Etika dan Profesionalisme Humas
Banyak orang kurang menghargai pekerjaan humas. Humas dipahami sebagai pekerjaan dan taktik pintar buat meyakinkan masyarakat bahwa sesuatu itu sahih atau salah. Cara ini banyak dilakukan dengan teknik manipulasi buat mengelabui pencerahan masyarakat.
Makin berkembangnya asumsi seperti itu, etika humas nan mengatur tiap praktisi humas harus secara cepat mendapat revitalisasi. Idealnya, etika humas harus bersendikan pada nilai-nilai kejujuran, akurasi, integritas, dan kebenaran.
Sayangnya, tuntutan dari klien atau perusahaan ada kalanya memaksa tugas humas buat melakukan manipulasi, penipuan. Bahkan, kebohongan publik. Skandal terbesar di Indonesia mengenai fenomena ini dapat kita lihat dari kasus semburan lumpur panas Lapindo.
Skandal Lapindo
Berkaca pada kasus semburan lumpur panas Lapindo nan terjadi sejak 2006 dan hingga kini belum berhenti itu, kita dapat mencermati bagaimana cara kerja humas Lapindo. Sasaran pertama nan dimaui oleh Lapindo ialah berubahnya wacana dari semburan lumpur panas Lapindo menjadi semburan lumpur panas Sidoarjo.
Dengan terjadinya perubahan nama tersebut, nama Lapindo tak lagi inheren pada tragedi ini. Langkah selanjutnya ialah membuat serangkaian seminar geologi dengan mengundang banyak ahli buat menjelaskan bahwa ada mud volcano di Sidoarjo.
Mud volcano ini kemudian menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi sebagai dampak adanya gempa bumi di Yogyakarta. Namun, agenda ini tak sepenuhnya sukses karena sebagian ahli geologi nan masih memiliki integritas keilmuan menolak simpulan hasil seminar tersebut.
Padahal, simpulan nan dihasilkan dari seminar tersebut akan memiliki makna strategis bagi Lapindo. Simpulan itu akan digunakan sebagai basis pembenar ilmiah bahwa tragedi semburan lumpur panas Lapindo disebabkan oleh gejala alam, bukan sebab kesalahan teknis eksplorasi.
Dengan anggapan demikian, semburan lumpur tersebut harus dipahami sebagai akibat dari konvoi bumi. Oleh karena itu, harus disepakati sebagai kejadian bala alam.
Pengalihan Wacana
Makna krusial dari pengalihan wacana ini berada pada tanggung jawab. Jika semburan lumpur panas Lapindo ini dapat dinyatakan sebagai bala alam, nan wajib bertanggung jawab ialah pemerintah dengan dana pemerintah pula.
Jika gagal dan tetap dinyatakan sebab faktor kelalaian serta kesalahan dalam proses eksplorasi, nan bertanggung jawab ialah perusahaan dengan dana perusahaan pula.
Upaya tim humas Lapindo ini akhirnya gagal total. Masyarakat tak mempercayai bahwa tragedi itu berpangkal pada bala alam. Masyarakat tetap meyakini bahwa hal itu disebabkan oleh adanya kesalahan atau kelalaian teknis dalam pengeboran.
Mereka tetap menuntut agar Lapindo bertanggung jawab buat hal itu. Namun, silang sengkarut persoalan ini tetap mendudukkan masyarakat korban sebagai pihak nan dirugikan. Hingga kini, proses ganti rugi buat masyarakat korban masih belum tuntas.
Etika dan Profesionalisme Humas
Kegiatan Humas secara generik ialah kegiatan nan berhubungan dengan ‘persepsi’ dan nilai.’ Karena itu memerlukan perhatian pada asas-asas: profesional; obyektif; bermoral dan beretika; efisien; efektif; transparan; akuntabel; dan pelayanan berkualitas.
