Budaya Kejawen
Agama kejawen ialah bukti peninggalan spiritual animisme di Jawa nan masih tetap bertahan sampai lintas zaman. Genre kepercayaan ini memang tidak sebesar agama samawi nan pengikutnya banyak sekali.
Namun walaupun jumlah orang nan masih mempercayai ajaran kejawen tinggal segelintir saja, pengaruh ajaran ini masih kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Terutama dalam prinsip dan filosofi hayati orang Jawa.
Dalam budaya dan Norma masyarakat jawa ada istilah laku perihatin. Itu sebenarnya bentuk dari ibadah kejawen. Laku prihatin wajib dijalankan bagi orang Jawa nan sedang berikhtiar mewujudkan cita-cita dan keinginannya.
Dalam laku prihatin, dianjurkan orang itu hayati sederhana, berpuasa Senin dan Kamis, dan harus dapat menahan dari dari godaan duniawi. Semua itu demi membangun mental nan tahan terhadap penderitaan.
Oleh sebab itu orang Jawa, terutama nan hayati di perantauan, mereka masih suka laku prihatin, walaupun hidupnya sudah sukses, harta melimpah, berkat kerja keras dan ulet. Mereka tetap hayati sederhana tanpa memamerkan hartanya.
Aliran nan Dapat Beradaptasi
Ajaran kejawen merupakan sebuah genre kepercayaan nan sudah ada di tanah Jawa sebelum masa Hindu-Budha masuk Nusantara. Ajaran ini merupakan tuntunan spiritual nan dianut oleh masyarakat Jawa kuno.
Dari etimologi bahasa, kejawen berasal dari kata jawi atau jawa . Jadi agama kejawen ialah ajaran spiritual nan dikembangkan dan dianut oleh orang Jawa sebelum agama samawi diperkenalkan di Nusantara. Sebenarnya agama jawa itu bukanlah agama, melainkan ajaran budi pekerti nan tetap memercayai keberadaan Sang Pencipta/Gusti Pangeran nan mahatunggal.
Ajaran animisme ini terus berkembang dan disempurnakan dengan pengaruh agama Hindu dan Budha ketika kedua agama ini masuk melalui rahib dari India dan China. Demikian juga ketika Islam masuk Nusantara, nan dibawa oleh pedagang dari Jazirah Arab. Pengaruh Islam pun turut menyempurnakan ajaran ini sehingga lebih baik.
Ajaran kejawen itu penuh filosofi nan digambarkan dalam simbol-simbol benda nan kerap dipakai buat keperluan manusia. Selain itu ajaran kejawen sering diterapkan dalam nasihat-nasihat pada prosesi acara budaya, seperti pernikahan, sekatenan, dan masih banyak lagi. Contoh filosofi kejawen nan diajarkan melalui media kesenian ialah wayang kulit dan wayang wong.
Syek Siti Jenar
Agama kejawen tidak terlepas dari sang penyiarnya, yakni Syek Siti Jenar nan hayati pada abad 14. Syekh Siti Jenar merupakan salah satu anggota dari sembilan wali/ulama penyiar agama Islam di Jawa.
Berbeda dengan walisongo nan mengajarkan Islam dengan kaffah dan siar melalui budaya Jawa, Syekh Siti Jenar lebih menekankan tasawuf Jawa atau sufistik. Padahal, pada masa itu orientasi siar Islam ialah mengenalkan Islam kepada jamaah mualaf, nan notabene belum mengerti apa itu Islam, termasuk ibadah dan Al-Quran.
Namun, sebagian besar ulama Islam menentang ajaran nan disiarkan oleh Syekh Siti Jenar sebab ajaran tersebut sesat dan menyimpang dari kadiah Islam. Syekh ini menggabung ajaran Islam dengan ajaran kejawen nan terlebih dulu dianut oleh masyarakat Jawa kuno. Karena siar dari Syekh Siti ini terlalu menyimpang jauh dari pakem kaidah Islam, terjadilah pertentangan.
Salah satu ajaran Syekh Siti Jenar nan terkenal ialah anjuran Manunggaling Kawulo Gusti . Jika dijabarkan secara sederhana ialah sekarang atau suatu saat kelak roh manusia akan manunggal dengan Sang Penciptanya. Berarti antara mahluk hayati dan penciptanya tidak pernah ada jeda memisahkan mereka.
