Contoh Perubahan Sosial Budaya Konformitas dan Antisipasinya

Contoh Perubahan Sosial Budaya Konformitas dan Antisipasinya

Apa nan terbayang di benak kamu ketika mendengar kata perubahan sosial budaya? Apakah kata antik dan modern? Atau eformasi? Atau kerusuhan? Ataukah mungkin globalisasi? Jika diajukan pertanyaan apa contoh perubahan sosial budaya nan kamu tahu di Indonesia, apa kira-kira nan akan kamu ambil sebagai contoh?

Sebelum membahas perubahan sosial budaya dan terlebih contoh perubahan sosial budaya, kiranya kita perlu membahas dan memahami dahulu apa nan dimaksud dengan sosial, budaya, sosial budaya, dan perubahan itu sendiri.



Sosial, Budaya, Sosial Budaya, dan Perubahan

Secara etimologis, definisi sosial diambil dari kata Latin socius atau socii, yang berarti 'teman', 'rekan', atau 'sekutu'. Manusia nan menurut para pakar sosiologi atau sosiolog dikatakan sebagai makhluk sosial, berarti manusia selalu memerlukan teman, tak dapat benar-benar hayati sendirian selama hidupnya. Bahkan manusia mustahil ada tanpa mediator manusia lain.

Karena itu 'sosial' lebih mengacu kepada 'interaksi manusia nan satu dengan nan lainnya,' atau mengacu kepada 'koeksistensi kolektif manusia'.

Sementara budaya berasal dari kata cultura atau cultus, istilah nan berkaitan dengan colonus atau colonia yang berarti 'koloni,' atau 'perkumpulan.'

Menurut Benny H. Hoed (2008: 35), kebudayaan manusia bisa dilihat dari aspek material dan non material atau idealisnya. Dari aspek material, budaya atau kebudayaan bisa diartikan lebih lanjut sebagai 'segala seni, adat, dan Norma nan mengkarakterisasi sebuah serikat atau Negara'.

Sementara dari aspek non material, budaya atau kebudayaan bisa diartikan sebagai 'keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan cara-cara nan mencerminkan konduite atau cara hayati seseorang'.

Jadi, sosial budaya atau sosio budaya berarti segala aspek nan ada di dalam, nan memungkinkan terbentuknya, hingga mengkarakterisasi serikat manusia. Aspek-aspek tersebut berasal dari dalam diri manusia sendiri. Dan ketika mereka berkumpul dan berkomunikasi terbentuklah suatu konvensi atau kesepakatan di antara mereka nan kemudian menjadi sosial budaya tadi.

Perubahan sendiri berarti 'proses menjadi berbeda'. Ketika kita mendengar kata 'proses', berarti kita mengetahui bahwa ada sebuah kegiatan atau kejadian nan berlangsung di dalamnya.

Seperti halnya dalam contoh 'proses pemanggangan roti', kita tahu bahwa selama roti tersebut dipanggang, ada aktifitas kalori atau panas nan terjadi, ada aktifitas para bakteri nan mengembangkan dan mematangkan roti tersebut nan terjadi. Sehingga hal ini bisa dikatakan sebagai proses.

Perubahan juga merupakan sebuah proses. Sesuatu nan tak berubah nan bisa kita sebut sebagai hal nan 'sama', tetap sama sebab tak mengalami suatu proses atau perlakuan nan 'berbeda'. Tetapi, sesuatu nan berubah, kita sebut 'berbeda' sebab memang mengalami perlakuan nan berbeda, seperti halnya 'roti panggang' tadi.

Perubahan sosial budaya terjadi sebab ada suatu hal atau suatu perlakuan atau pengalaman atau proses nan berbeda nan 'menginterupsi' keberlangsungan sosial budaya tersebut di suatu komunitas atau serikat manusia. Pitirim Sorokin, sosiolog abad klasik Eropa menjelaskan, sebenarnya sosial budaya memang tak pernah statis, melainkan selalu berubah.

Hal ini dikarenakan sosial budaya sendiri terbentuk oleh konvensi atau kesepakatan manusia di lingkungan tersebut. Kreatifitas manusia ialah satu nan menyebabkan sosial budaya tersebut niscaya berubah.