Dengan menjalankan asas tersebut, maka kita akan mampu buat menjadi aparat Humas pemerintah nan profesional dan handal dalam membentuk reputasi positif forum pemerintah nan diwakilinya, sehingga terwujud tata kelola pemerintahan nan baik.
Ketika berbicara mengenai status profesional Humas, publik seringkali merujuk pada keetisan aparat tersebut. Lalu apakah Etika itu? Etika ialah standar-standar moral perilaku, atau bagaimana Anda bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak.
Etika merupakan sebuah bentuk kompromi antara hak dan tanggung jawab individu. Sebuah ‘sintesis’ dari hak (sebagai ‘tesis’) dan tanggung jawab (sebagai ‘antitesis’). Ketika keduanya dinegasikan maka muncullah etika itu sebagai baku orang dalam berperilaku.
Etika bukanlah hal nan datang dengan sendirinya. Ia merupakan suatu hasil bentukan manusia. Etika diciptakan buat mengatur kehidupan manusia agar terjadi hubungan nan harmonis. Dalam prakteknya tidak ada etika nan mutlak.
Standar etika pun bhineka pada sebuah komunitas sosial, tergantung budaya, norma, dan nilai-nilai nan dianut oleh komunitas tersebut. Baik itu komunitas dalam bentuknya sebagai sebuah kawasan regional, negara, agama, maupun komunitas group. Tak ada etika nan universal.
Perbedaan tersebut bahkan seringkali telah melahirkan bentuk etika baru. Karena
ketika dua komunitas nan memiliki baku atau dasar etika nan berbeda berkomunikasi, mereka akan terikat dengan anggaran main.
Di mana kedua belah pihak dituntut buat menghormati etika masing-masing, agar komunikasi bisa terhindar dari kegagalan. Hal inilah nan pada akhirnya akan terbentuk etika baru sebagai sebuah bentuk kompromi baru dari dua buah etika nan berbeda. Bagi profesi Humas, baku atau dasar etikanya mencakup:
1. Sikap Profesional
Sikap profesional memiliki prinsip bahwa Anda harus bertindak atas dasar keinginan buat menciptakan kebaikan diantara kedua belah pihak, baik klien maupun komunitas. Bukan semata - mata buat mengejar posisi dan kekuasaan.
2. Kepercayaan mutlak, dan Tanggung jawab Sosial
Untuk menjadi seorang profesional, Anda diharapkan mampu memegang kepercayaan. Kesejahteraan publik atau pimpinan tergantung pada kecakapan dan tindakan Anda. Pimpinan harus mempercayai informasi nan diberikan oleh Humas lebih dari siapapun.
Sedangkan kehormatan seorang profesional Humas mengacu pada keyakinan dan kepercayaan nan diberikan publik, sebab konduite nan sahih dan keahlian nan Anda miliki.
Hal nan harus diperhatikan adalah:
1. Tanggung Jawab
Praktisi Humas memiliki tanggung jawab terhadap aplikasi pekerjaan dan fungsinya serta tanggung jawab terhadap akibat atau dampak dari tindakan aplikasi profesi tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi, organisasi/perusahaan, dan masyarakat generik lainnya.
2. Kebebasan
Para profesional Humas memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya tanpa merasa takut atau ragu-ragu, tetapi tetap memiliki komitmen dan bertanggung jawab dalam batas-batas anggaran main nan telah ditentukan oleh kode etik sebagai baku konduite profesional.
3. Kejujuran
Etika Humas harus jujur dan setia, serta merasa terhormat pada profesi nan disandangnya. Mengakui akan kelemahannya dan tak menyombongkan diri, serta berupaya terus buat mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman.
Di samping itu, tak akan ‘melacurkan’ profesinya buat tujuan nan tak bisa dipertanggungjawabkan, demi tujuan materi semata atau kepentingan sepihak.
4. Keadilan
Dalam menjalankan profesinya, maka setiap profesional memiliki kewajiban dan tak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak, mengganggu milik orang lain, lembaga, atau organisasi, atau mencemarkan nama baik bangsa dan negara.
