mereka banyak tahu. Misalnya, siapa nan tahu puisi Aku karya Chairil Anwar, niscaya mereka tahu.

Jangankan orang umum, anak sekolah pun, aku konfiden tak ada nan tahu tentang sajak sunda, siapa penyair sunda nan terkenal, apa judul karyanya. Mungkin 90 persen siswa nan sekolah di Jawa Barat niscaya menjawab tak tahu.

Hal ini dapat terjadi sebab sajak sunda tak pernah diajarkan di sekolah. Bahkan dalam pelajaran bahasa sunda pun, sajak sunda sporadis dibahas. Jadi, jangan menyalahkan siswa nan tak tahu sajak sunda, salahkan kurikulumnya nan tak mengajarkan sastra sunda dalam pembelajaran di sekolah. Bagaimana siswa tersebut dapat tahu, diajarkan saja tidak.

Padahal sajak Sunda tak hilang, para penyair sunda nan menghasilkan sastera dan sajak sunda tetap hadir. Penyair sunda ternama dari Yus Rusyana, Godi Suwarna, Abdullah Mustopa, Ajip Rosidi, Usep Romli, dan nama besar lainnya tetap mengharu biru di bidang mereka. Dan publikasi terbatas kesundaan tetap hadir menemani dan mewarnai publikasi sajak Sunda. Ambil contoh satu sajak Sunda karya Godi Suwarna berikut ini :

Sajak ti Jalan ka Mana

Ngémploh pucuk-pucuk entéh

Mulas léngkob jeung lamping nu keur gumiwang

Sapanjang jalan rumangsang muru hibar gebur beurang

Hawar-hawar, kahariwang dilaungkeun kawih leuweung

Sabot mipir jegir pasir jeung kaketir nangtang ringkang

Lalaunan angin rintih ngusapan lengkah guligah Luak-léok ngitung tikungan

Kalah kérok balas nyawang pulas haté jeung langitna

Balitungan antara was-was mun nyorang lelewang jungkrang

Jeung panggupay ti palebah mumunggang gunung panungtung

Padungdengan sabot méga katémbong beuki meuleukmeuk

Samar-samar nyidem hujan jeung guludugBeuki jauh nyusud waktu

Bet kasarung satengahing kahayang nu pasulabreng

Antara ngajuringkang ka landeuhkeun, ka sisi talaga wening

Atawa rék terus nyusul jangjang julang kumalayang nilar sayang

Humandeuar ti tetelar ka tetelar nu horéng teu matak kelar

Kalah awor jeung geuneuk kelun halimun

Ngalulungsar di totowang

Mépéndé rurungsing jantung nu gumuruh silantangan

Sanggeus lawas ngaprak mangsa ngasruk tegal alimusa

Beuki surti yén mumunggang panganggeusan ngancik dina sanubari

Ngan kari ngaragap diri nu mindeng ngaberung mangprung

Kari naker ieu ketak saméméh béakeun hégak



Hadiah Sastra Rancage Pemelihara Sajak Sunda

Sebagaimana dalam Yarman (2003), di gambarkan bahwa kesenian Sunda bukan saja tak mati, tapi malah berprestasi. Hadiah Sastera Rancage secara konstan diberikan 5 tahun berturut-turut, dan ini merupakan prestasi tersendiri, sebab sebelumnya tak ada hadiah sastera di Indonesia baik itu daerah maupun nasional nan secara konstan diberikan 5 tahun berturut-turut.

Yayasan Kebudayaan rancage didirikan di hadapan Notaris Imas Fatimah, SH di Jakarta dengan akte No. 136 pada tanggal 23 Maret 1993, bertujuan buat membina dan mengembangkan kehidupan kesusasteraan, kehidupan kesenian, dan kebudayaan umumnya baik daerah maupun nasional. Kapital pangkal berasal dari para pendiri, tetapi yayasan ini menerima donasi dan dukungan dari pemerintah , masyarakat, badan-badan serta pihak-pihak lain nan menaruh perhatian pada tujuan yayasan sepanjang tak mengikat, baik materiil maupun sumbangan tetap atau hiba. Sedangkan bidang kegiatannya, selain memberikan hadiah sastera juga akan diberikan hadiah seni, disamping memberikan pembinaan apresiasi sastera dan seni melalui ceranmah dan penerbitan.

Mulai tahun 1994, Hadiah Sastera Rancage juga diberikan kepada para pengarang berbahasa Jawa. Besarnya hadiahpun dinaikkan 100 % menjadi Rp 2 juta buat masing-masing pengarang, kecuali buat hadia Samsudi tetap Rp 1 juta. Mulai tahu 1998, diberikan juga Hadiah Sastera rancage buat sasterawan Bali, Untuk tahun 1997 hadiah dinaikkan menjadi Rp 2,5 juta buat masing-masing pemenang. Sedangkan sejak tahun 1998 hadiah uang semakin ditingkatkan menjadi Rp 5 juta. Kalau keadaan Yayasan Kebudayaan rancage telah memungkinkan Insya Allah akan diberikan juga hadiah buat para pengarang nan menulis dalam bahasa daerah lain, kalau memang ada kegiatan sastera berupa penerbitan buku, bahkan juga bagi para pengarang nan menulis dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Tentu saja pemeliharaan dan pengembangan bahasa daerah maupun bahasa nasional merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Di dalamnya terlibat berbagai kegiatan seperti penerbitan, toko buku, perpustakaan, pembinaan apresiasi termasuk penulisan kritik dan lain-lain. Pemberian hadiah sastera hanya buat mendorong kegiatan penulisannya saja, buat selebihnya tak mungkin sebuah yayasan seperti Yayasan Kebudayaan Rancage malakukan semuanya sendirian, perlu donasi dan dukungan dalam berbagai segi dari seluruh lapisan masyarakat.

Penerima Hadiah Sastera “Rancage” Untuk Sastera Sunda

Sampai sekarang Hadiah Sastera “Rancage” diberikan setiap tahun sejak tahun 1989, sedangkan Hadiah “Samsudi”(hadiah buat penulis buku bacaan kanak-kanak bahasa sunda) diberikan sejak tahun 1993, walaupun tak setiap tahun sebab sering tak ada buku bacaan kanak-kanak bermutu nan terbit. Jadi bukan sekedar pemberian penghargaan buat kategori sajak sunda saja.

Sejak tahun 1990, Hadiah Sastera “Rancage”bertambah menjadi 2 (dua), yaitu hadiah buat karya (yang terbit berupa buku) dan hadiah buat jasa (untuk mereka nan berjasa dalam pengembangan sastera dan bahasa daerahnya).

Seseorang bisa saja memperoleh hadiah karya berkali-kali selama dia dinilai menerbitkan buku berupa karya-karya unggulan, tetapi buat hadiah jasa hanya diberikan sekali kepada seseorang.

Sejak tahun 1994 diberikan juga hadiah buat karya sastera dalam bahasa Jawa, dan sejak tahun 1998 diberikan juga hadiah buat karya sastera dalam bahasa Bali.