Kontroversi Hak Veto Liga Bangsa-Bangsa
Anda masih ingat kasus kapal Mavi Marmara? Saat itu Dewan HAM Liga Bangsa-Bangsa secara resmi telah mengutuk tindakan biadab tentara Israel nan menyerang kapal Mavi Marmara. Kutukan dewan HAM PBB tersebut lalu ditindaklanjuti dengan pembentukan tim pencari fakta buat mengusut insiden penyergapan Israel terhadap kapal nan berlayar buat misi humanisme sehingga menewaskan 10 orang tersebut.
Namun anehnya, Presiden Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa nan juga diplomat Belgia, Alex Van Meeuwen bersama dengan empat anggota Uni Eropa lainnya abstain dalam pemungutan suara. Dianggap tidak didukung oleh Amerika dan Uni Eropa maka tidak mengherankan bila misi tim independen pencari fakta internasional ini akhirnya ditolak kehadirannya oleh Israel.
Penolakan Israel nan jelas-jelas melecehkan keberadaan PBB tersebut ternyata ditanggapi seperti angin lalu oleh Amerika dan konco-konconya. Tak mengherankan bila sikap Israel justru semakin jumawa karena selalu merasa dilindungi oleh Amerika.
Kasus lainnya, saat Amerika Perkumpulan menggunakan hak vetonya buat menggagalkan resolusi PBB nan mengutuk permukiman Israel di daerah Tepi Barat dan Yerusalem Timur serta meminta kepada Israel buat segera menghentikan semua kegiatan permukiman di atas tanah Palestina sekaligus menegaskan kembali bahwa daerah-daerah permukiman Israel nan dibangun di wilayah rampasan perang tahun 1967 ialah tak legal.
Padahal, resolusi itu didukung oleh lebih dari 120 negara dan Amerika Serikatlah satu-satunya negara nan tak mendukung di antara kelima belas negara anggota Dewan Keamanan. Tak mengherankan bila kedua kasus tersebut dapat terjadi karena sepanjang sejarahnya Amerika Perkumpulan telah 36 kali menggunakan hak vetonya buat menggagalkan resolusi nan merugikan Israel.
Apalagi resolusi nan menuntut Israel buat keluar dari bumi Palestina, sesuatu nan mustahil bagi Amerika. Masihkah global membutuhkan Liga Bangsa-Bangsa?
Sejarah Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa
Bila dilihat sejarah berdirinya, Liga Bangsa-Bangsa ialah sebuah organisasi internasional nan anggotanya hampir seluruh negara di seluruh global dan dibentuk dengan maksud dan tujuan nan amat mulia, yaitu “memfasilitasi dalam pengamanan internasional, hukum internasional, forum ekonomi, dan konservasi sosial”. Intinya ialah bisa menjaga perdamaian dunia.
Akan tetapi, justru makin banyak suara nan bertanya, ”Masihkah global membutuhkan Liga Bangsa-bangsa?" Mengapa demikian? Karena PBB berdiri di atas dasar negara-negara pemenang pada perang global kedua.
Lima dari 15 negara lalu diberikan hak veto oleh Dewan Keamanan PBB. Negara-negara tersebut ialah Amerika Serikat, Uni Soviet (Rusia), Inggris, Prancis dan Republik Cina (Taiwan) nan kemudian diambil alih menjadi Republik Rakyat Cina pada 1979.
Kata veto berasal dari bahasa Latin nan berarti 'saya menolak'. Hak veto ialah hak buat membatalkan putusan, tetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Hak veto ternyata digunakan di dewan keamanan pada forum sekaliber PBB nan menaungi hampir seluruh negara nan ada di dunia.
Kontroversi Hak Veto Liga Bangsa-Bangsa
Karena sejarah berdirinya PBB berdasakan bentukan negara-negara kuat pemenang perang Perang Global II, tidak mengherankan bila kelima negara jawara perang global II itu saja nan memiliki hak veto. Jauh sebelum Amerika dan konco-konconya menggunakan hak veto semaunya seperti sekarang ini, banyak tokoh internasional nan menyarankan agar PBB dirombak atau direformasi.
Itu dilakukan agar meninjau ulang hak veto sehingga bisa mengakomodasi perkembangan global internasional khususnya negara-negara Asia-Afrika. Tokoh-tokoh tersebut juga menyarankan reformasi pada PBB, khususnya Dewan Keamanan sebab adanya hak istimewa kelima negara pemenang perang tersebut. Di antara para tokoh internasional tersebut, nan paling keras suaranya ialah Presiden Soekarno di era 1960-an.
Sebenarnya, hak veto di kalangan barat sendiri dianggap sebagai masalah terbesar nan telah membuat PBB pincang dalam menjalankan fungsinya secara objektif. Philip Noel-Baker, mantan Menteri Luar negeri Inggris, pernah mengatakan “Pemerintah Inggris telah bertekad buat membunuh politik kekuasaan dengan metode-metode demokrasi nan terdapat di dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa ”.