Di samping itu, harus menghargai hak-hak, menjaga kehormatan nama baik, martabat, dan milik bagi pihak lain, agar tercipta saling menghormati dan keadilan secara obyektif dalam kehidupan masyarakat.
5. Otonomi
Dalam prinsip ini, seorang profesional memiliki kebebasan secara otonom dalam menjalankan profesinya sinkron dengan keahlian, pengetahuan, dan kemampuannya, organisasi, dan departemen nan dipimpinnya, buat melakukan kegiatan operasional atau kolaborasi nan terbebas dari campur tangan pihak lain.
Apa pun nan dilakukannya ialah merupakan konsekuensi dari tanggung jawab profesi. Kebebasan otonom merupakan hak dan kewajiban nan dimiliki oleh setiap profesional.
Standar komitmen nan tinggi atas etika dan sikap profesionalisme bagi para praktisi akan membedakan praktisi Humas dengan tenaga terlatih lainnya. Kemudian akan menjadikan profesi Humas mempunyai nilai lebih dalam pelayanan public interest . Landasannya adalah:
6. Professional Ethics
Perilaku nan profesional didasarkan pada niat baik, merasa diawasi dan dinilai jika melawan kode perilaku. Perasaan ini bisa terwujud, sebab dipaksa melalui interpretasi konkret bagi mereka nan menyimpang dari penampilan baku nan diterima.
7. The Imperative of Trust
Hubungan publik atau pimpinan forum dengan Humas berbeda dengan interaksi mereka dengan penyedia jasa lainnya. Disparitas dipusatkan pada interaksi berlandaskan kepercayaan.
Sewaktu pimpinan mencari jasa profesional, mereka menempatkan dirinya –bukan hanya pikirannya– dalam suatu resiko. Begitu juga dengan publik. Seringkali, mereka mempercayakan dirinya dan keinginannya kepada Anda. Karena itu, pimpinan atau publik dan Anda telah memasuki sebuah interaksi saling percaya, sehingga diharuskan buat bertindak sebaik mungkin.
8. Professional Privilege
Professional Privilege (hak istimewa) para profesional Humas berpondasi pada kepercayaan, keyakinan, dan konduite nan baik dari publik maupun dari sesama profesional. Untuk melindungi hak masing-masing dalam posisinya di masyarakat, para praktisi membuat kode etik dan standardisasi dalam praktek. Kode etik tersebut
seringkali memiliki kekuatan hukum dan kekuasaan terhadap hukuman negara.
9. Social Responsibility
Para profesional Humas juga harus bisa memenuhi kewajiban moral dan asa dalam masyarakat. Masalah etika Humas ini krusial diperhatikan. Karena pada dasarnya, kegiatan Humas memiliki pengaruh nan kuat dalam masyarakat.
Pengaruh tersebut terutama dalam menjalankan fungsinya secara efektif, dan sadar akan konsekuensi dari kegiatan nan dijalankannya. Pengaruh positif nan bisa ditimbulkan dampak dijalankannya etika Humas ini adalah:
- Humas bisa meningkatkan praktek profesionalisme dengan memberikan kode etik dan memberdayakan konduite dan kinerja nan bersifat etis dan standar.
- Humas mampu meningkatkan konduite dari suatu organisasi dengan menekankan pada kebutuhan akan aspirasi masyarakat.
- Humas mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyerap aspirasi nan berkembang di tengah masyarakat.
- Humas melayani kelompok masyarakat eksklusif dan masyarakat lainnya dengan menggunakan komunikasi dan media buat mengubah informasi nan tak sahih menjadi informasi nan sebenarnya.
- Humas mempengaruhi tanggung jawab sosialnya dengan mendukung kesejahteraan manusia dengan cara memperbaiki sistem sosial nan disesuaikan dengan perubahan kebutuhan dan lingkungan.