Hukum Negara Indonesia

Hukum Negara Indonesia



Wajah Hukum Indonesia

Sebagai negara kesatuan nan menjamin dan mengayomi hajat hayati dan kehidupan masyarakatnya, ternyata Indonesia belum mampu berlaku adil dalam bidang hukum. Dalam UUD pasal 27 ayat 1, dinyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum. Pertanyaan nan kemudian muncul ialah di “mata hukum” mana rakyat Indonesia memiliki persamaan hak. Bahkan, sekadar membela diri pun tidak bisa.

Di negara nan demokratis, fertile makmur, gemah ripah loh jinawi, ini ternyata masih ditemukan beberapa ketidakwajaran dalam bidang hukum. Terutama mengenai hukuman hukum. Di sini, bahkan dalam institusi berlogo timbangan pun, lembaran rupiah masih dinomorsatukan. Kasus dan hukuman hanyalah akibat nan tak lagi dianggap penting. Semua klir dengan satu tanda tangan di atas cek kosong atau sejumput amplop tebal.

Abrakadabra... Kasus nan seminggu sebelumnya mewarnai pemberitaan media cetak maupun media massa tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi. Semua pendukung ranah perhukuman kompak menyatakan BAP belum lengkap, tak ditemukan bukti otentik, pelaku di bawah tekanan, pelaku menderita suatu penyakit nan tak memungkinkannya berdiam di hotel prodeo. Dan masih banyak alibi-alibi lain berseliweran.



Sanksi Hukum nan Ditegakkan di Indonesia

Kembali pada masalah sanksi, seorang pelaku atau pelanggar hukum memang wajib, absolut dikenai sanksi. Dalam hukum apa pun, baik hukum negara, hukum adat, hukum agama, maupun hukum masyarakat loka ia tinggal. Sanksinya pun sudah tentu beragam, bergantung hukum mana nan akan diterapkan.

Lantas, benarkah hukuman hukum negara lebih baik daripada hukuman hukum masyarakat setempat. Berikut ini beberapa disparitas hukuman hukum negara dan hukum masyarakat.



Hukum Negara Indonesia
  1. Setiap pelanggar hukum harus melalui beberapa termin inspeksi dalam pengumpulan BAP.
  2. Pelanggar akan melalui beberapa proses persidangan sebelum dinyatakan bersalah dan dipastikan lama hukumannya. Dalam fase ini, spesifik orang-orang berpengaruh, proses hukum dijadikan ajang bersenang-senang, mencari nama, dan menciptakan beberapa kasus baru nan dianggap mampu meringankan hukumannya.
  3. Setelah sang juru adil (hakim) mengetuk palu, berdatanganlah para simpatisan buat mendukung terpidana.
  4. Saat menjalani hukuman, orang-orang eksklusif masih bisa menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan hidup.
  5. Keinginan buat berubah lebih baik pun seolah tidak ada sebab ia hayati di lingkungan nan tak mengharuskannya berbuat suatu kebaikan. Tentu saja, hayati dalam lingkungan narapidana mampu membuat seseorang tak ingin berbuat baik.


Hukum Masyarakat di Indonesia
  1. Pelanggar tak mengalami serangkaian penyelidikan, pemeriksaan. Apalagi, disidangkan.
  2. Ketika seseorang dinyatakan bersalah, secara otomatis ia akan diasingkan dan dicemooh dari lingkungan masyarakatnya. Tindakan seperti ini memang memiliki imbas positif dan negatif. Positifnya, pelaku akan sadar ketika dirinya dijauhi setelah melakukan perbuatan itu. Celakanya, bila pelaku tak sadar akan kesalahannya, saat merasa dikucilkan, ia akan semakin menjadi garang. Sisi setannya keluar. Itikad berbuat baik pun hilang.

Itulah citra hukum negeri ini dengan beberapa aspek pendukungnya, terutama hukuman hukum.



Bahasa Ragam Hukum di Indonesia

Bahasa hukum ialah bahasa Indonesia dengan corak nan khas dalam penggunaannya di bidang hukum. Sebagai bagian dari bahasa Indonesia, bahasa hukum merupakan bahasa nan modern, penggunaannya tetap, terang, monosemantik, dan harus memenuhi syarat-syarat estetika. (Daswara, 1991: 225)

Peraturan pemerintah sebagai media resmi kenegaraan, alat perhubungan pada taraf nasional buat kepentingan pemerintahan, sudah semestinya menggunakan kalimat-kalimat nan baik atau efektif agar bisa mempermudah pemahaman pembaca dan pengguna peraturan pemerintah dalam mencerna amanat nan disampaikan sehingga akan terjadi komunikasi nan baik agar bisa melancarkan urusan kenegaraan tersebut.

