Rakyat Merakyat
Bagi masyarakat Tanah Pasundan, kesenian wayang golek bisa dikatakan sudah mendarah daging. Wayang golek merupakan sebuah pertunjukan wayang dan diperankan oleh para tokoh nan terbuat dari boneka kayu. Sejak awal, kesenian wayang golek sudah identik dengan hiburan rakyat.
Salah satu tokoh wayang golek paling terkenal ialah Cepot. Karakternya nan kocak kerap mengundang kekeh penonton. Namun, bodoran Cepot tak semata-mata bertujuan menghibur. Implisit makna dan nasihat mendalam dalam setiap dialognya. Wayang golek dipentaskan oleh seorang dalang sebagai pengendali.
Wayang Identik dengan Bayang
Wayang merupakan salah satu jenis teater rakyat nan sangat populer. Sayangnya, kepopuleran wayang golek nyaris tergerus kemajuan zaman dan teknologi. Anak muda dan remaja kini nyaris tak pernah menonton wayang golek sekalipun ia lahir serta tumbuh di Tanah Pasundan.
Kata wayang selalu diidentikan dengan bayang atau bayangan. Hal ini tidaklah semata-mata tanpa sebab. Sebutan bayang muncul dampak pengaruh pertunjukan wayang kulit nan menggunakan sehelai kain sebagai layar sehingga menimbulkan bayangan.
Ujung Tombak Kesenian Wayang Golek
Jika ada pertanyaan, siapa saja ujung tombak pertunjukan wayang golek? Jawabannya ialah dalang dan sinden. Dalang ialah orang nan berperan memegang kendali setiap tokoh wayang. Seorang dalang harus piawai memainkan cerita dengan peniruan bunyi suara nan berbeda setiap karakter wayang.
Oleh karena itu, seorang dalang pun kerap diidentikan dengan ritual spesifik buat memperoleh suara nan dapat disesuaikan dengan karakter tokoh wayang. Menjadi seorang dalang tidaklah mudah dan hanya orang eksklusif nan dapat menjadi dalang. Salah satu dalang wayang golek paling terkenal ialah Asep Sunandar Sunarya.
Sejak 1920an, pertunjukan wayang selalu diiringi oleh sinden. Sepanjang cerita dan selama para tokoh wayang masih beraksi, sinden pun terus mengiringi. Peran sinden kala itu sangatlah vital dan terkenal melebihi dalangnya. Meskipun terlihat bahagia dan hanya bernyanyi, menjadi seorang sinden tidaklah mudah.
Seorang sinden biasanya memiliki suara nan merdu dan bercengkok. Sinden nan paling terkenal di global perwayangan ialah Upit Sarimanah dan Titim Patimah (1960an). Seorang sinden pun harus kuat dalam fisik sebab ia harus duduk dengan kedua kaki melipat selama pertunjukan.
Rakyat Merakyat
Zaman dahulu, bahkan hingga sekarang, wayang golek bisa dikategorikan sebagai salah satu kesenian murah meriah. Wayang golek ialah tontonan nan sangat merakyat. Setiap orang, tanpa batasan umur maupun tingkatan sosial lain, berhak menonton pertunjukan wayang golek. Wayang golek biasanya dipentaskan malam hari sampai menjelang dini hari. Bahkan, tidak sporadis pula nan mementaskannya sampai pagi.
Cerita wayang golek tentu masih bersumber pada cerita atau kisah Mahabarata dan Ramayana. Isi cerita wayang golek biasanya diselipi unsur-unsur nasihat maupun insinuasi nan disesuaikan dengan kejadian nan tengah berlangsung di pemerintahan. Wayang golek merupakan ciciren seni Sunda bernilai tinggi.
Pertunjukan seni wayang golek, aspek-aspek nan mendukung sebagai media komunikasi tradisional, adalah: "kredibilitas dalang, pesan dalam bentuk ceritera, dan peranan para pendukung (jurukawih dan wiraswara)". (Sujana, 1991:8). Unsur-unsur tersebut saling mengisi dan menunjang terhadap sukses/ tidaknya suatu pertunjukan seni wayang golek.
Bahan-bahan nan ditelaah dari buku acuan ialah bahan-bahan nan dianggap relevan dan sejauh hal itu bisa digunakan buat menganalisa data lapangan. Bahan-bahan itu terutama berkenaan dengan garapan padalangan nan mencakup 3 aspek pokok, yaitu: dapat dipercaya dalang, pesan dalam bentuk ceritera, dan peranan para pendukung.
Keahlian Dalang
Di dalam penelitian Rizalullah (2003) di jelaskan bahwa dalang fungsinya sebagai komunikator ialah "sekaligus pengarah adegan (pengatur laku dan sabetan) dalam pertunjukan kisah wayang". (Suryana, 2002:219). Keahlian dalang antara lain: "memainkan wayang, penggunaan bahasa dan sastra, teknik vokal, dan teori penyutradaraan". (Sujana, 1991:8).
"memainkan wayang berhubungan dengan keterampilan dalang di dalam ‘memainkan’ wayang, mencakup: menarikkan wayang, memerangkan wayang, dan menggerakkan gunung-gunungan". (Sujana, 1991:9).
Di dalam memainkan wayang, dalang terikat oleh bentuk, motif, dan desain mobilitas serta temponya nan telah diatur berlandaskan kepada karakter dan jenis kelamin wayang. Raja agung dan berwibawa seperti Semiaji, Duryodana, dan lain-lain cukup dimainkan dengan langkah-langkah kecil sederhana dengan tempo lambat; sementara wayang-wayang nan mempunyai karakter satria dan ponggawa, biasanya dimainkan dengan bentuk dan motif nan beragam.
