Filsafat Fenomenologi

Filsafat Fenomenologi

Sebagai induk dari ilmu pengetahuan di bumi, filsafat sering menjadi sesuatu nan menarik buat dibicarakan. Bahkan, hal tersebut memengaruhi pemikiran dan pemahaman dari filsafat. Inilah nan kemudian mulai muncul berbagai genre dalam filsafat nan dianggap sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran umat manusia di dunia.

Filsafat sebagai studi nan membahas berbagai kenyataan kehidupan nan disertai oleh pemikiran kritis manusia nan dijabarkan dengan konsep mendasar, tak begitu saja muncul di muka bumi dampak adanya eksperimen dan berbagai percobaan-percobaan. Akan tetapi, filsafat hadir dengan adanya diskusi mengenai berbagai permasalahan buat menemukan solusi dengan cara berargumentasi. Tidak sembarangan debat dan argumentasi nan dikemukan secara tepat, tapi proses tersebut dimasukan dalam proses dialektika. Untuk itu, tak hanya dibutuhkan logika berpikir, namun juga bahasa dalam membicarakan filsafat.

Kata filsafat merupakan serapan dari kata “falsafah” dalam bahasan Arab, nan sebenarnya berasal dari philosophia dalam bahasa Yunani. Kata philosophia diambil dari kata philia nan berarti persahabatan atau cinta, serta kata sophia nan berarti kebijaksanaan.

Untuk itu, arti dari filsafat ialah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Berdasarkan berbagai literatur, filsafat ini muncul di Yunani sekitar abad ke-7 SM. Yunani terkenal sebagai daerah lahirnya para artis dan tak ada stara kasta sosial membuat masyarakatnya lebih bebas dalam berpikir dan bebas mengembangkan intelektualnya.

Mereka selalu berdiskusi mengenai alam, lingkungan, semesta, dan global nan tak dibatasi oleh ajaran agama. Sebagai kaum pagan nan terbiasa dengan pemikiran nan liar, mereka selalu mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Inilah nan kemudian membuat orang-orang Yunani ini mulai menemukan sebuah teknologi baru serta berbagai metode nan digunakan buat kehidupan mereka.

Sebutlah Plato, Aristoteles, dan Sokrates sebagai filsuf-filsuf besar Yunani nan terkenal hingga saat ini. Akan tetapi, Thales dari Mileta nan menjadi filsuf pertama di Yunani. Segala pemikiran mereka, beserta ilmu pengetahuan nan mereka temukan, membuat mereka memiliki pengaruh nan sangat besar terhadap perkembangan ilmu filsafat .

Filsafat ini terus berkembang hingga ke berbagai daerah di belahan dunia. Perkembangan ini juga mendapat pengaruh dari budaya serta kepercayaan nan ada. Tiap bangsa memiliki para intelektual muda nan tentunya memiliki berbagai pemikiran nan menarik dan berguna bagi kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya, filsafat ini dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu berdasarkan wilayah serta latar belakang agama.

Jika dilihat dari wilayah, filsafat bisa dibedakan menjadi filsafat timur, filsafat barat, dan filsafat timur tengah. Akan tetapi, jika dilihat dari latar belakang agama, dibagi menjadi filsafat Budha, filsafat Islam, filsafat Kristen, serta filsafat Hindu. Setiap orang pemikirannya kemudian mendapat pengaruh dari kebudayaan serta ajaran agama nan masih dipelajari hingga saat ini.

Secara umum, ajaran filsafat sendiri memiliki aneka genre sinkron dengan perkembangannya, di mana genre tersebut sangat berpengaruh di dunia. Berikut ialah 7 genre filsafat nan secara generik dipelajari hingga saat ini.



Filsafat Pragmatisme

Aliran filsafat nan satu ini memiliki ajaran bahwa, “Yang sahih ialah segala sesuatu nan membuktikan dirinya sebagai sahih dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya nan bermanfaat secara praktis.”

Filsafat pragmatisme ini menggunakan logika pengamatan sebagai dasar atau acuan dari ajarannya. Dalam ajaran pragmatisme, segala sesuatu nan diperlihatkan kepada manusia di dalam global konkret merupakan fakta individual nan konkret dan terpisah antara satu dengan nan lain, di mana tiap disparitas nan muncul di global bisa diterima.

Begitu pula dengan citra mengenai banyak peristiwa nan terekam di dalam pikiran manusia, dianggap sebagai sesuatu nan sifatnya pribadi dan bukan menjadi fakta umum. Untuk itu, filsafat pragmatisme berbeda dengan kebanyakan filsafat barat di dalam sejarah. Sebab, ajarannya tak mau direpotkan dengan berbagai pertanyaan mengenai kebenaran, terutama nan memiliki sifat metafisik.



