Sejarah Jalan Raya Anyer Panurukan
Bingung mencari loka wisata? Hal ini kerap menyambangi pikiran kita saat masa liburan tiba.
Ya. Memilih loka liburan, memanjakan diri, menambah pengetahuan, dan mengajak keluarga buat mencari suasana baru, tergolong “gampang-gampang sudah”, terlebih jika dompet kita kurang tebal.
Namun, itu jangan menjadi halangan bagi kita buat mengisi liburan dengan berwisata. Ada banyak pilihan buat itu. Salah satunya ialah wisata sejarah ke tempat-tempat nan mudah kita jangkau.
Jangan salah , wisata sejarah itu tak selalu harus ke museum, monumen, keraton, atau taman makam pahlawan. Kita pun dapat melakukan wisata sejarah ke pantai, laut, gunung, gua, loka ibadah, bahkan jalan raya. Tentu dengan “dua syarat” pokok.
Sejarah Jalan Raya Anyer Panurukan
Pada tahun 1806 Herman Willem Daendels dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) buat berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi buat mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari agresi Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur Jenderal.
Maka setelah perjalanan nan panjang melalui Pulau Kanari, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 5 Jauari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama buat melindungi pulau Jawa dari agresi tentara Inggris. Jawa ialah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis nan belum jatuh ke tangan Inggris.
Namun demikian beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara bahari Jawa bahkan di dekat Batavia. Pada tahun 1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sehingga tak berfungsi lagi. Pada tahun 1806, armada kecil Inggris di bawah Laksamana Pellew Laksamana Pellew muncul di Gersik.
Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda, Von Franquemont memutuskan buat tak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew buat mendarat di Surabaya tak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik.
Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda nan ada di Jawa tak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang Pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi- tangsi militer baru.
Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara).
Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu Jala Raya Pos, sebenarnya dibangunnya juga sebab kegunaan militernya, yaitu buat mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.
Jalan Raya Anyer (De Grote Postweg ) ialah jalan nan terbentang dari Anyer sampai Panarukan nan panjangnya kurang lebih 1000 km. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda "Herman Willem Daendels" th (1762-1818).
Pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan merupakan salah satu kebijakan nan di terapkan oleh Daendels buat melancarkan tugasnya "Mempertahankan Pulau Jawa dari agresi Inggris" Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808).
Sumber Inggris melaporkan seluruh korban nan tewas dampak pembangunan Jalan raya anyer sebanyak 12.000 orang. Itu nan tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi nan menyelidiki.
Jalan Raya anyer menghubungkan kota-kota berikut: Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus-Rembang-Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.
Pertama, tempat-tempat tersebut pernah menjadi saksi bisu lahirnya peristiwa-peristiwa sejarah. Kedua, dan ini nan seringkali diabaikan, kita memiliki pengetahuan—walaupun sedikit—tentang peristiwa sejarah nan pernah terjadi di loka tersebut.
Sebab, tanpa memiliki pengetahuan semacam itu, kita tak akan dapat menikmati kegiatan wisata atau berimajinasi tentang masa lalu. Kita boleh jadi akan kapok datang ke loka itu. “Ngapain piknik ke sini … cuman bangunan antik doang, sepi dan angker lagi!”
Itulah mengapa, sebelum kita mendatangi loka wisata, sangat krusial bagi kita buat mencari informasi tentang apa dan bagaimana objek tersebut plus peristiwa-peristiwa krusial nan pernah terjadi di sana. Tujuannya ialah agar aktivitas wisata kita jadi semakin bermakna.
Ada satu pengalaman berharga nan layak dikemukakan di sini. Ketika melintasi jalan raya Anyer , pikiran aku langsung tersambung dengan kisah masa lalu nan pernah aku dengar dan aku baca dari buku-buku sejarah.
