Politisi Artis
Politik praktis ialah sebuah kehidupan politik nan saling memperebutkan kekuasaan. Secara eksplisit kekuasaan berwujud jabatan, posisi atau kedudukan nan dicapai melalui sikap ambisius, konduite beritikad dan bermotif, dan unsur kepentingan nan berjalan bersama dan saling berhimpitan. Namun, sesungguhnya persaingan terjadi buat memperebutkan kewenangan dan otoritas dalam mengambil keputusan nan menyangkut publik.
Secara definitif, politik praktis tak ada pemaknaan nan bisa dijadikan acum normatif. Kebanyakan orang mengartikannya berdasarkan kondisi riil sosial masyarakat, ketika seorang individu mempertaruhkan segala nan dimiliki seperti waktu, tenaga, pikiran, dan harga diri serta materi buat mencapai tujuannya. Tidak lain tujuan nan didambakan adalah mencapai kemenangan dan memperoleh kekuasaan.
Pandangan politik zaman dulu ketika demokrasi belum mencapai tingkat pemahaman terkonsepsi ialah benturan fisik antara dua pihak nan saling berseteru buat memperebutkan kekuasaan. Akan tetapi perkembangan paham demokrasi terkonsepsi membumi seperti sekarang ini, politik mengalami perubahan mirip pertarungan menakutkan. Segala cara dilakukan buat menghancurkan strategi dan taktik lawan, bersaing mendapatkan simpati publik, dan upaya pembunuhan karakter lazim ditemui.
Karakteristik Dasar
Karakter dasar sebuah politik praktis bisa dilihat realitasnya menurut beberapa klarifikasi berikut ini.
• Ketidakpastian dan Kepentingan
Dunia politik hanya memberi pilihan kepastian bagi dua hal yaitu kepentingan dan ketidakpastian. Segala hal menyangkut strategi, metode, dan pola pemikiran atau tindakan tak bisa diperhitungkan secara pasti. Hal ini sangat berbeda dengan urusan dibidang ekonomi, sosial, budaya, dan militer.
Perubahan terjadi sewaktu-waktu mengikuti anasir kontekstual nan eksis. Seorang individu nan lekat dengan kesetiaan bisa berubah drastis meninggalkan kesetiaannya buat kepentingan pribadinya. Dalam kasus lain, dua individu layaknya pasangan harmonis tiba-tiba berseteru dan saling menjatuhkan sebab kepentingan dengan pihak lainnya.
Unsur kesetiaan dan kecocokan hanya bertahan sementara sampai memasuki masa-masa krisis tiba. Politik ini hanya bisa dipahami ketika seorang politisi sudah terjun langsung di dalamnya.
• Pertaruhan
Pertaruhan dalam berpolitik mengarah pada tujuan buat mengalahkan versus dengan penuh ambisi sehingga menciptakan seni permainan indah. Gairah berpolitik juga membuang perasaan bosan dan jenuh demi membicarakan dan membedah urusan politik. Nyatanya, elite politik mengiklaskan diri berdiskusi bahkan berdebat selama berjam-jam sambil menghabiskan bercangkir kopi atau teh sampai tengah malam.
Efek samping politik ini semacam rasa ketagihan bisa muncul pada diri para pemainnya dalam situasi menang maupun kalah. Kekalahan di meja judi politik merupakan pemicu rasa penasaran semakin besar buat mencoba masuk dalam meja politik kembali. Sebaliknya, kemenangan merupakan pemicu politisi merasakan sensasi kenikmatan nan membius dalam bentuk kekuasaan, kewenangan, memperoleh kehormatan, dan dipuja.
• Kekerasan dan Tipu Daya
Ranah politik membuat elite politik tak bisa merasakan ketenangan bekerja di siang hari dan tidur nyenyak di malam hari. Bayangan kesuksesan meraih nikmat menjadi orang paling berkuasa mengatur jabatan, uang, dan proyek juga melahirkan hantu dalam wujud konkret yaitu versus politik.
Kebenaran, kebersihan, dan kebaikan seorang politisi selalu dianggap sebaliknya oleh versus politiknya. Banyak kesibukan nan menyita pikiran dan tenaga mulai dari melayani konstituen, menyenangkan hati tim sukses, hingga meluruskan isu-isu negatif.
Kompetisi politik tak mengenal kata belas kasihan dan rasa sayang dalam bentuk apa pun. Hakekat di dalamnya dipenuhi kekejaman dan tipu daya, melihat dari konduite politisi nan merekayasa segala sesuatu melalui media dengan kemasan tujuan politik tersebut.