Filsafat Vitalisme

Filsafat ini sebenarnya merupakan doktrin nan menyatakan bahwa, “Suatu kehidupan terletak di luar global materi dan karenanya, kedua konsep ini (kehidupan dan materi) tak dapat saling mengintervensi.” Pada zaman dahulu kala, vitalisme menjadi acuan buat kehidupan, terutama dalam perkembangan ilmu medis. Dalam global medis, perkembangan filosofi ini sangat kental. Seseorang nan sakit dinyatakan tak memiliki ekuilibrium pada energi vitalnya.



Filsafat Fenomenologi

Fenomenologi merupakan studi nan menganggap manusia ialah sebuah kenyataan nan patut buat dipelajari. Dalam studi ini, dikatakan bahwa, "Manusia menumpukkan dirinya sebagai hal nan transenden (menonjolkan hal nan bersifat kerohanian), sintesa (paduan), serta objek dan subjek."

Oleh para pakar filsafat, fenomenologi lebih diartikan sebagai sebuah metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, serta buat memaknai sesuatu daripada menjadi sebuah genre filsafat. Kant dan Husserl berpendapat bahwa sesuatu nan kita amati hanya fenomena, bukanlah suatu neumenon atau sumber dari gejala tersebut.



Filsafat Eksistensialisme

Dalam genre eksistensialisme, pemahaman filsafat dipusatkan kepada manusia sebagai individu nan memiliki tanggung jawab terhadap kemauannya secara bebas tanpa berpikir dengan mendalam mengenai mana nan tak sahih dan mana nan benar. Dalam pemikiran ini, tak dibicarakan masalah mengenai mana nan sahih dan mana nan tak benar. Akan tetapi, para eksistensialis menyadari jika kebenaran bersifat relatif. Sehingga, setiap orang bebas menentukan segala sesuatu nan sahih menurut mereka.



Filsafat Analitis

Aliran filsafat analitis dianggap memang mirip dengan filsafat sains. Filsafat analitis muncul dari sekelompok filsuf dari Jerman nan menyebut diri mereka sebagai lingkaran Wina. Filsafat analitis ini kemudian berkembang hingga ke Inggris dan Polandia. Para kelompok filsuf ini melakukan penolakan terhadap metafisika sebab dianggap tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.



Filsafat Strukturalisme

Filsafat strukturalisme memiliki pemikiran bahwa tiap kebudayaan dan masyarakat memiliki struktur nan sama dan tetap. Karakteristik khas strukturalisme ini terpusat kepada citra keadaan aktual objek nan telah terlebih dahulu diselidiki dan disingkap dari berbagai sifat instrinsiknya nan bersifat tak memiliki keterikatan dengan waktu serta penetapan dari interaksi antara berbagai unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Majemuk gagasan strukturalisme ini memiliki metodologi eksklusif buat memajukan studi interdisipliner mengenai aneka gejala budaya serta mendekatkan majemuk ilmu humanisme dengan ilmu-ilmu alam.



Filsafat Postmodernisme

Pada tahun 1939, buat pertama kalinya, Arnold Toynbee melontarkan istilah postmodernist . Namun, sayangnya pada saat itu belum ada kesepakatan buat mendefinisikannya. Di tahun 1960, istilah tersebut bisa diekspor ke Benua Eropa nan membuat para pemikir dari Eropa mulai merasa tertarik terhadap pemikiran itu.

Salah satunya ialah J. Francois Lyotard nan membuat karya berjudul “The Post-Modern Condition”. Karya ini merupakan kritik terhadap karya “The Grand Narrative”, di mana karya tersebut dianggap merupakan dongeng imajinasi masa Modernitas. Kemudian, munculah kekacauan dampak ketidakjelasan definisi dari postmodernisme. Munculah pendapat nan menganggap jika konsep postmodernisme ini berseberangan dengan modernism, bahkan terjadi paradoks.

Ada pula pendapat lain nan beranggapan bila postmodernisme merupakan bentuk nan paripurna dari modernisme, di mana kita tak mungkin bisa memasuki postmodernisme tanpa terlebih dahulu melalui tahapan modernism. Sehinga, postmodernisme terbagi menjadi post-modernism reaction, post-modernism ressistace, opposition post-modernisme , dan affirmative post-modernism.

Pada akhirnya, muncul pendapat lain nan ingin menjadi penengah di antara kedua pandangan nan sangat bertentangan itu. Dalam karyanya, “Post-Modern Ethics”, Zygmunt Bauman berpendapat apabila kata post pada istilah tersebut bukan berarti “setelah” (masa berikutnya), maka timbullah berbagai konklusi seperti di atas tadi. Bauman menganggap bahwa postmodernisme merupakan reaksi dari kesia-siaan zaman modernis nan telah hilang, nan disebabkan oleh tekanan nan bersumber dari berpretensi belaka.

Berbagai genre filsafat tersebut kemudian hingga kini masih dipelajari para pelajar, cendikiawan, dan pengamat filsafat buat kemajuan ilmu pengetahuan.