Umpamanya gerak-gerak keupat III, sekar tiba, mincid gelayar, jangkung ilo, ngalaras, jalak pengkor, baksa, dan mamandapan buat wayang-wayang seperti: Aradea, Samba, Ekalaya, Somantri, dan lain-lain: sedangkan gerak-gerak gedut, capang, laras konda, lengkah dalapan, pakbang, sonteng, dan baksa buat wayang- wayang seperti: Baladewa, Sencaki, Seta, Aswatama, dan lain-lain.
Dalam pada itu wayang-wayang Danawa, seperti Prabakesah, Buta terong, Buta Endog, Buta Jengkol, dan Buta Balad lainnya tak terikat oleh adanya patokan-patokan itu. Gerak-geraknya akan sangat tergantung kepada keterampilan dalang di dalam mencari kemungkinan-kemungkinan nan bisa menimbulkan kesan lucu dan kagum. Bahkan bukan dalam segi mobilitas saja, tetapi mencakup segala sesuatu nan berhubungan dengan segi kebentukan atau rupa wayang.
Penggunaan Bahasa Dan Sastra
Bahasa dan sastra padalangan berhubungan dengan teknik vokal dalang dan pemakaian lirik-liriknya selama pertunjukan berlangsung. Teknik vokal dalang serta pemakaian lirik-liriknya itu tercakup dalam aspek-aspek sebagai berikut: "murwa, nyandra, kakawen, paguneman, dan rumpaka lagu". (Soepandi, 1984:6).
Murwa ialah "garapan dalang diawal pertunjukan, yaitu melagukan beberapa kalimat bahasa Kawi dengan teknik-teknik lagu tertentu. Adapun maksud dan isi kandungan dalam lirik murwa itu adalah citra tentang sesuatu keadaan baik fisik maupun non fisik nan mengawali cerita nan disajikan". (Sujana, 1991:10). Umpamanya tentang sebuah negara dengan segala isinya, tentang sifat-sifatnya seorang raja, tentang suasana bathin seorang tokoh wayang, dan lain sebagainya.
Nyandra kelanjutan dari murwa, yaitu "bagian nan masih menerangkan atau menggambarkan sesuatu dengan teknik prolog". (Sujana, 1991:10). Pada umumnya penonton cukup mengerti, sebab disamping bahasa Kawi, nyandra juga disajikan dalam bahasa Sunda.
Kakawen yaitu "lagu-lagu "sekaran" dalam bentuk puisi berbahasa Kawi nan berisi tentang penerangan, pendidikan, dan pepatah kepada masyarakat". (Sujana, 1991:10). Bagian ini dihidangkan oleh dalang setelah murwa dan nyandra. Sendon adalah homogen kakawen nan mempunyai tabiat sedih nan oleh karenanya jenis kakawen ini digunakan pada adegan-adegan nan mengungkapkan kesedihan.
Sekalipun lirik lagunya tak menjurus ke hal-hal nan seperti itu, namun pemakaian surupan madenda serta keterampilan dalang di dalam membawakannya, sendon cukup mampu melukiskan keadaan nan dimaksud. Jenis kakawen lainnya yaitu renggan, berasal dari kata rengga-an nan berarti hiasan. Kakawen ini kebanyakan digunakan buat mengiringi mobilitas wayang dalam berbagai suasana bathinnya, seperti kaget, suka-cita, dan lain-lain.
Paguneman adalah "percakapan atau obrolan antar tokoh-tokoh nan sedang diperankan, dengan tak lupa memperhatikan strata bahasa". (Sujana, 1991:11) Selain bahasa Sunda, dalam paguneman sering juga dipakai bahasa Jawa, terutama pada adegan-adegan kerajaan.
Rumpaka lagu menunjukan adanya koordinasi antar berbagai aspek pendukung terutama dalang dan pesinden. Pesinden harus betul-betul memahami setiap adegan sekaligus memahami pula kode-kode nan dilontarkan dalang. Dengan cara begitu, lagu beserta syair nan dibawakan sinden, betul-betul relevan dan mendukung suasana seperti nan dikehendaki dalang.
Teknik Vokal
Antawacana berhubungan dengan "teknik vokal dalang di dalam memerankan setiap tokoh wayang, nan oleh sebab itu dalang dituntut mampu mampu membuat disparitas rona suara, surupan, dan logat antar satu dengan nan lainnya". (Soepandi, 1984:13).
Suara ini biasa dipakai buat memerankan wayang-wayang nan mempunyai karakter satria ladak atau lanyap, umpamanya: Kresna, Drestajumena, Dipati Karna, Ekalaya, dan lain-lain. Dan terakhir, sora palseto yaitu suara "palsu" buat memerankan wayang-wayang seperti: Togog Wijamantri, Bilung Sarawita, dan lain-lain.
Surupan maksudnya yaitu, suara-suara nan telah diolah dan disesuaikan menurut karakter wayang, diolah lagi menurut surupan gamelan. Dan biasa nan menjadi jejer sora yaitu barang dan galimer. Adapun maksudnya tiada lain buat membedakan peran satu dengan nan lainnya, andaikan dalam adegan itu tokoh-tokoh nan berperan karakternya nan sama.
Logat bicara tergantung pada "air muka" kesenian wayang golek, dalam arti tokoh-tokoh wayang nan kepalanya tunduk biasanya berbicara pelan dan lambat. Sebaliknya wayang-wayang nan kepalanya lurus dengan muka ke depan, biasa berbicara dengan logat "lincah", atau dalam bahasa Sundanya capetang, teureugeus, terewes.