Kelanjutan Global Pendidikan dan Masalah Etika

Kelanjutan Global Pendidikan dan Masalah Etika

Pendidikan ialah jiwa masyarakat saat berpindah dari satu generasi ke generasi nan lain. ~ G. K. Chesterton

Seorang anak menjadi salah satu korban tindak kekerasan nan dilakukan oleh wali kelasnya. Syahdan katanya, sang guru sudah kewalahan dengan tingkah laku sang murid nan tidak dapat diatur dan selalu melanggar aturan. Tindak kekerasan pun dinilai sebagai salah satu cara nan dapat membuat anak didiknya berubah. Berhasilkah? Nyatanya, sang guru tersebut malah masuk penjara buat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kasus lain, seorang guru tega melakukan tindakan amoral kepada anak didiknya hanya sebab sang anak didik sering terlambat. Padahal, guru tersebut dikenal sebagai orang nan sabar dan baik. Orangtua si anak tidak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak nan berwajib. Alhasil, sang guru harus merasakan dinginnya hotel prodeo sebab kekhilafannya.

Kejadian di atas merupakan dua contoh kasus di antara berbagai macam kasus nan sering kita jumpai akhir-akhir ini. Penyiksaan terhadap anak didik nan dilakukan oleh pihak nan ditinggikan oleh masyarakat dan berpendidikan, yaitu guru.

Tindakan guru tersebut bagaimana pun juga jelas melanggar hukum. Seorang guru seharusnya mengerti etika pendidikan . Bagaimana pun juga, kekerasan tak dapat menyelesaikan masalah dan malah memperparah.

Sekarang, bukan zamannya lagi "penyiksaan" terhadap anak didik bila mereka tidak menurut terhadap perintah guru. Guru bukanlah segalanya dan bukanlah "Tuhan" bagi murid. Bila dulu melakukan tindak kekerasan terhadap murid sebab tak mengerjakan PR dianggap wajar, namun sekarang berbeda. Sedikit saja seorang guru melukai murid secara fisik, maka guru tersebut dapat dituntut dan masuk penjara.

Seorang guru haruslah mengerti tentang etika pendidikan. Tugas mereka tidak hanya mengisi "bak nan kosong dengan air", namun juga membentuk kepribadian anak didik nan baik. Dan, bagaimana mungkin seorang guru dapat membentuk kepribadian anak nan baik bila mereka sendiri suka melakukan tindak kekerasan dengan alasan buat mendidik. Sama saja hal tersebut melanggar etika pendidikan.

Mendidik tak harus dengan kekerasan. Itulah salah satu etika pendidikan nan wajib dipahami oleh semua guru. Ingatlah bahwa anak didik bukanlah komputer atau mesin nan bila kita kesal dapat dibanting sepuasnya. Anak didik ialah amanah bagi seorang guru. Anak didik ialah "titipan" nan sudah selayaknya dijaga. Bila ada sesuatu nan membuat guru tersinggung dan marah dengan ulah anak didiknya, selesaikanlah dengan baik-baik dan tak dengan menggunakan kekerasan sebab hal tersebut sangat melanggar etika pendidikan.

Seorang guru haruslah memandang seorang anak didik sebagai sebuah aset nan harus dilindungi dan bukan "dieksploitasi". Bila dalam proses belajar mengajar ada sesuatu nan kurang baik di antara guru dan anak didik, sudah seharusnya hal tersebut diselesaikan dengan cara nan baik.



Kelanjutan Global Pendidikan dan Masalah Etika

Berikut ini ialah beberapa moral nan paling umum, masalah hukum dan etika dalam pendidikan nan paling sering dihadapi oleh para pemberi dan penerima pendidikan, bersama dengan forum pendidikan sendiri, para stock holder, orang tua dan wali siswa.

1. Seragam Sekolah - Haruskah dilepaskan atau malah semakin wajib? Argumen nan mendukung adana seragam selalu mengamati kepentingan dari dress code / seragam buat menyatukan siswa dan tak membedakan diri mereka satu dengan nan lainnya.

Keseragaman bukan berarti kiamat bila masuk ke wilayah pendidikan, lebih dari itu dengan berseragam dapat memberikan semacam semangat korps, di kalangan siswa, dan membuat mereka menghargai kebersamaan kelompok prestasi satu dengan nan lainnya.