Selain itu ada satu lagi ajaran budi pekerti nan sampai sekarang masih terapkan dalam kehidupan manusia Jawa, Hamamayu Hayuning Bawono nan artinya ialah menjadi manusia itu mesti memberikan kegunaan kepada sesama makhluk hayati dan alam sekitarnya. Bukannya justru berbuat kerusakan.
Budaya Kejawen
Ajaran kejawen sudah begitu mendarah daging pada sendi kehidupan manusia Jawa. Termasuk kehidupan berbudaya, semua mengandung pesan-pesan budi pekerti. Berikut ini ialah contoh-contoh ritual Jawa nan masih sering diselenggarakan di masyarakat Jawa.
Nyadran
Nyadran atau sadran merupakan contoh tradisi Jawa nan masih dilakukan setiap tahun di kalangan keluarga Jawa. Ritual ini dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Syaban, menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Makna dari nyadran ialah bentuk ungkapan rasa bersyukur kepada Tuhan atas karunia dan rezeki nan diberikan selama satu tahun ini. Bentuk rasa terima kasih itu diwujudkan dengan cara masyarakat beramai-ramai membuat semacam sesaji seperti ingkung atau ayam bakar dan berbagai kuliner khas Jawa.
Sesaji ini kemudian dikumpulkan di balai desa buat diberi doa. Setelah itu baru sesaji dimakan bersama dan sebagian diberikan kepada tetangga atau orang tidak mampu. Puncak ritual nyadran ialah bersih-bersih makam. Tujuannya ialah manusia hayati itu harus menghormati dan mendoakan leluhur nan sudah meninggal. Orang Jawa sangat menghormati leluhurnya nan sudah meninggal, maka dari itu salah satu bentuknya ialah membersihkan makam keluarga.
Tumpengan
Nasi tumpeng atau tumpengan selalu ada pada setiap proses syukuran, baik ulang tahun, selamatan, dan sebagainya. Nasi tumpeng biasanya terbuat dari nasi kuning nan kemudian dibentuk mengerucut. Tumpeng ini disajikan dalam wadah bundar nan terbuat dari anyaman bambu atau tampah. Tumpeng dilengkapi dengan berbagai lauk dan sayuran tujuh macam.
Tumpeng merupakan simbol bahwa setiap manusia harus bersyukur dan ingat terhadap Sang Pencipta. Hal ini diwujudkan dengan bentuk kerucut, nan menunjukkan langit. Sedangkan penjabaran dari tumpeng ialah naliko metu kedah tumempeng , artinya jika manusia ingin keluar atau memutuskan sesuatu harus sungguh-sungguh dilaksanakan. Sedangkan makna nasi kuning ialah simbol dari kematangan moral dan akhlak manusia.
Saat digelar syukuran, biasanya ada orang nan dipersilakan memotong pucuk tumpeng, yaitu orang nan lebih tua atau dituakan. Istilah Jawanya kasepuhan. Setelah tumpeng dipotong dan diberi lauk oleh kasepuhan, pucuk tumpeng ini diberikan kepada orang nan lebih muda atau junior.
Maknanya ialah orang tua wajib memberikan nasihat kepada nan lebih muda. Selain itu orang tua juga harus dapat memercayai nan muda buat mengerjakan sesuatu nan lebih baik. Sedangkan anak muda juga sebaliknya wajib menghormati orang tua atau orang nan dituakan.
Setelah itu barulah nasi tumpeng kuning ini dimakan bersama-sama oleh orang nan menghadiri syukuran.
Tedak Siten
Tedak siten merupakan ritual nan kerap dilaksanakan di keluarga Jawa nan mempunyai balita berusia sembilan bulan. Tedak siten ini melambangkan persiapan sang anak sebelum turun ke bumi atau menjejakan kakinya ke tanah. Ibaratnya persiapan ini mengandung arti sebuah nasihat kepada sang anak.
Pada ritual ini terdapat sejumlah sesaji pendukung seperti jadah tujuh rupa, tangga nan dibuat dari tebu, dan masih banyak lagi.
Patut ditegaskan bahwa menganut kejawen bukanlah mengajarkan praktik klenik atau perdukunan nan sesat. Kejawen ialah ajaran nan mulia, menganjurkan manusia mencari jati dirinya. Dalam ajaran ini manusia diharuskan hayati serasi dengan alam dan mahluk kreasi Tuhan .
Demikianlah sekilas tentang agama kejawen.[]