Sisingaan

Sisingaan

Kebudayaan Jawa Barat sering diidentikkan dengan budaya suku Sunda. Hal ini sebab sebagian besar masyarakat Jawa Barat merupakan warga keturunan dari Suku Sunda. Itulah mengapa sebagian besar kebudayaan di propinsi Jawa Barat kental dengan perbedaan makna Sunda.

Propinsi Jawa Barat sendiri terletak bersebelahan dengan ibu kota negara, Jakarta. Bagian timur berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Sedangkan pada bagian barat, berbatasan dengan propinsi Banten nan merupakan hasil pemekaran Propinsi Jawa Barat.

Meski suku Sunda merupakan suku nan paling besar di Jawa Barat, namun suku ini bukan satu-satunya suku nan ada di Jawa Barat. Berdasar peraturan daerah nan sudah dibuat, di propinsi Jawa Barat dikenal tiga suku resmi yaitu Suku Sunda, Suku Cirebon dan Suku Betawi.

Hal ini pulalah nan menyebabkan adanya sedikit kontradiksi di tengah masyarakat, khususnya dari masyarakat Cirebon. Kontradiksi ini terkait dengan adanya planning pengubahan nama Propinsi Jawa Barat menjadi Pasundan. Sebab, dengan nama Pasundan, sama artinya dengan tanah nan dihuni oleh suku Sunda. Padahal, di Jawa Barat sendiri terdapat beberapa suku.

Apabila dipaksakan mengganti nama Jawa Barat menjadi Pasundan, masyarakat Cirebon pada saat itu mengancam buat memisahkan diri dari propinsi tersebut. Hal ini sebab penggunaan nama Pasundan dianggap tak mengakui keberadaan suku Cirebon dan Suku Betawi sebagai bagian dari penduduk Jawa Barat.



Kebudayaan Jawa Barat

Kebudayaan Jawa Barat sendiri sangat banyak ragamnya. Beberapa diantara kebudayaan Jawa Barat tersebut bahkan sudah dikenal di taraf dunia, seperti kesenian angklung. Hal ini menjadi salah satu kebanggaan bagi propinsi nan memiliki luas 34.816,96 km2 ini.

Angklung sendiri merupakan jenis alat musik nan memiliki nada ganda dan banyak dikembangkan dalam kehidupan tradisional di daerah Sunda. Alat musik ini menggunakan bambu sebagai bahan bakunya, nan dimainkan dengan cara digoyang. Nada-nada nan keluar dari alat musik ini berasal dari bunyi nan bergetar sebab adanya benturan dari setiap badan pipa bambu tersebut.

Untuk melindungi dari pengakuan negara lain, angklung sudah didaftarkan pada forum PBB sebagai bagian dari Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Pengakuan ini sudah ada sejak bulan November 2010. sehingga dengan adanya pengakuan tersebut, angklung sudah diakui sebagai alat musik nan berasal dari Jawa Barat, Indonesia.

Meski demikian, tak pernah ada literatur nan menjelaskan secara niscaya kapan tepatnya alat musik angklung ini ditemukan. Namun diperkirakan, semenjak jaman Neolitikum, musik angklung ini sudah ada. Hal ini diperkuat dengan bentuk alat musik ini nan masih sangat sederhana dan sinkron dengan tradisi nan berkembang di jaman Neolitikum.

Alat musik ini sudah dikenal masyarakat Sunda sejak jaman kerajaan Sunda. Pada waktu itu, angklung digunakan sebagai pengobar semangat para prajurit di medan perang. Fungsi ini kemudian terbawa ketika Indonesia memasuki masa penjajahan Belanda. Itulah mengapa, pemerintah Belanda sempat melarang musik angklung ini dimainkan sebab dikhawatirkan akan mampu menggugah semangat juang rakyat Jawa Barat.

Angklung ini biasanya dibuat dengan menggunakan bambu hitam atau dikenal juga sebagai awi wulung serta bambu putih atau awi temen. Nada nan keluar berasal dari bunyi tabung bambu nan bentuknya seperti bulah dan ada pada ruas bambu nan ukurannya bervariasi dari kecil hingga besar.

Dalam kehidupan sehari-hari, angklung sering digunakan buat memainkan lagu persembahan pada Dewi Sri nan dipercaya sebagai dewi kesuburan. Hal ini mengingat pada masa lalu, kebudayaan Hindu merupakan salah satu budaya nan banyak dianut oleh masyarakat di Jawa Barat.



