Contoh Profil Tokoh Islam Liberal
Siapakah Siti Musdah Mulia? Hmm, bagi para akademisi tentu tak akan asing lagi. Beliau memang seorang pengajar di perguruan tinggi negeri Islam atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau merupakan sosok nan selalu di kaitkan dan disematkan sembarang sebagai tokoh Islam liberal , sematan nan sebenarnya lebih menyenangkan di untuk kontroversi mengapa kelompok tradisionalis salaf nan mencoba melakukan dekontruksi terhadap karya klasik, sebagai bagian dari upaya tajdid menyebut diri sebagai liberal, dan pada akhirnya lantas menjadi kontroversi di kalangan para tokoh agama Islam dan ulama.
Asal Mula Liberalisme Islam
Muslim progresif telah menghasilkan tubuh besar pemikiran liberal dalam Islam nan akarnya dapat di telusuri dari jejak jejak kenabian terdahulu. Karena Islam sebagaimana nan kita pahami sebagai suatu anggaran kepada manusia, memperkenalkan juga dua sisi, nan di namakan "halal" dan "haram". Bentukan nan pertama ialah nan di perkenankan buat di isi, di persilahkan di laksanakan. Dan mendapat petunjuknya nan jelas.
Dan bilamana tak terdapat petunjuk mengenai perihal itu, maka akan di lakukan semacam majlis penimbangan, nan akan mengukur sisi mudharat (kerugian nan dihasilkan) dengan kegunaan (keuntungan nan tampak). Para ulama berkelahi ide satu sama lain memutuskan apa nan di namakan halal dan haram. Setiap pendapat berbeda. Namun, kecenderungannya dapat di pisahkan menjadi jenis jenis ulama tertentu. Yang pertama ialah nan Salaf kepada ajaran Syariah tekstual, kedua mereka nan Salaf pada ajaran Maqoshid atau konstekstual.
Di antara keduanya, ada pihak nan berbeda, mereka ialah pihak progesif liberal, nan cenderung mempertanyakan akar dan landasan dari pendapat-pendapat. Bagi mereka, segala fiqh tentang haram dan halal, harus meninjau waktu pelaksanaan. Sekilas mereka cenderung pada maqoshid, namun dalam bentuk nan paling ekstrim, mencoba melakukan dekontruksi baik kepada teks maupun konteks. Merekalah pemuka dari liberalisme dalam Islam.
Bila merujuk pada Salafisme, kajian ini di mulakan dari gerakan sufisme nan berusaha mendekontruksi aqidah Islam, dan hanya mementingkan pendapat wahyu di bandingkan pendapat hadist. Bagi mereka Wahyu atau Aquran tak bisa dipalsukan, sementara hadist walau seketat apapun upaya menjaganya masih dapat di palsukan.
Progesif nan Kurang bisa Tempat
Sebagian orang menganggap Islam progresif dan liberal Islam sebagai dua gerakan nan berbeda . Dari metodologi mereka dalam melakukan reformasi ajaran bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok, satu tergantung pada menafsirkan ulang teks-teks tradisional nan merupakan hukum Islam (ijtihad); ini bervariasi secara luas dari defleksi kecil dari penafsiran tradisional, dengan lebih liberal nan menganggap hanya Al-Qur'an sebagai satu satunya inspirasi ilahi, sementara kata-kata diyakini dari nabi Muhammad dimaksudkan olehnya sinkron dengan waktu dan situasi, oleh sebab itu mereka cenderung menafsirkan teks keagamaan nan bermasalah di zaman modern secara alegoris atau bahkan tak mempertimbangkannya.
Para intelektual Muslim liberal nan fokus pada reformasi keagamaan termasuk diantaranya, Muhammad Ali, Sayyid al-Qimni, Nasr Abu Zayd, Abdolkarim Soroush, Muhammad Arkoun, Mohammed Shahrour, Ahmed Subhy Mansour, Edip Yuksel, Gamal al-Banna, Abdullahi Ahmed An -Na'im, Ahmed Al-Gubbanchi, Mahmoud Mohammed Taha, dan Faraj Faudah, dua nama terakhir di hukum wafat sebab tudingan dan klaim kemurtadan nan sebagian besar dari mereka kena tuduhan para sarjana tekstual.
