Tokoh Reformasi - Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng
Terbentuknya perkembangan demokrasi di Indonesia pada saat ini tidak dapat kita luapakan dari masa dan era Reformasi. Era Reformasi terbentuk sebab berkembangnya sistem demokrasi nan absolut dan otoriter di era Orde Baru. Reformasi erat hubungannya dengan tokoh reformasi . Banyak sekali tokoh reformasi nan bermunculan saat era reformasi dimulai.
Berbagai tokoh politik saat itu berupaya buat menumbangkan rezim Orde Baru. Orde Baru dianggap sewenang-wenang dengan melakukan tindakan korupsi, menyengsarakan rakyat, dan membuat Indonesia saat itu harus menderita sebab terkena krisis ekonomi nan dimulai pada akhir tahun 1990-an. Berbagai tokoh saat itu di antaranya ialah Megawati Soekarno Putri, (Alm) Abdurrahman Wahid atau nan kita kenal dengan Gus dur, Amien Rais, Munir dan beberapa tokoh lainya nan terlibat dalam politik.
Tokoh Reformasi - Emha Ainun Nadjib
Tapi ada satu hal nan menarik ketika salah satu tokoh reformasi saat itu ialah seorang budayawan. Dia bernama Emha Ainun Nadjib, atau lebih dikenal dengan nama Cak Nun. Tokoh reformasi ini lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953.
Secara akademis, tokoh reformasi ini hanya menempuh studi di tahun pertamanya selama satu semester di Fakultas Ekonomi, UGM. Meskipun "dianggap" tak memilki pendidikan formal, tapi kemampuan Emha Ainun Nadjib, sang tokoh reformasi ini tak perlu dipertanyakan. Darah seni nan mengalir pada dirinya membantunya tumbuh dan berkembang.
Hal itu terbukti saat tokoh reformasi ini belajar sastra dari seorang sufi selama ia hayati di Jogjakarta pada 1970-1975. Ilmu seni dan budaya nan terangkum dalam pikirannya membuat ia berkembang dengan cepat dan menghasilkan beberapa hal nan sangat bermanfaat buat bidang tersebut. Hal tersebut tercipta melalui buku-bukunya, kumpulan puisi dan seni teater.
Kemampuan itulah nan membawanya ke global politik. Sebagian dari hasil karya seninya saat itu mengarah dan memberikan kritik kepada pemerintah nan dianggap tak mampu menjalankan tugasnya buat rakyat. Hal ini seperti mengulang kembali kisah hidupnya. Tokoh reformasi ini diusir dari Gontor, sebab demonstrasi nan dilakukannya melawan pemerintah.
Hal tersebut nan menjadi salah satu dasar kenapa seorang Emha Ainun Nadjib, sang tokoh reformasi ini bergerak memimpin perlawanan terhadap pemerintah nan berkuasa pada masa Orde Baru. Bersama-sama dengan Amien Rais, (Alm) Gus Dur, Megawati serta beberapa tokoh lainnya, Emha Ainun Nadjib bersama-sama dengan aktifis lslam dan mahasiswa saat itu melakukan aksi demonstrasi dan menduduki gedung DPR.
Aksi demonstrasi nan dilakukan warga dan mahasiswa berakhir bentrok. Hal ini membuat negara Indonesia pada saat itu berada dalam situasi nan kacau. Akhirnya Presiden Indonesia saat itu (Alm) Soeharto meletakkan jabatannya.
Pada waktu itulah Emha Ainun Nadjib bersama beberapa tokoh reformasi lainnya menyaksikan Presiden Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya dan penyerahan jabatan kepada B.J Habibie. Gerakan reformasi nan dibangun oleh Emha Ainun Nadjib tak selalu berdasarkan pada politik.
Hal itu terbukti, saat ia tidak pernah menjejakkan kakinya sebagai seorang birokrat, politisi, atau orang pemerintahan di era reformasi nan dipimpin (Alm) Presiden Gus Dur saat itu. Emha Ainun Nadjib, sang tokoh reformasi ini menjalankan kegiatan reformasinya melalui seni dan budaya. Hal itu sangat inheren pada dirinya.
Tokoh reformasi ini tak hanya beretorika dan berwacana tentang nilai-nilai kemanusiaan, sosial dalam seni dan budaya Indonesia, tapi langsung terjun ke dalam masyarakat dan mendekatkan dirinya. Fungsi-fungsi sosial inilah nan dibawanya ke dalam kegiatan seninya. Pemikiran nan masuk akal, tapi sangat liar, khas artis itulah nan menjadi karakteristik khasnya. Seorang budayawan nan menggerakkan reformasi melalui jalan nan berbeda.