Belum lagi ketika mereka berjumpa dengan manusia lain dari lingkungan sosial budaya lain. Hal ini segera akan memberikan mereka masukkan baru nan mendorong mereka buat membentuk konvensi baru lagi.

Perubahan sosial budaya ialah satu hal nan tak bisa dihindari. Hanya saja nan perlu diperhatikan ialah intensitas perubahannya. Apakah perubahan itu akan mengubah sepenuhnya atau sebagian, dan nan paling penting, apakah perubahan itu mengakibatkan akibat positif atau negatif.



Globalisasi dan Konformisme: Contoh Perubahan Sosial Budaya di Indonesia

Globalisasi ialah satu istilah nan juga sering kita dengar. Globalisasi mengacu kepada konsep 'terbukanya batas-batas antara Negara', nan mungkin terjadi sebab adanya teknologi.

Terbukanya batas-batas ini kemudian memungkinkan buat terjadinya hubungan langsung antar Negara, otomatis juga antar lingkungan sosial budayanya, dan terjadinya pertukaran antar unsur-unsur sosial budayanya.

Globalisasi ini diharapkan membawa perubahan nan positif dan bermanfaat bagi kedua, lebih negara, atau lingkungan sosial budaya tersebut.

Bila kita menilik sejarahnya, globalisasi dimulai dari era industrialisasi atau revolusi industri Eropa, di mana kemajuan teknologi saat itu paling terlihat signifikan. Sejak saat itu, arus globalisasi melanda seluruh benua, termasuk Asia, termasuk negara Indonesia.

Sorokin menjelaskan, perubahan sosial budaya masih bisa ditoleransi, jika perubahan nan terjadi pada aspek materialnya tak sampai mengubah sama sekali aspek non materialnya. Terutama nan lebih ke arah negatif.

Contoh perubahan sosial budaya pada aspek material ialah pada teknologi transportasinya, dari sepeda menjadi sepeda motor. Perubahan teknologi transportasi ini kemudian tak boleh sampai mengubah aspek non material sosial budaya, misalkan pada budaya bekerja keras menjadi malas-malasan sebab kemudahan nan dirasakan begitu besar.

Jadi, ketika kita mengalami suatu fase globalisasi, dan kita melihat adanya persinggungan antar unsur sosial-budayanya, kita bisa menyimpulkan bahwa globalisasi bisa dikatakan sebagai salah satu contoh perubahan sosial budaya di Indonesia.

Akan tetapi, bila kita mau meneliti lebih jauh, contoh perubahan sosial budaya nan seperti apa nan terjadi di Indonesia? Apakah positif atau negatif? Apakah contoh perubahan sosial budaya ini menghilangkan ciri orisinil atau karakteristik khas sosial budaya Indonesia atau tidak? Ini nan perlu kita identifikasi. Kita perlu jajak lagi apa itu globalisasi.

Ketika konsep globalisasi disebar, bersamaan dengan itu juga disebarkan konsep modernisasi. Menurut Giddens (1991: 1-9, dalam Hoed, 2008: 106), modernisasi ialah sebuah perubahan budaya nan didasari oleh konsep modernitas. Modernitas ini mempunyai dua karakteristik khas. Pertama, cenderung mengurangi nilai adat Norma nan sudah mantap ( trust ). Kedua, cenderung melihat ke luar ( risk to globalizing ).

Dalam setiap lingkungan sosial budaya, pada dasarnya telah memiliki bibit-bibit modernisasi. Karena seperti nan telah dijelaskan, budaya selalu bersinggungan dengan budaya lainnya sebab sifat manusia nan sosial tadi.

Akan tetapi, nan menjadi masalah ialah apabila modernisasi ini berjalan tak imbang pada kedua budaya nan bersinggungan. Yang satu terus memberi atau menjadi donor, nan lain terus menerima atau menjadi resipien. Yang terjadi kemudian ialah konformitas di satu pihak.

Konformitas berasal dari kata Inggris conform yang berarti 'nyaman'. Konsep konformitas mengacu pada hal di atas, kepasifan atau tak adanya sikap kritis satu lingkungan sosial budaya dalam menerima sosial budaya lain.