Jaipong

Selain angklung kebudayaan Jawa Barat nan banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia dan global ialah tari jaipong. Tari ini digolongkan sebagai jenis tari pergaulan tradisional di tengah masyarakat Sunda.

Tari Jaipong ini merupakan salah satu kebudayaan Jawa Barat nan muncul pasca kemerdekaan Indonesia. Tepatnya, pada tahun 1960 seorang artis tari Jawa Barat Gugum Gumbira membuat sebuah ciptaan tari baru nan ditujukan buat membuat sebuah tari nan akan digunakan sebagai media pergaulan masyarkat Jawa Barat. Tari ini memadukan seni musik dan seni mobilitas dengan menggunakan tradisi rakyat nusantara, terutama dari Jawa Barat.

Walaupun termasuk sebagai jenis tari baru, namun jaipong ini dikembangkan dari berbagai jenis kesenian rakyat nan sudah ada sejak jaman dahulu. Misalnya kesenian Ketuk Tilu, Kliningan dan juga Ronggeng. Ketiga jenis kesenian tradisional inilah nan kemudian menjadi nafas dari kesenian jaipong nan dikembangkan oleh Gugum Gumbira.

Karya tari Jaipong nan pertama kali dikenal oleh masyarakat yaitu tari Daun Pulus Keser Bojong serta Rendeng Bojong. Untuk tari pertama tergolong sebagai tari putri, sementara buat tari kedua merupakan tari berpasangan putra dan putri.

Di awal kemunculannya, tari jaipong ini sempat menjadi sebuah kontroversi. Sebab, tarian ini dinilai lebih menonjolkan unsur erotisme dan kevulgaran sehingga dianggap tak sinkron dengan kebiasaan ketimuran nan dianut oleh masyarakat.

Meski demikian, peminat tari jaipong justru semakin bertambah. Terlebih sejak kesenian ini mulai diekspos oleh media massa dan terutama ketika pada tahun 1980, TVRI sebagai satu-satunya media televisi saat itu memberi kesempatan Gugum buat mementaskan karyanya di layar kaca.

Sejak saat itulah, tari jaipong mulai dikenal luas oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya permintaan pementasan tari jaipong ini. Baik itu buat kegiatan nan diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun dalam rangka hajatan pribadi masyarakat.

Dengan adanya seni jaipong ini, menciptakan kontribusi besar bagi para pegiat eni tari buat lebih kreatif lagi dalam membuat tarian rakyat. Di taraf masyarakat, minat pada tari jaipong ini terlihat dengan maraknya kursus tari jaipong nan selalu dipenuhi oleh para siswa peserta kursus.



Sisingaan

Sisingaan merupakan salah satu kebudayaan Jawa Barat nan berasal dari daerah Subang. Kesenian ini merupakan jenis kesenian nan menggunakan alat bantu beruba tandu dengan boneka singa nan diatasnya terdapat seseorang sebagai penunggangnya.

Kesenian ini sendiri mulai dikenal sejak tahun 70an. Meski demikian ada pula nan menyatakan bahwa sejak jaman penjajahan Belanda kesenian ini sudah ada. Hal ini dilambangkan dengan boneka singa nan merupakan simbolisasi dari singa kembar nan merupakan lambang dari penjajah Belanda saat itu.

Pada saat ini, hampir seluruh desa di kawasan Subang memiliki group kesenian Sisingaan tersebut. Itulah mengapa di Subang setiap tahunnya diselenggarakan festival Sisingaan sebagai wadah bagi antusiasme masyarakat dalam menjaga kebudayaan khas wilayah Subang tersebut.

Secara tak langsung, hal ini menjadi sebuah daya tarik wisata tersendiri bagi kabupaten Subang. Antusiasme masyarakat sendiri cukup besar dalam mengikuti acara tersebut. Karena bagi para pemenang festival tersebut akan diberi kesempatan buat mewakili Subang pada acara kebudayaan di taraf regional, nasional atau bahkan di taraf internasional. Pada saat ini, kesenian Sisingaan bahkan sudah menyebar ke beberapa daerah di sekitar Subang, seperti Sumedang, Purwakarta atau juga Kabupaten Bandung.