Karena apabila tak diseragamkan apalagi zaman sekarang maka ada kesamaan anak berlaku tak sopan dari busana, baju provokatif atau terlalu santai, rona rambut dan gaya keterlaluan, mereka pada akhirnya akan berkelompok buat sesuatu nan sama sekali jauh dari semangat pendidikan, yakni berpikir kelompok sektarian.

Tidak ada jalan tengah buat hal ini, jika pakaian di bebaskan, masalah etika bakal menjadi debat panjang. Toh dengan memakai nama dan bendera berbeda dari setiap sekolah saja, anak anak lantas cenderung tawuran.

2. Masalah Disiplin: anak mamu menjadi militan pada masa pertumbuhan, namun mudah pula jatuh pada semacam ritual narsistik nan mampu menghadirkan mereka sebagai orang nan paling hebat di antara teman temannya. Bila guru tak mampu menghadirkan wahana buat kenarsisan siswa buat berprestasi, siap siap saja menuai murid nan tak disiplin.

Apalagi guru sendiri berada dalam hayati nan sulit dalam kondisi buat berprestasi, mengingat di kalangan guru masih saja ada nilai penghargaan nan rendah secara finansial oleh negara dan bangsanya sendiri. Nasib guru di Indonesia jauh dari rasa keadilan sosial, sehingga sulit bagi mereka buat mengajarkan prestasi.

3. Mengatasi Diversity: Kebhinekaan.. inilah masalah etika nan akan dihadapi di sekolah. Negara ini negara bhineka, namun masyarakat malah mengajarkan kerusakan pada kesatuan. Lalu apa nan tersisa buat di ajarkan pada siswa.

Dengan siswa dari latar sosial dan etnis berbeda maka penerimaan di sekolah-sekolah saat ini, masalah mereka siap berbeda? atau tidak? buat mengatasi keragaman akhirnya muncul pertanyaan serius. Ketidaksetaraan rasial dan disparitas etnis telah menjadi masalah di sekolah generik sejak zaman sekolah generik didirikan. Pembedaan pada minoritas, nan china, nan papua, nan keling, nan putih, nan muslim, nan kristen, nan budha, merupaka masalah serius. Karena mereka calon pemegang estafet republik, dan orang dursila tak tinggal diam melihat kesempatan emas memecah belah Indoensia,

Langkah primer buat menangani keragaman di sekolah harus datang dari kurikulum itu sendiri. Sine qua non festival multikultural di sekolah akan menandai awal dari upaya buat menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ke dalam ikatan kesatuan kelembagaan.

Selain itu, masukan sejarah terkemuka nan berasal dari etnis nan berbeda sebagai bagian dari studi kolektif sejarah nasional akan mendorong siswa buat membiasakan diri dengan disparitas satu sama lain 'ras, budaya dan etnis. Daripada membiarkan keragaman datang di jalan pendidikan, pentingnya keanekaragaman harus ditegakkan.

4. Grading - Menghubungkan Parameter dengan tujuan : dan satu hal Ujian nasional?

Apakah nilai mencerminkan hasil? Sebaliknya, apa nan nan harus mencerminkan nilai? Haruskah anak terikat oleh gagasan akademisi? Kemudian lagi, apa, di bidang apa mereka harus mencerminkan prestasi ? Haruskah nilai dipertimbangkan buat menilai kemampuan belajar, informasi menggenggam kecakapan, disiplin dalam memenuhi tenggat waktu akademis?

Negara dapat jadi pesakitan, dan dapat jadi penyelamat bila mampu menjawab pertanyaan itu, dan sejauh ini, negara gagal memberikan pendidikan etis nan baik dengan menjawab pertanyaan sebaik baiknya. Ujian nasional dipaksakan ada, sebab itu ialah proyek dan semata proyeknya para akademisi nan berpangkat, semua mengerti itu.

Selain masalah etika pendidikan tersebut, ada masalah lain nan patut dicatat - penilaian guru, pendidikan seks, pendidikan nilai, pelacakan dan tes narkoba, bahkan nan lebih gila tes keperawanan. Tindakan gila nan sangat merendahkan perempuan, dan menjadikan murid hancur sebelum berkembang. Para regulator, berpikirlah dengan lebih sehat.