Oleh karena itu, sudah seharusnya jika bahasa nan digunakan dalam bidang hukum bersifat ‘terang’, yakni bisa secara tegas dan jelas dimengerti oleh pembaca dan pengguna hukum tersebut sehingga tak terjadi pelanggaran hukum dampak ketidakterangan bahasa hukum nan menimbulkan multi interpretasi terhadap pengguna hukum nan berlaku. Selain itu, bahasa hukum juga tentu harus bersifat ‘monosemantik’, artinya hanya memiliki satu makna nan tak menimbulkan bermakna ganda sebagai sesuatu nan nantinya dijadikan alasan oleh pengguna hukum buat melakukan pelanggaran hukum.

Ketidakefektifan kalimat nan terdapat dalam bahasa sebagai media hukum juga menimbulkan adanya interpretasi lain dalam pemahaman sebuah kalimat sehingga bisa pula menimbulkan pelanggaran terhadap peraturan nan tersalahtafsirkan tersebut.

Syarat-syarat keindahan nan juga mendukung pengguna hukum buat mematuhi peraturan haruslah dipertimbangkan sebagai alasan terciptanya nilai-nilai pendukung seseorang buat lebih mengindahkan peraturan nan berlaku sebagai hukum nan patut ditegakkan.

Dengan demikian, peraturan pemerintah nan mengatur beberapa hal krusial mengenai persyaratan hukuman hukum nan berlaku haruslah dibuat dengan lugas dan tepat sinkron dengan tujuan pembuatan hukuman dan peraturan pemerintah tersebut.



Beberapa Contoh Analisis Terhadap Bahasa Hukum di Indonesia

Di bawah ini, akan dipaparkan beberapa contoh bunyi pasal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 45 tahun 2007 tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan sekertaris desa menjadi pegawai negeri sipil nan tak memenuhi syarat-syarat sebagai bahasa hukum nan baik dan benar.

(1) Sekertaris Desa nan memiliki ijazah lebih tinggi dari Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Lanjutan Taraf Atas (SLTA) diangkat sebagai PNS dalam pangkat/golongan ruang sinkron dengan ijazah SLTA.
(Bab II Pasal 3 ayat 3)

Kalimat tersebut memberikan sebuah peraturan nan kurang terang, karena pasal tersebut tak menyebutkan golongan ruang nan sinkron dengan ijazah SLTA itu golongan seperti apa sehingga tak ada kejelasan tentang golongan nan nantinya akan didapatkan atau diisi oleh para sekertaris desa nan memiliki ijazah lebih tinggi dari STTB SLTA.

Dengan kata lain, kita dapat saja menyimpulkan bahwa sekertaris desa dengan ijazah nan lebih tinggi dari ijazah SLTA dapat ditempatkan lebih tinggi atau lebih rendah daripada sekertaris desa dengan ijazah nan lebih rendah dari ijazah SLTA. Hal ini tentu saja akan menimbulkan pertanyaan tentang ketetapan pemerintah dalam membuat peraturan mengenai pengangkatan sekertaris desa menjadi PNS.

Kalimat tersebut tak memberi kejelasan tentang ruang atau golongan manakah nan bisa diisi oleh pihak apa saja sehingga pembaca peraturan tersebut akan memiliki keraguan terhadap ketetapan pemerintah dampak ketidakjelasan tersebut.

(2) Biaya ujian penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota. (Bab V pasal 12 ayat 3)

Kata ‘dibebankan’ pada kalimat di atas memiliki pengertian seolah-olah ada pihak lain nan mestinya melakukan kewajiban dalam memenuhi biaya ujian penyetaraan, namun tak melakukan kewajiban tersebut sehingga biaya penyetaraan diberikan sebagai ‘beban’ kepada pihak APBD Kabupaten/Kota.

Dengan adanya bunyi pasal tersebut, timbul pertanyaan dalam pikiran aku sebagai pembaca peraturan pemerintah, siapakah pihak nan membebankan biaya ujian penyetaraan tersebut?

Hal ini tentu saja menimbulkan evaluasi bahwa pemerintah tak bersikap adil karena kewajiban nan seharusnya dipenuhi oleh pihak ‘tidak tersebut’ ini malah dilimpahkan sebagai’beban’ kepada pihak APBD nan sebenarnya tak memiliki kewajiban tersebut.