Konformitas ini jelas mengakibatkan perubahan, tetapi perubahan pada apa nan dimaksud Sorokin, perubahan pada aspek non material budaya. Mengapa, sebab sikap pasif ini sendiri sudah merupakan perubahan aspek non material, seperti sikap, keyakinan, adat, atau kebiasaan.

Konformitas ini sendiri sudah menjadi suatu contoh perubahan sosial budaya di Indonesia, tapi tak boleh ditoleransi. Inilah contoh perubahan sosial budaya nan konkret terjadi di Indonesia kini.



Contoh Perubahan Sosial Budaya Konformitas dan Antisipasinya

Kita telah mengetahui bahwa konformitas ialah satu contoh perubahan sosial budaya nan tak baik nan terjadi di Indonesia. Jelasnya satu contoh perubahan sosial budaya dalam bentuk konformitas, nan paling tampak ialah penggunaan teknologi informasi-komunikasi.

Teknologi informasi-komunikasi, seperti nan kita tahu jelas, merupakan satu hal nan pernah tercipta buat membantu memudahkan hubungan manusia. Teknologi informasi-komunikasi bisa dikatakan sebagai contoh perubahan sosial budaya pada aspek material.

Misalnya, menghubungkan dua orang nan ruang dan waktunya jauh menjadi lebih dekat, itu memberikan mereka kesempatan berkomunikasi dengan lebih efektif dan efisien. Tetapi, kemudian teknologi ini bukan lagi dimanfaatkan secara efektif dan efisien, justru memperbudak para penggunanya buat menjadi rumit dan boros.

Dua orang nan sudah dekat ruang dan waktunya, justru dijauhkan dan dipisahkan sebab keduanya menggunakan teknologi informasi-komunikasi tadi buat berkomunikasi. Atau sebab kesibukan keduanya 'mencari-cari' komunikasi dengan pihak lain lagi nan jauh, keduanya saling tak peduli dan tak berkomunikasi, sehingga menjadi jauh.

Ini jelas manusianya nan merugikan diri sendiri dengan penggunaan teknologi tadi, atau dengan kata lain, 'memperbudak diri.' Inilah konformitas. Tindakan hanya ikut-ikutan memanfaatkan contoh perubahan sosial budaya, tapi tak mengatasinya secara efektif dan efisien.

Contoh perubahan sosial budaya dalam bentuk konformitas nan lain ialah model berbusana atau nan sering disebut fashion. Busana memang mempunyai dua fungsi dasar, yaitu fungsi biologis, yakni sebagai pelindung tubuh dan fungsi sosial, yakni busana sebagai bagian dari tata cara berinteraksi atau berteman dalam lingkungan sosial budaya.

Indonesia jelas telah memiliki sendiri budaya berbusananya, yaitu apa nan disebut 'adat ketimuran', nan mengutamakan kesopanan, kepantasan, dan tertutup nan merupakan pencerminan terhadap orang Timur itu sendiri.

Tetapi, kemudian ketika ide-ide perkembangan gaya berbusana nan dihembuskan tanah Barat sampai ke Indonesia, adat-adat keTimuran ini kemudian segera dianggap antik atau langsung ditinggalkan.

Sekarang toleransi atau pemakluman terhadap gaya berbusana terbuka, berantakan alias tak sopan, makin aneh itu makin pantas, menjadi satu contoh perubahan sosial budaya nan dianggap baik.

Padahal pada hakikatnya hal tersebut telah mengubah sosial budaya kita sendiri, apakah itu bisa disebut baik? Ini konformitas dan kita hanya ikut-ikutan, budaya kita sendiri tak berkembang, apa ini baik?

Kita ialah manusia, makhluk nan diciptakan dengan kemampuan berpikir. Karena itu, tiap kali kita menghadapi contoh perubahan sosial budaya, harus kita antisipasi dengan berpikir. Berpikir kritis, dengan mempertanyakan kembali tiap perubahan itu kepada hakikat perubahan nan baik.

Jangan sampai suatu saat budaya kita sendiri menghilang di muka bumi dan kita hanya menjadi budak budaya Negara atau lingkungan sosial budaya lain. Jangan sampai kita sendiri menjadi contoh perubahan sosial budaya nan negatif bagi anak-anak turun kita nanti.