Kerata Basa dan Cangkriman Bagi Orang Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa dengan struktur nan cukup rumit. Selain memiliki strata penggunaan (bahasa Jawa dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu basa krama alus, basa krama madya, dan basa ngoko), bahasa Jawa penuh dengan simbol dan pesan-pesan tersembunyi nan terdapat di dalam kata-kata bahasa Jawa .
Permainan Kata-kata Bahasa Jawa
Permainan kata-kata bahasa Jawa seperti kerata basa dan cangkriman merupakan cara paling mudah buat memahami bahasa nan penuh dengan pesan tersembunyi ini.
Kerata basa
Kerata basa merupakan permainan kata-kata nan cukup unik dalam bahasa Jawa. Permainan semacam ini sulit ditemukan pada bahasa nan lain. Kerata basa ialah permainan menjabarkan suatu kata berdasar sifat atau arti kata tersebut. Kerata basa mirip dengan akronim, namun jika akronim merupakan singkatan nan bisa dilafalkan seperti sebuah kata, kerata basa ialah suatu kata nan memiliki arti dan dijabarkan sinkron arti kata itu sendiri.
Penjelasan tentang kerata basa akan lebih mudah jika melihat beberapa contoh berikut. Kata kathok (celana) jika di-kerata basa-kan akan menjadi nek ngangkat sithok-sithok (kalau diangkat sedikit demi sedikit). Kerikil (batu kerikil, ukurannya kecil dan biasanya tajam) bisa diartikan dengan keri neng sikil (keri = perih, neng = di, sikil = kaki, jadi batu kerikil itu jika terinjak akan membuat perih di kaki).
Penjabaran dalam kerata basa bisa memiliki unsur kocak. Selain kata kerikil dan kathok, kata dengan penjabaran nan kocak atara lain kata sekuter (skuter) nan bisa diartikan sambi sedheku mlaku banter (sambil tertekuk berlari kencang). Perhatikan pula kata kodok (katak) nan berarti teka-teka ndodok (datang tiba-tiba sudah dalam posisi jongkok).
Penjabaran kata dapat pula bermakna penghormatan dan amanah . Contohnya ialah kata guru (pengajar/pendidik) nan bisa dijabarkan sebagai digugu lan ditiru. Digugu bisa berarti dipercayai, atau diteladani. Ditiru bisa berarti diikuti. Digugu lan ditiru berarti bisa dipercayai dan diteladani tingkah lakunya. Penjabaran ini memiliki makna sangat dalam, sebab seorang guru haruslah seorang nan luhur budi pekerti dan tingkah lakunya, sehingga layak buat diteladani dan ditiru/diikuti oleh para murid-muridnya. Dalam budaya Jawa, guru memiliki kedudukan nan sangat tinggi dan terhormat, oleh sebab itu masyarakat memiliki asa cukup besar pada guru.
Kata-kata bahasa Jawa nan bisa dijabarkan dalam arti nan mulia selain guru antara lain kaji, gusti, dan garwa. Kaji bisa dijabarkan sebagai tekade mung siji (tekatnya hanya satu). Tekat di sini ialah tekat buat menghadap Yang Maha Kuasa. Melakukan ibadah haji hendaknya hanya sebab tekat murni buat menghadap Yang Maha Kuasa. Sedangkan gusti bisa berarti bagusing ati (kebagusan/keluhuran hati). Gusti sering diucapkan oleh orang Jawa buat menyebut sesuatu nan memiliki kedudukan lebih tinggi, seperti majikan ataupun raja. Gusti juga digunakan buat menyebut Tuhan. Karena memiliki kedudukan nan lebih tinggi, maka diharapkan majikan dan raja memilki keluhuran hati.
Kata garwa (istri atau suami) bisa dijabarkan sebagai sigaraning nyawa (belahan nyawa/jiwa). Saat seorang menikah dan menjadikan orang lain sebagai suami atau istri, maka orang tersebut bukan lagi menjadi orang lain, melainkan sudah menjadi satu kesatuan nyawa. Karena merupakan kesatuan nyawa, maka setiap pasangan menikah harus hayati rukun dan tak boleh berpisah. Berpisah berarti pula kehilangan separuh dari nyawanya sendiri.
Dalam kerata basa, satu kata bisa memiliki penjabaran lebih dari satu. Kata siti bisa dijabarkan sebagi isi bulu bekti (isinya sembah sujud). Kata siti bisa pula berarti isine wong wafat (isinya ialah orang mati). Dalam bahasa Jawa, siti merupakan penyebutan lain dari tanah atau bumi. Jika orang meninggal, maka ia akan dikubur di dalam tanah, dengan demikian isi dari tanah/bumi ialah orang nan sudah mati.
Bentuk penjabaran kata dalam kerata basa tak ada nan baku. Penjabaran guru sebagai digugu lan ditiru merupakan bentuk populer saja. Guru bisa dijabarkan sebagai wagu tur saru (aneh dan saru/cabul), penjabaran ini bisa digunakan buat mensindir jika konduite guru justru aneh dan kurang ajar.Bentuk-bentuk penjabaran kata bisa dilakukan suka-suka sinkron dengan selera, asalkan penjabaran tersebut merujuk langsung pada kata nan dijabarkan.
