Mata Pencaharian Masyarakat Suku Asmat
Sejauh ini Suku Asmat hanya dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia nan memiliki seni pahat atau seni ukir nan mengagumkan. Seni pahat bagi Suku Asmat bukan semata kerajinan melainkan bagian tidak terpisahkan dari unsur-unsur keyakinan.
Oleh sebab itu, semua masyarakat suku Asmat memiliki kemampuan seni ukir sebab kesenian tersebut merupakan bagian dari penyembahan nan dilakukan terhadap nenek moyang atau leluhur nan dipercaya memiliki kekuatan mistik di luar kekuatan duniawi nan mereka miliki.
Kepercayaan seperti inilah nan kemudian mampu menghasilkan keyakinan dan kepercayaan dari mereka buat dapat mengukir atau memahat kayu nan baik dan berdaya seni tinggi, meskipun tanpa donasi sketsa sekali pun.
Suku orisinil dari Irian Jaya atau Papua ini memiliki dua daerah loka tinggal, yakni daerah sepanjang pantai nan luas dengan daerah sekitar pedalaman dataran rendah nan berawa dan belrumpur. Daerah nan terakhir disebutkan merupakan daerah nan tertutup oleh hutan rimba tropis dengan pohon mangrove dan hutan sagu nan mendominasi.
Oleh karena itu, suku nan terkenal sebab kekhasan ukiran kayunya ini dibagi menjadi dua kelompok masyarakat, yakni kelompok masyarakat nan tinggal di daerah pesisir pantai dan kelompok masyarakat nan tinggal di daerah pedalaman.
Kedua disparitas loka tinggal tersebut juga memengaruhi hasil karya cipta masyarakatnya, terutama dalam nilai-nilai kebudayaan. Kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki disparitas dalam hal struktur soisal, bahasa nan digunakan, pola hayati dan cara berpikir, kegiatan keagamaan atau ritual nan dilakukan, dan lain sebagainya.
Selain itu, masyarakat nan hayati di daerah pesisir pantai juga dibagi lagi menjadi dua kelompok, yakni suku Bisman dan suku Simai.
Asal-Usul Suku Asmat
Asal usul Suku Asmat sama seperti suku orisinil di Selandia baru dan Papua Nugini nan berasal dari rumpun Polonesia dengan ciri-ciri fisik rona kulit dan rambut hitam, kelopak mata bulat, hidung mancung dan berperawakan tegap.
Sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia, suku Asmat dalam kehidupan sehari-harinya berlangsung dengan dua kepemimpinan, yaitu pemimpin formal dari unsur pemerintah dan kepala suku nan berasal dari masyarakat.
Seperti suku lainnya di Papua, seperti suku Yohukimo, Jayawijaya dan suku Mappi, kepala adat atau kepala suku memegang peranan sangat krusial dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.
Dalam menjalankan program-program resmi pemerintah formal, maka kerjasama dengan kepala suku atau kepala adat ini absolut diperlukan. Tanpa kerjasama dengan kepala suku, program pemerintah dapat kandas di tengah jalan.
Dalam hal pemilihan kepala suku atau kepala adat bagi suku Asmat, bukanlah jabatan nan turun-temurun seperti kebanyakan suku tradisional lainnya. Juga pemilihan kepala suku ini tak mengenal pewarisan tahta kepemimpinan seperti dikenal dalam tradisi kerajaan.
Kepala suku dapat berasal dari suku tertua, marga nan dianggap tua atau bahkan dapat diangkat dari seorang nan dianggap berjasa, seperti nan sukses memenangkan peperangan misalnya. Jadi, setelah kepala suku meninggal, dari unsur-unsur itulah kepala suku baru berasal.
Kepercayaan Masyarakat Suku Asmat
Masalah kepercayaan, di suku Asmat sebelum masuk para misionaris nan membawa agama Kristen Katolik dan Protestan, bahkan belakangan agama Islam, kepercayaan suku Asmat ialah animisme. Ukiran kayu khas suku Asmat pun tak terlepas dari masalah kepercayaan animisme inilah pada awalnya.
Namun, setelah masuk pengaruh agama, kepercayaan itu sendiri mulai pudar namun tak demikian dengan kerajian ukir kayunya. Hal-hal nan sifatnya magis dan supranatural, menjadi bagian tidak terpisahkan.
Untuk menopang kehidupan sehari-hari, suku Asmat mengenal cara bercocok tanam nan baik terutama berladang. Beberapa jenis komoditas seperti matoa, jeruk, jagung, wortel, keladi telah dikenal dengan baik. Begitu pula dalam hal bagaimana beternak ayam dan babi, bagi suku Asmat bukanlah sesuatu nan dianggap baru.