Akan tetapi, suara-suara seakan-akan hilang tidak terdengar, dikalahkan oleh intervensi negara adi daya Amerika Serikat. Di negara adikuasa itu, presiden memang memiliki hak veto buat membatalkan hasil rancangan undang-undang nan diajukan oleh Kongres AS walaupun menyangkut keselamatan negara dengan alasan agar mengimbangi besarnya kekuasaan forum legislatif.
Mungkin sebab itulah Amerika ingin memberlakukan hal nan sama terhadap forum PBB sehingga PBB ialah milik Amerika Serikat. Setiap putusan nan diambil PBB buat dunia, selalu diveto oleh Amerika. Padahal, secara struktur organisasi, PBB telah mengakomodasi konsep trias politikanya Montesquieu.
Buktinya, PBB mempunyai Majelis Generik nan bertindak sebagai dewan legislatif. PBB mempunyai Dewan Keamanan nan bertindak sebagai dewan eksekutif. Terakhir, PBB juga memiliki Mahkamah Peradilan Internasional nan berfungsi sebagai dewan Yudikatif. Tapi sayangnya, ketiga elemen krusial PBB tersebut seperti tak bekerja maksimal dan terkesan porsi kewenangannya tidak seimbang.
Sebagai contoh, Dewan Keamanan memiliki hak politik istimewa dibandingkan Majelis Generik maupun Mahkamah Peradilan Internasional. Semua putusan krusial nan terkait dengan masalah-masalah internasional menjadi wewenang Dewan Keamanan semata tanpa perlu melibatkan Majelis Generik maupun Mahkamah Peradilan Internasional.
Majelis Generik dan Mahkamah Peradilan Internasional sama sekali tak memiliki kekuatan hukum internasional nan bisa memvonis bersalah dan menghukum negara agresor atau negara pelanggar HAM berat, seperti Israel, Suriah, atau Serbia. Tugas Mahkamah Peradilan Internasional hanyalah sebatas menunggu Majelis Generik dan Dewan Keamanan meminta nasihatnya.
Akibatnya parah, PBB menjadi lumpuh tidak berdaya. Meskipun sebenarnya ada embargo dan syarat-syarat nan terkait dengan penggunakan hak veto nan dimiliki oleh lima negara bila bertentangan dengan piagam PBB, sepertinya hal tersebut diabaikan oleh mereka. Bahkan, kelima negara tersebut seperti dilindungi dari sanksi-sanksi nan berkenaan dengan penggunaan hak veto mereka.
Bukan itu saja, hak veto ini justru menggiring PBB buat menuruti kepentingan kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan tersebut. Jadi, setiap putusan PBB harus sinkron dengan keputusan anggota tetap Dewan Keamanan dan bila tak sejalan, kelima negara tersebut tidak segan-segan menggunakan hak vetonya buat menggagalkan setiap usulan tersebut. Sungguh, dengan adanya hak veto inilah nan menjadi sumber malapetaka dunia.
Jadi, segala karut marut nan mengoyak perdamaian global selama ini seperti nan terjadi di Palestina, permasalahannya sebab adanya hak veto. Bika hak veto terus dilembagakan oleh Dewan Keamanan, selama itu pulalah Liga Bangsa-Bangsa akan menjadi forum internasional nan antidemokrasi. Mengapa? Karena suara mayoritas negara-negara anggota Majelis Generik nan jumlahnya 193 negara harus tunduk pada 5 negara anggota pemegang hak veto.
Padahal, porsi dan tugas terbesar Liga Bangsa-Bangsa berasal dari putusan-putusan krusial nan dibahas dalam enam komite primer di Majelis Umum, seperti persoalan pelucutan senjata dan keamanan internasional, pendidikan dan kesejahteraan, ekonomi dan keuangan, tragedi kemanusiaan, dekolonisasi, administratif dan anggaran, dan masalah hukum.
Simpulannya, global tidak akan tenang dan perdamaian akan terus menjauh karena PBB dibuat tak berdaya dampak masih dibiarkannya 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan memegang hak vetonya. Adanya kedekatan Amerika Perkumpulan dengan Israel pun membuat segala resolusi nan dikeluarkan Dewan Keamanan PBB tentang perdamaian di Timur Tengah, khususnya nan menyangkut masalah Palestina selalu menjadi mentah kembali.
Tak mengherankan bila di tengah keputusasaan, semakin santer suara nan menginginkan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dibubarkan saja. Dengan dibubarkannya PBB, hegemoni Amerika akan hilang dan global punya kekuatan buat melawan Amerika serta sekutunya karena mereka tidak dapat lagi berlindung di balik tameng PBB. Israel pun akan berpikir dua kali bila ingin menyerang Palestina.