Seperti itulah kondisi global politik saat ini nan dipenuhi orang-orang ambisius dan haus kekuasaan tanpa melihat dan berpikir tentang belas kasihan kecuali melihat versus politiknya hancur tanpa tersisa.
Syarat tak tertulis
Sejak dahulu global politik sangat menggoda buat dijamah sebab identik dengan kelas sosial berpenghasilan jutaan rupiah. Secara otomatis, tingkatan sosial menjadi tinggi pula, disebabkan besaran upah dan tunjangan serta aneka uang lainnya nan ditentukan sendiri melalui anggaran nan dibuat sendiri. Kunjungan kerja ke daerah-daerah maupun luar negeri sudah dijatah oleh aturan negara alias gratis.
Seorang wakil rakyat dimanjakan dengan segala fasilitas mewah semakin membuat ketertarikan terjun ke global politik kecuali orang nan akal sehatnya terganggu. Empiris di lapangan menunjukkan bahwa seorang warga negara nan berniat menjadi calon anggota dewan mengabaikan idealisme. Mendaftar ke partai eksklusif menjadi langkah awal memasuki pintu gerbang politik.
Dasar minat sendiri dan kesempatan besar terpilih melupakan pertimbangan ideologi partai nan dilamar. Bukan persoalan partai nasionalis atau partai agamis bahkan putih abu-abu tetapi nan terpenting lolos menjadi calon anggota legislatif dengan melewati seleksi administratif. Urusan administrasi bukan persoalan nan rumit sebab setiap orang bisa memenuhi tanpa kesulitan berarti.
Hal krusial lainnya adalah faktor kecukupan finansial nan tak semua orang memenuhinya. Bukan menjadi misteri generik lagi, menjadi anggota dewan tak hanya mengandalkan kualifikasi personal seperti kualitas intelektual nan dibuktikan melalui beberapa lembar ijazah terlampir. Tidak juga dengan pengakuan kualitas moral nan tertuang di dalam referensi catatan kepolisian.
Calon anggota dewan wajib memiliki satu kualifikasi tambahan nan sangat krusial yaitu dana mencukupi. Dana pencalonan menjadi faktor kunci penentu terpilihnya seorang calon anggota dewan dalam proses pemilihan. Hal ini seakan menjadi tradisi perekrutan calon anggota dewan diwajibkan menyiapkan sejumlah dana setara dengan jumlah kebutuhan suara.
Jumlah dana mengikuti keinginan calon anggota dewan menduduki jabatan di strata tertentu. Bermimpi menjadi calon anggota dewan taraf pusat membutuhkan dukungan dana sangat besar dibandingkan anggota dewan taraf kota atau kabupaten. Seperti menjadi hukum tak tertulis nan membudaya sehingga menyebabkan para intelektual, pengamat politik, dan aktivis segan turun ke arena politik secara praktis.
Di satu sisi, keterbatasan dana nan tersedia tetapi di lain hal para pemikir idealis tak pernah mau menjual intelektual dan moralitas diri dengan harga murah. Dalam lingkup tradisi politik, anjung ini sebenarnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang berkecukupan finansial.
Politisi Artis
Keterbukaan politik pasca reformasi di negeri ini memberi jalan mudah bagi semua kalangan masyarakat. Kebebasan terjun ke arena politik praktis memberi peluang bagi artis-artis berkecimpung di dalamnya dan meninggalkan global hiburan. Pada proses pemilihan generik tahun 2009 tercatat ada 18 selebritis nan lolos ke parlemen.
Partai Golkar diisi oleh Tetty Kadi Bawono, Nurul Arifin, dan Tantowi Yahya. Sementara itu, Rieke Diah Pitaloka dan Tubagus Dedi S. Gumelar atau lebih dikenal dengan nama Miing Bagito bergabung di Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai Demokrat memiliki Inggrid Maria, Venna Melinda, Palupi Kansil, Nurul Qomar, Ruhut Sitompul, Angelina Sondakh, Theresia Pardede (mengundurkan diri), dan Adjie Massaid, dan sebagainya.
Partisipasi seniman di parlemen sering dianggap remeh oleh publik sebab para seniman hanya mengandalkan popularitas. Pada saat menduduki kursi parlemen tak banyak nan bisa dilakukan, demikian asumsi nan ada. Namun melihat empiris di gedung parlemen menunjukkan seniman terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.
Contohnya, Rieke Diah Pitaloka proaktif memperjuangkan Undang- Undang tentang Badan Penyelenggara Agunan Sosial. Seniman nan terkenal lewat peran Oneng di sebuah sinetron ini juga berjuang menolak planning perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan hingga keluar dari daftar Program Legislasi Nasional 2011. Nama lain, Nurul Arifin teribat dalam pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) sebab menjadi anggota Badan Legislatif.[]