Tradisi Suku Asmat nan tetap lestari selain seni pahat kayu ialah tradisi berperang. Perang antar suku merupakan hal nan biasa dalam kehidupan suku Asmat, seperti juga suku-suku lain di Papua. Bahkan tradisi perang antar suku ini dapat dibilang sebagai tradisi nan mengerikan.
Bayangkan saja, ketika musuh sukses dibunuh, biasanya mayat musuhnya itu akan dibawa ke kampung, lalu dipotong dan dibagikan kepada seluruh isi kampung buat dimakan.
Bahkan lebih sadis lagi, puluhan tahun ke belakang, setelah terjadi perang antara suku dan musuhnya sukses dibunuh, maka otakanya dibangun dengan daun sago, lalu dipanggang dan dimakan bersama.
Menurut survei terakhir nan dilakukan pemerintah Indonesia, dalam satu kampung dihuni oleh 100 sampai 1000 orang. Secara tradisional masing-masing kampung memiliki satu rumah bujang. Rumah bujang ini merupakan rumah loka dilangsungkannya berbagai upacara adat dan keagamaan.
Mata Pencaharian Masyarakat Suku Asmat
Pada umumnya, manusia nan hayati di pedalaman sangat erat kaitannya dengan mata pencaharian berburu. Begitu juga dengan masyarakat suku Asmat nan hayati di pedalaman, mereka juga melakukan perburuan berbagai binatang liar buat dapat memenuhi kebutuhan hayati mereka dalam hal pangan dan sandang. Beberapa binatang nan sering jadi objek perburuan liar mereka antara lain ialah babi hutan, burung, ular, komodo, dan binatang lain nan hayati di hutan.
Sementara itu, masyarakat suku Asmat nan tinggal di daerah pesisir pantai memiliki mata pencaharian nan sama dengan media nan berbeda. masyarakat kelompok pesisir ini biasanya mencari binatang buruan nan ada di bahari atau lebih sering kita sebut dengan nelayan.
Akan tetapi, meskipun terdapat metode dan objek buruan nan berbeda, kedua kelompok tersebut memiliki satu kekhasan nan sama, yakni sama-sama menjadikan sagu sebagai makanan pokok nan wajib dikonsumsi sehari-hari.
Rumah Adat Suku Asmat
Setelah kita mengetahui asal-usul Suku Asmat, kepercayaan nan mereka miliki, serta mata pencaharian nan digunakan buat memenuhi kebutuhan hayati mereka, kini kita akan berkenalan dengan loka tinggal mereka atau biasa kita sbeut sebagai rumah adat.
Semua suku tradisional nan ada di global ini memiliki rumah adat nan berfungsi sebagai loka penampungan kelompok masyarakat, atau bahkan loka melakukan berbagai kegiatan ritual nan berhubungan dengan adat tersebut. oleh karena itu, setiap rumah adat memiliki karakteristik khas nan berbeda dengan konsep filosofi nan juga tak sama.
Begitu juga dengan masyarakat suku Asmat nan memiliki rumah adat dengan filosofi adanya nilai-nilai kesopanan serta keinginan agar terhindar dari campur tangan masyarakat luar suku dalam hal pembuatan rumah adat tersebut.
Masyarakat suku Asmat ini masih sangat memegang teguh pendirian serta kepercayaan primordial nan mereka miliki agar kehidupan mereka senantiasa dilindungi oleh leluhur nan memberikan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Berikut ialah rumah adat suku Asmat nan memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam hal memelihara kebudayaan tersebut.
Rumah adat nan pertama ialah rumah Jew, yakni rumah adat nan dibangun demi kepentingan spesifik saat melakukan kegiatan nan bersifat tradisional atau menurut ketentuan adat, seperti kegiatan kedap adat, kegiatan membuat aneka kerajinan tangan, membuat berbagai ukiran kayu, serta sebagai loka tinggal buat para lelaki bujang. Dengan demikian, rumah Jew sering juga disebut sebagai rumah bujang oleh masyarakat adat setempat.
Rumah adat nan kedua ialah rumah Tsyem, yakni rumah adat nan ditinggali oleh seluruh anggota keluarga. Anggota keluarga nan mendiami rumah adat ini biasanya berjumlah dua tau tiga kepala keluarga.
Rumah adat Tsyem ini diletakkan di sekeliling rumah adat Jew sebab ukurannya nan kecil. Namun, kedua rumah adat ini memiliki kecenderungan dalam hal pembuatannya, yakni tak menggunakan materi bangunan berupa paku sebab bahan-bahan nan digunakan ialah bahan alami nan terdapat di alam.