Carles dan Sergio Busquets
Bagaimana rasanya memiliki seorang ayah atau seorang anak nan satu profesi? Apalagi jika profesi tersebut ialah pemain sepakbola, olahraga terpopuler di dunia. Biasanya, seorang ayah nan berhasil menjadi pemain bintang, akan diikuti jejaknya oleh sang anak. Dalam kasus seperti Johan Cruyff dan Jordi Cruyff, kesuksesan sang ayah terlalu jauh dibandingkan dengan keberhasilan sang anak.
Namun, ada kalanya nan terjadi justru sebaliknya. Sang ayah ialah pemain sepak bola nan biasa-biasa saja dan sang anak sebagai generasi berikutnya, tampil luar biasa. Berikut ini beberapa contoh ayah dan anak nan berhasil sebagai pemain bola.
Johan dan Jordi Cruyff
Siapa nan tak mengenal Johan Cruyff? Dia dianggap sebagai salah satu pesepakbola tercerdas nan pernah lahir di muka bumi. Sebagai pemain di taraf klub, Johan Cruyff berhasil bersama Ajax Amsterdam dan FC Barcelona. Cruyff ialah produk orisinil akademi muda Ajax. Di salah satu klub terbesar di Belanda ini, dia membawa kejayaan.
Bersama Ajax, Johan Cruyff memenangkan European Cup (sekarang Perserikatan Champions) tiga kali berturut-turut. Pada taraf Eredivisie (Liga Belanda), Cruyff membawa Ajax kampiun enam kali dalam rentang tujuh musim (1966/1966-1973).
Kesuksesan sang maestro membuat klubnya menguasai Eropa, menggoda Barcelona, klub Spanyol. Johan Cruyff langsung menjadi pemain kesayangan rakyat Catalan sebab dalam konferensi pers di awal berlaga buat Barcelona, Cruyff berkata bahwa ia memilih Barcelona sebab tidak mungkin bermain buat klub nan dekat dengan tiran Spanyol, Jenderal Franco. Siapa lagi klub nan disindir Cruyff kalau bukan Real Madrid. Di Barcelona pula Cruyff kelak menjadi ayah.
Di Barcelona, Cruyff membawa perubahan besar. Musim pertama kedatangannya langsung menghasilkan gelar kampiun La Liga bagi Barcelona. Padahal, sebelum Johan Cruyff tiba, Barcelona seolah sungkan meraih prestasi tersebut dalam 14 tahun. Cruyff masih menghadirkan satu gelar lagi buat El Barca, yaitu kampiun Copa del Rey 1978.
Kecintaannya terhadap Barcelona dan Catalan, membuat Cruyff menamai anaknya Jordi, nan penuh dengan cita rasa Catalan. Kelak Jordi juga akan mencoba peruntungan seperti sang ayah, namun jelas tidak mampu mendekati pencapaiannya.
Jordi Cruyff lahir pada 9 Februari 1974. Ketika dia lahir, Jordi seolah sudah harus menentang global nan akan membanding-bandingkannya dengan sosok sang ayah. Jordi memulai karier di Barcelona B, kala sang ayah menangani tim senior Barcelona sebagai pelatih. Dua tahun dimatangkan di taraf junior, Jordi akhirnya melakoni debut bersama klub kebanggaan rakyat Catalan pada September 1994. Adanya sang ayah di sisi membuat penampilan Jordi turut mengilap.
Namun, seiring dengan pemecatan sang ayah, posisi Jordi di Barcelona semakin terancam. Akhirnya, pada 1996, Jordi menandatangani kontrak bersama Manchester United, tempatnya memulai karier baru tanpa bayang-bayang sang ayah. Di Manchester United, Jordi lagi-lagi memulai karier dengan cemerlang. Namun, cedera berulang-ulang menghantam Jordi. Alhasil, dia tak lagi mendapatkan loka di skuad Sir Alex Ferguson lagi.
Empat musim berseragam United (dan sempat dipinjamkan ke Celta Vigo), akhirnya Jordi pindah. Pembandingan dengan sang ayah tampaknya terus menghantui karier Jordi. Dia beberapa kali berganti klub sebelum gantung sepatu pada 2011 di klub Perserikatan Malta, Valletta. Sepanjang hidup, Jordi cuma memperkuat timnas Belanda 9 kali. Sebuah pencapaian karier timnas nan jauh lebih sedikit dibandingkan sang ayah.
Keluarga Mazinho
Kalau Jordi dan sang ayah ialah perbandingan sulitnya anak mengikuti jejak keberhasilan ayah di global sepakbola, lain ceritanya dengan keluarga Mazinho, salah satu pemain Brazil.
