Eknomi Indonesia Pasca Orde Baru
Ekonomi Indonesia merupakan ekonomi berbasis pasar sehingga pemerintah sangat memegang peranan buat menjaga kestabilan. Dengan 164 Badan Usaha Milik Negara, pemerintah menetapkan harga listrik, bahan bakar dan barang-barang pokok.
Perekonomian Indonesia pada 2004 mengalami pertumbuhan sebesar 4,8% dengan PDB 863,6 milyar dolar dan menduduki urutan ke-15. Hal ini didukung oleh industri primer seperti minyak bumi, gas alam, industri pangan, industri kimia dan industri pariwisata. Dari sektor industri ini menyumbang 43,6% PDB, sementara sektor jasa 39,9% dan sisanya dari sektor pertanian.
Pada tahun 2003 nan menjadi kawan dagang Indonesia antara lain Jepang, Cina, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, Arab Saudi dan Thailand. Dengan kekayaan alam nan melimpah dan didukung sumber daya manusia nan cukup, semestinya ekonomi nasional Indonesia dapat tumbuh dengan stabil bahkan dapat mengejar negara-negara maju di kawasan Asia Tenggara dan Asia.
Apabila dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan PDB per kapita, beberapa pengamat merasa konfiden perekonomian Indonesia akan tumbuh menjadi ekonomi industri setelah tahun 1997.
Namun rupanya ada nan galat pada saat pemerintah Orde Baru berkuasa yaitu tumbuh suburnya praktek ekonomi monopoli nan menjadi salah satu elemen semakin terpuruknya kondisi ekonomi nasional Indonesia setelah badai ekonomi finansial di Asia menyapu Asia Tenggara dan mengibas dengan dahsyat kepada ekonomi nasional Indonesia.
Ekonomi Indonesia Awal Kemerdekaan
Perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan kondisi nan paling jelek sehingga kondisi keuangan negara pun ikut memburuk. Salah satu karena terjadinya hal ini yaitu tingginya angka inflasi.
Pada awal kemerdekaan ini mata uang Jepang nan beredar ditaksir sekitar 4 milyar, dan ketika tentara sekutu masuk dan menguasai bank, uang Jepang nan beredar sedikitnya bertambah 2,3 milyar nan diambil dari dana cadangan buat mendukung operasi.
Sampai dengan awal Maret 1946, setidaknya ada tiga mata uang berlaku di Indonesia yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank.
Menurut teori moneter dengan banyak uang nan beredar di masyarakat, akan menyebabkan harga naik. Pada kondisi ini nan paling jelas dirugikan ialah para petani, sebab merekalah nan menyimpan banyak mata uang Jepang.
Dalam kondisi ekonomi nan terjepit seperti itu, muncul kebijakan baru sejak 6 Maret 1946 bahwa di daerah-daerah nan diduduki sekutu diberlakukan mata uang NICA. Semakin parah pula keadaan ekonomi Indonesia.
Masalah lain nan turut memperparah keadaan perekonomian Indonesia dengan menyumbang angka inflasi semakin tinggi ialah adanya blokade ekonomi nan dilakukan Belanda. Sehingga menutup perdagangan baik nan masuk maupun nan keluar dari Indonesia. Selain itu pada saat nan sama keadaan kas negara benar-benar kosong dampak beban nan terjadi pada masa penjajahan.
Sampai dengan tahun 1959 saat Indonesia berada pada pemerintahan Demokrasi Terpimpin, keadaan perekonomian Indonesia masih tetap berat. Langkah nan dilakukan pemerintah buat menyelamatkan hal itu ialah melakukan sikap nan dikenal dengan Gunting Syafruddin.
Gunting Syafruddin ialah kebijakan nan dilakukan oleh Menteri Keuangan pada saat itu yakni Syafruddin Prawiranegara nan mengeluarkan kebijakan mutilasi nilai uang sampai tinggal setengahnya. Kebijakan ini buat menanggulangi defisit aturan sebanyak Rp. 5,1 milyar.
Langkah lain buat memperbaiki ekonomi Indonesia pada awal kemerdekaan ialah dengan menggulirkan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Sistem ekonomi nan dirancang oleh Sumitro Djojohadikusumo ini bagaimana merubah struktur ekonomi peninggalan kolonial menjadi struktur ekonomi Indonesia.
Langkah nan dilakukan Sumitro dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini antara lain menumbuhkan pengusaha dari kalangan pribumi, memberi kapital kepada pengusaha lemah agar ikut mendukung pembangunan ekonomi secara nasional, serta memberikan bimbingan kepada pengusaha pribumi agar mampu bersaing dengan pengusaha non pribumi. Namun gerakan nan digulirkan Sumitro ini mengalami kegagalan terutama sebab faktor mental nan dimiliki oleh pengusaha pribumi.
Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru
Perekonomian Indonesia selama 30 tahun Orde Baru memerintah, tumbuh pesat dari GDP per kapita sebesar 70 dollar menjadi 1.000 dollar pada tahun 1996. Salah satu upaya buat menyehatkan bidang perekonomian nan dilakukan oleh pemerintah Orde Baru ialah menekan angka inflasi tetap berada pada kisaran 5-10%, melalui kebijakan keuangan dan moneter nan ketat.
Kemudian pemerintah Orde Baru juga buat menyehatkan ekonomi nasional ini dengan menerapkan aturan berimbang. Sampai dengan tahun 1997, ekonomi nasional Indonesia tumbuh dengan GDP rata-rata tahunan mendekati angka 7%.
Dari perkembangan ini banyak pengamat merasa konfiden bahwa perekonomian nasional Indonesia akan tumbuh menjadi ekonomi industri dan menjadi pasar nan terus berkembang. Namun di sisi lain mulai tumbuh fertile kegiatan ekonomi monopoli oleh kroni-kroni Soeharto nan menjadi presiden jelek terhadap kestabilan perekonomian nasional secara makro.
Munculnya krisis finansial di Asia Tenggara nan dengan cepat mengimbas pula kepada Indonesia, dalam waktu singkat berubah menjadi krisis ekonomi dan krisis politik di Indonesia. Untuk mengendalikan kenaikan inflasi dan semakin melemahnya nilai tukar rupiah, maka pemerintah mengambil kebijakan dengan menaikkan suku kembang domestik.
Pada bulan Oktober 1997, IMF dan Indonesia sepakat buat melaksanakan program reformasi ekonomi. Langkah krusial dari reformasi perekonomian Indonesia ini ialah penghapusan kebijakan nan dinilai bisa merusakankestabilan ekonomi seperti menghentikan praktek monopoli.
Namun krisis ekonomi Indonesia ini semakin tak sederhana sampai dengan Presiden Soeharto mengundurkan diri. Inilah titik balik ekonomi nasional Indonesia nan sebelumnya diramalkan akan menjadi salah satu kekuatan baru di Asia.
Eknomi Indonesia Pasca Orde Baru
Langkah pertama nan dilakukan pemerintah baru setelah Presiden Soeharto lengser ialah meminjam dana dari IMF buat menyelamatkan ekonomi negara Indonesia. Program ini terus berlanjut sampai dengan Gus Dur menjadi Presiden Indonesia setelah B.J Habibie.
Sampai dengan 2010 perekonomian Indonesia mulai tumbuh pesat dan tetap dapat dijaga agar senantiasa stabil. Dibanding negara lain sesama anggota G20, Indonesia termasuk nan pesat pertumbuhan ekonominya setelah China dan India.
Situasi krusial setelah jatuhnya rezim Orde Baru ialah krisis keuangan dimana kondisi keuangan publik mengalami kemerosotan. Pada kondisi ini maka perekonomian nasional terlihat tak seimbang, yaitu utang dan subsidi terus meningkat sementara belanja pembangunan sangat menurun tajam.
Setelah melewati waktu hampir satu dekade, barulah kondisi ekonomi nasional Indonesia mulai sehat dengan sumber keuangan nan cukup. Indonesia juga sudah sukses menekan defisit nan rendah sebagai salah akibat dari kehati-hatian dalam pengambil kebijakan ekonomi secara makro.
Langkah krusial lain ialah sejak tahun 2001 munculnya kebijakan desentralisasi belanja, sehingga sampai dengan 2006 lebih dari seperti aturan belanja negara pemerintah pusat beralih ke pemerintah daerah.
Namun keadaan ekonomi makro nan secara susah payah dijaga itu terancam dengan kenaikan harga minyak global nan berdampak pada semakin tingginya subsidi nan disediakan pemerintah. Sekalipun subsidi tetap menjadi beban besar pada setiap aturan pemerintah, namun ada kondisi lain nan memberi asa yaitu akibat dari kebijakan Pemerintah B.J Habibie nan menerapkan desentralisasi wewenang pemerintah pusat kepada daerah.
Dampak dari kebijakan ini ialah kemampuan pemerintah daerah buat membelanjakan dana publik nan semakin meningkat. Dengan demikian pemerintah Indonesia memiliki kesempatan buat memperbaiki pelayanan publik nan selama ini diabaikan.
Apabila hal ini terus dikelola dengan baik, besar harapannya daerah tertinggal di Indonesia akan mengejar daerah lain sehingga beberapa indikator sosial pun mengalami kemajuan.