Terakhir, peranan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah sikap perubahan dan kritis ialah saat Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Polemik nan timbul sebab komunikasi nan tak jalan, membuat budayawan Emha Ainun Nadjib mencoba menjadi perantara bagi masyarakat Yogyakarta dan pemerintah pusat. Meskipun begitu dalam perjalanannya, Emha Ainun Nadjib tak mau disebut sebagai "tokoh reformasi."
Beliau lebih memilih disebut sebagai warga Jogja. Pengaruh Jogjakarta nan inheren dan membuat ia tumbuh menjadi salah seorang nan patut dipertimbangkan pikiran-pikirannya. Termasuk saat ia mengubah republik Indonesia menjadi lebih baik sebagai seorang tokoh reformasi di tahun 1999. Karya-karyanya tentu saja dinanti sebagai penyeimbang agar demokrasi bisa berjalan dengan baik, dan nilai-nilai sosial pun berkembang sejalan dengan kehidupannya.
Tokoh Reformasi - Essai/Buku Emha Ainun Nadjib
Buku-buku esai karya tokoh reformasi ini tidak kurang dari 30 antara lain sebagai berikut.
- Dari Pojok Sejarah (1985)
- Sastra Yang Membebaskan (1985)
- Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
- Markesot Bertutur (1993)
- Markesot Bertutur Lagi (1994)
- Opini Plesetan (1996)
- Gerakan Punakawan (1994)
- Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
- Indonesia Bagian Krusial dari Desa Saya (1994)
- Slilit Sang Kiai (1991)
- Sudrun Gugat (1994)
- Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
- Bola- Bola Kultural (1996)
- Budaya Tanding (1995)
- Titik Nadir Demokrasi (1995)
- Tuhanpun Berpuasa (1996)
- Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
- Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
- Iblis Nusantara Dajjal Global (1997)
- 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
- Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
- Kiai Kocar Kacir (1998)
- Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998)
- Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
- Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
- Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
- Menelusuri Titik Keimanan (2001)
- Hikmah Puasa 1 & 2 (2001)
- Segitiga Cinta (2001)
- Kitab Ketentraman (2001)
- Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
- Tahajjud Cinta (2003)
Puisi/Buku
Tokoh reformasi, Emha Ainun nadjib menerbitkan 16 buku puisi.
- “M” Putus Harapan (1976)
- Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
- Sajak-Sajak Cinta (1978)
- Nyanyian Gelandangan (1982)
- 102 Untuk Tuhanku (1983)
- Suluk Pesisiran (1989)
- Lautan Jilbab (1989)
- Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990)
- Cahaya Maha Cahaya (1991)
- Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
- Abacadabra (1994)
- Syair Asmaul Husna (1994)
Tokoh Reformasi - Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng
Emha Ainun Nadjib merupakan tokoh reformasi nan terkenal sering keluar masuk ke gereja. Tokoh reformasi ini keluar masuk gereja memang bukan buat kebaktian, namun buat menggelar karya seni musiknya nan bernuansa Islam. Tokoh reformasi ini memang dikenal memiliki kelompok kesenian bernama Kiai Kanjeng.
Pada 2008, sang tokoh reformasi, Cak Nun dan istri serta Kiai Kanjeng, diundang oleh gereja Protestan ( Protestant Chruch ) Belanda nan bekerja sama bersama Java Enterprise, buat mementaskan musik dan berdialog dengan majemuk komunitas di tujuh kota nan ada di Belanda, yaitu Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, Deventer, Leeuwarden, Windesheim, dan Utrecht.
Setahun sebelumnya, ketika ulang tahun ke-72 Paroki Pugeran, Yogyakarta, tokoh reformasi ini bersama Kiai Kanjeng mengisi salah satu acara ulang tahun tersebut. Selain pementasan tokoh reformasi ini dengan Kiai Kanjeng-nya, juga diadakan obrolan antaragama (Katholik, Islam, Budha, Hindu, Kejawen).
Tokoh Reformasi - Penghragaan nan Diterima Emha Ainun Nadjib
Beberapa waktu nan lalau, tepatnya pada bulan Maret 2011, Emha, salah satu tokoh reformasi ini mendapat Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, penghargaan tersebut diberikan sebab pertimbangan bahwa tokoh reformasi ini mempunyai peran nan besar di bidang kebudayaan. Tokoh reformasi ini sukses melestarikan kebudayaan daerah dan nasional. Hasil karyanya pun bermanfaat dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.