Di atas jok mobil nan aku duduki, pikiran berimajinasi; membayangkan serangkaian peristiwa nan terjadi sekitar tahun 1808-1809; masa-masa ketika jalan nan aku lewati ini pertama kali dibangun dan diperluas.
Masa itu termasuk masa kelam dalam sejarah Indonesia, di mana ribuan para pekerja rodi asal Banten dan sekitarnya meregang nyawa sebab kelaparan, kelelahan, dan terjangan malaria, saat menyelesaikan pembangunan jalan tersebut.
Mereka menjadi tumbal dari keserakahan dan kekejaman seorang Gubernur Jenderal Belanda bernama Hermann Willem Daendels alias Sang Tuan Besar Guntur alias Mas Galak.
Kisahnya bermula ketika Daendels tiba di pelabuhan Anyer pada 5 Januari 1808 setelah melakukan perjalanan panjang dari Negeri Belanda. Ia datang ke Indonesia dengan mandat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dari Anyer, ia bertolak ke Batavia (Jakarta) lewat jalur darat nan memakan waktu empat hari. Lamanya perjalanan telah menginspirasi Daendels buat membangun jalan raya nan lebih luas dan lebih mudah dilalui kendaraan.
Akhirnya, dengan kekuasaan dan sikap tirannya, pembangunan Jalan Raya Pos alias Jalan Daendels itu pun terlaksana. Inilah megaproyek pertama dan paling kejam dalam sejarah Indonesia.
Betapa tidak, pembangunan dan ekspansi jalan tersebut membentang sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan di Jawa Timur nan selesai dalam waktu satu tahun. Sebuah rekor global pada masa itu. Jika kita perbandingkan, jalur Anyer-Panarukan sebanding dengan jalur Amsterdam-Paris!
Setelah ruas Jalan Raya Pos selesai dibangun, perjalanan dari Anyer ke Batavia nan sebelumnya memakan waktu empat hari, kini dapat dilewati hanya dalam waktu satu hari saja.
Mengapa dikatakan sebagai megaproyek paling kejam? Untuk membangun jalan sepanjang itu dalam waktu cepat—dan murah tentunya, Daendels meminta para penguasa lokal buat mengerahkan rakyatnya sebagai pekerja rodi.
Pada termin awal, ia ingin membangun pangkalan armada di Ujung Kulon dan Merak serta jalan nan menghubungkan Anyer dengan Cilegon sepanjang 19 kilometer, dilanjutkan sampai wilayah Banten Lama dan Serang.
Menurut catatan sejarah, buat termin pertama, Daendels meminta Sultan Banten buat menyediakan 1.500 pekerja. Permintaan itu pun dapat dipenuhi. Namun mengenaskan, nyaris semua pekerja rodi tak ada nan selamat. Semua terkapar tidak bernyawa sebab beratnya pekerjaan dan endemi malaria nan melanda.
Daendels kemudian meminta Sultan Banten menyediakan 1.000 pekerja lagi. Namun, permintaan itu ditolak oleh Sultan Abdul Nasar, sehingga ia pun didepak dari kekuasaannya. Selepas itu, ribuan penduduk Banten—juga penduduk dari wilayah lain di Pulau Jawa—kembali dipaksa bekerja rodi.
Nasib mereka pun sama: tewas secara mengenaskan. Pimpinan proyek dan penanggung jawab pengerahan pekerja pada satu wilayah nan tak sukses memenuhi sasaran akan digantung di pinggiran Jalan Pos.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, di sepanjang Jalan Raya Pos terdapat kuburan-kuburan masal terluas di Pulau Jawa. Itulah mengapa, saat melewati jalan raya Anyer itu, timbul rasa miris dalam hati. Betapa tidak, inilah jalan nan dibangun dari tetesan keringat dan darah para pekerja rodi.
Namun, pada saat bersamaan, aku pun jadi lebih sadar akan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah salah satu sisi dari wisata sejarah: kita bias berimajinasi ke masa lalu.