Mazinho ialah salah satu pemain nan membawa Brazil menjuarai Piala Global 1994 di Amerika Serikat. Mazinho nan berposisi sebagai gelandang, pernah mengembara ke tanah Spanyol dan memperkuat tiga klub dalam enam musim.
Mazinho juga pernah merasakan kerasnya persaingan Serie-A. Di Perserikatan Italia, dia bermain buat Lecce dan Fiorentina. Pernikahannya dengan Valeria Alcantara nan seorang atlet voli, membuahkan dua anak nan tidak kalah brilian, Thiago dan Rafinha Alcantara. Dua bocah ini bersinar bersama Barcelona dan dapat dikatakan tengah membuka jalur nan lebih spektakuler daripada sang ayah.
Thiago Alcantara menjadi salah satu tulang punggung Barcelona era Pep Guardiola nan begitu rakus dengan gelar. Di usia belia, Thiago sudah merasakan nikmatnya meraih 5 gelar dalam 6 kompetisi pada tahun 2011 lalu. Thiago nan berperan sebagai gelandang tengah diproyeksikan akan menggantikan peran Xavi Hernandez, salah satu pemain nan menjadi legenda Barcelona bahkan sebelum pensiun.
Adik Thiago, Rafinha Alcantara, juga tengah meretas karier serupa. Rafinha mulai mendapatkan loka di tim senior Barcelona pada musim 2011/2012. Seiring dengan perjalanan waktu, dapat jadi akan ada duet lini tengah Thiago-Rafinha mengingat sang adik bermain sebagai gelandang serang. Di usia belia, mengingat sorotan media nan begitu besar bagi para pemain Barcelona, dapat dikatakan, Thiago dan Rafinha Alcantara sudah mencapai popularitas nan setara dengan ayah mereka.
Carles dan Sergio Busquets
Satu lagi ayah dan anak nan tampil buat Barcelona ialah Carles dan Sergio Busquets. Carles Busquets ialah kiper cadangan The Dream Team Barcelona ketika menjuarai Perserikatan Champions pertama kalinya pada 1992. Kala itu, Carles menjadi deputi buat Andoni Zubizarreta, salah satu kiper legendaris Spanyol.
Posisinya sebagai nan kedua sempat berubah di pertengahan dasa warsa 1990-an. Zubizarreta meninggalkan Barcelona buat bergabung dengan Valencia. Kesempatan ini digunakan Carles buat menunjukkan bakatnya. Namun pada akhirnya, Carles kembali harus menyadari beratnya bersaing di klub sekelas Barcelona.
Manajemen memutuskan buat mencari kiper nan lebih terkenal. Pilihan tiba pada Victor Baia (Portugal) dan Ruud Hesp (Belanda). Apalagi di akhir era 1990-an, datanglah Louis Van Gaal, instruktur Belanda nan seolah ingin memasukkan semua pemain Belanda ke dalam kubu Barcelona.
Hingga pindah ke Lleida, Carles Busquets bermain 99 kali buat Barcelona. Kelak, kebanggaan Busquets berseragam Barcelona, akan dilanjutkan oleh Sergio Busquets, sang anak. Bahkan, Sergio lebih berhasil mendapatkan loka inti daripada sang ayah.
Sergio Busquets datang ke Barcelona pada waktu nan tepat. Musim 2008/2009, ia memulai debut di tim Barcelona nan lebih mengandalkan produk akademi La Masia. Adalah Josep Guardiola nan berani bertaruh buat memainkan gelandang bertahan ini. Alhasil, pada usia 20 tahun, Sergio sudah menjadi jangkar tim sekelas Barcelona. Musim pertama Sergio berseragam Barcelona dilakoni dengan sukses. Dia tampil 41 kali di seluruh kompetisi.
Bahkan, pada musim-musim berikutnya, Sergio selalu tampil di atas 40 kali per musimnya. Meskipun Sergio dikenal dengan sosoknya nan begitu mudah jatuh oleh "embusan angin", ia tetap merupakan instrumen krusial bagi kejayaan Barcelona di akhir dasa warsa 2000-an hingga awal 2010-an. Yang unik, Sergio berhasil memboyong gelar Perserikatan Champions 2009 dan 2011. Dengan catatan ini, Sergio dan Carles tercatat sebagai anak dan ayah ketiga nan sama-sama mampu memenangi gelar Perserikatan Champions sepanjang sejarah.
Saat ini, ayah dan anak ini terus bekerja sama di klub kebanggaan rakyat Catalan. Kalau Sergio bermain buat Barcelona, maka Carles sang ayah menjadi instruktur kiper Barcelona.