Bermain kerata basa memerlukan kelincahan dan kreatifitas dalam mengolah kata. Agar bisa menjadi suatu kerata basa, penjabaran kata harus mengadung suku kata dari kata nan dijabarkan. Contoh dari kata guru. Jika dijbarkan menjadi digugu lan ditiru. Suku kata gu dan ru dalam kata guru, digunakan pada kata digugu dan kata ditiru. Pada kata kerikil, suku kata ke dan ri digunakan dalam kata keri, dan suku kata kil digunakan dalam kata sikil. Dalam penjabaran, semua kata dapat digunakan dan tak ada batasan, namun sebaiknya penjabaran tak terlalu panjang. Penjabaran kata paling tak mudah diucapkan dan dihafalkan.
Cangkriman
Cangkriman bisa diartikan sebagai tebak-tebakan dalam bahasa Jawa. Keunikan cangkriman ialah menggunakan kata-kata nan disusun hingga membentuk suatu analogi/pengandaian dari jawaban tebak-tebakan tersebut. Analogi nan dimaksud dalam cangkriman tak berarti suatu penalaran logis. Analogi dalam cangkriman merupakan suatu pengandaian dalam alam pikiran si pemberi tebak-tebakan , dan nan mendapat tebak-tebakan diharapkan ikut juga mengandaikan. Dalam cangkriman terjadi sebuah pengiriman pesan nan rumit. Suatu benda diandaikan mirip dengan sesuatu, dan sesuatu ini harus dipahami agar jawaban tebak-tebakan bisa ditemukan.
Contoh dari cangkriman adalah: pithik walik sobo kebon (ayam terbalik nan berada di kebun), mempunyai jawaban buah nanas. Buah nanas diandaikan seperti seekor ayam dalam posisi terbalik hingga ekornya menyembul ke atas. Sedangkan sobo kebon berarti ada di kebun atau huma pertanian. Pengadaian ini seperti ini memang tak logis, tak mungkin seekor ayam berposisi terbalik dengan kepala di bawah dan ekor di bagian atas. Namun pengandaian ini seolah-olah bisa terjadi di suatu huma kebun, dan ketika orang melihat buah nanas, seakan melihat seekor ayam nan sedang terbalik.
Contoh selanjutnya adalah: bapake udud, ibune njait, anake nangis (si bapak merokok, si ibu menjahit, sedangkan anak menangis keras). Jawaban dari cangkriman ini ialah kererta api. Lokomotif nan mengeluarkan asap diandaikan seperti seorang bapak nan sedang merokok. Gerbong-gerbong kereta nan berjajar tersambung diandaikan seperti dirangkai dan dijahit oleh si ibu. Sedangkan suara kereta nan keras meraung-raung diandaikan seperti seorang anak kecil nan menangis.
Adakalanya suatu cangkriman tak berupa pengandaian, namun langsung berupa suatu permasalahan. Contohnya adalah: yen dikethok malah tambah duwur (kalau dipotong malah tambah tinggi). Jawaban dari cangkriman ini ialah celana panjang. Jika celana panjang dipotong, maka celana tersebut akan semakin tinggi bagian tubuh nan terbuka. Tebak-tebakan seperti ini menggunakan kalimat nan langsung berparadok antar satu kata dengan kata nan lainnya.
Bermain cangkriman sama halnya dengan bermain tebak-tebakan, memerlukan kecerdasan, kadang sedikit memaksakan analogi, dan tentu pintar dalam mengolah kata. Bermain cangkriman tak memerlukan rumus khusus. Jika suatu benda bisa dianalogikan, maka cangkriman mudah dibuat.
Kerata Basa dan Cangkriman Bagi Orang Jawa
Sikap stereotip ialah orang nan tak dapat (atau tak sampai hati) buat mengutarakan suatu maksud secara terbuka dan gamblang (to the point). Suatu maksud nan ingin disampaikan sering dilambangkan dengan konduite tertentu. Contohnya ialah ketika seorang perempuan gadis meminta buat segera dinikahkan oleh orang tuanya, maka ia akan menambah garam terlalu banyak dalam kuliner agar rasa menjadi sangat asin. Orang tua si gadis diharapkan mengerti akan pesan tersebut.
Kerata basa dan cangkriman merupakan cara-cara unik dalam bermain-main dengan pesan. Kerata basa kata guru nan berarti digugu lan ditiru, merupakan cara masyarakat dalam menyampaikan asa pada seorang guru. Menyampaikan pesan seperti ini menjadi sangat halus dan terkesan tak menggurui, walau kadang mengandung juga sindirian-sindiran tertentu.
Kerata basa dan cangkriman dilakukan dalam dialog santai dan penuh canda, sepertinya memang buat mencairkan suasana dan juga buat memancing tawa. Namun permainan kata-kata bahasa Jawa tak selalu dilakukan dalam suasana nan santai. Sengkalan merupakan permainan kata-kata buat menerangkan angka tahun. Ada pula parikan nan berarti pantun dan peribahasa dalam bahasa Jawa. Klarifikasi tentang sengkalan dan parikan, mungkin bisa dilakukan di lain waktu.