Beberapa Muslim liberal mengklaim bahwa mereka akan kembali ke prinsip-prinsip umat awal dan buat maksud etika dan pluralistik kitab kudus mereka, Al-Qur'an. Mereka menjauhkan diri dari beberapa interpretasi tradisional dan kurang liberal hukum Islam, sebab mereka pertimbangkan buat budaya didasarkan dan tanpa diterapkan secara universal. Gerakan reformasi menggunakan monoteisme (tauhid) "sebagai prinsip pengorganisasian bagi masyarakat manusia dan dasar pengetahuan agama, sejarah, metafisika, estetika, dan etika, serta tatanan sosial, ekonomi dan dunia." Dan bahkan membentuk jaringan dan daya sosial sendiri, di Indonesia di wakili oleh sarjana muslim nan mempelajari metode ilmiah di kampus IAIN atau STAIN. Kebanyakan dari mereka merupakan profil resmi nan tumbuh dari pergumulan pemikiran tentang Islam dan Keindonesiaan.
Tokoh Islam Liberal di Indonesia antara lain meliputi ragam generasi kampus Islam, seperti Azyumardi Azra, Alwi Shihab, Ahmad Sahal, Komaruddin Hidayat, Siti Musdah Mulia, dan banyak lainnya, penulis hanya menuliskan beberapa dari mereka nan keilmuan Islamnya di akui. Sayang. Gagasan kampus ini kurang populer di masyarakat nan paternalistik dan masih feodal di Indonesia, oleh sebab itulah penerimaan Islam 'liberal' begitu jelek di sini. Di sisi lain, kelompok Islam progesif, tak begitu intens menyebarkan pemahamannya, sebab memiliki prinsip, muridhan atau "yang berkehendak", maksudnya, ilmu agama tanggungjawabnya besar, harus di kejar oleh nan sungguh sungguh menginginkannya. Dan bukan di sebarkan kepada mereka nan belum matang dan setengah-setengah.
Contoh Profil Tokoh Islam Liberal
Mengenal tokoh Islam Liberal di Indonesia itu mudah. Kebanyakan dari mereka ialah lulusan perguruan tinggi Islam, dan telah mempelajari keilmuan Islam dengan kritis. Oposisi dari ulama nan cenderung liberal, ialah mereka nan sekolah di Ma'had, atau perguruan tinggi setengah resmi nan kelulusannya berbeda jalur dari sekolah Islam negeri.
Kita ambil contoh Ibu Situ Musdah Mulia. Beliau memiliki nama lengkap Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA. Aktivis liberal ini lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Beliau menamatkan pendidikan sarjananya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar pada 1982, dan program pascasarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1992 dan 1997. Selain menjadi pengajar, beliau aktif sebagai peneliti, konselor, penulis dan aktivis perempuan (feminis) Muslim ternama di Asia.
Perhatiannya pada permasalahan perempuan memutuskan dirinya buat bergabung di Forum Kajian Agama dan Jender (LKAJ), serta aktif juga di forum ICRP atau Indonesian Conference on Religion and Peace, dan forum swadaya masyarakat lainnya. Beliau juga pernah menjabat sebagai pakar peneliti primer bidang Lektur Keagamaan di Badan Penelitian dan Pengembangan Agama di Departemen Agama Republik Indonesia.
Siti Musdah Mulia juga menjalani pendidikan non formal antara lain di Universitas Melbourne, Australia, mengenai Islam dan civil society pada 1998.. Buku-buku nan pernah beliau tulis antara lain berjudul Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Mizan, 2005), Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Kibar, 2007), Poligami: Budaya Bisu nan Merendahkan Prestise Perempuan (Kibar, 2007), dan judu-judul lainya.
Selain itu beliau juga pernah mendapatkan penghargaan dari Yap Thiam Hie Award pada 2008, dan meraih penghargaan Women of the Year 2009 dari Il Premio Internazionale La Donna Dell 'Anno (International Prize for the Woman of the Year) 2009 di Italia.
Benturan dengan Tekstualis
Di antara pernyataannya nan dianggap berbeda dari pandangan default selama ini yaitu, ia menyatakan bahwa Islam mengakui homoseksualitas (tentu saja ungkapan mengakui ini bukan dalam artian membenarkan). Dengan mengutip dalil dari ayat Alquran, ia dengan gamblang membela dan memperjuangkan hak-hak kaum gay dan lesbian. Ia pun menuntut agar UU Perkawinan segera direvisi, agar kaum gay dan lesbian nan minoritas dapat melegalkan interaksi perkawinannya di hadapan hukum dan tak perlu risi lagi dengan cacat negatif di masyarakat.
Pernyataan ini menuai kontroversi dari kalangan tokoh agama dan para ulama, salah satunya ialah dari wakil ketua MUI, Amir Syarifuddin. Karena, pernyataan ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Demikianlah profil singkat tentang Siti Musdah Mulia, citra tokoh Islam liberal nan menjadi kontroversi di kalangan para tokoh agama Islam dan ulama. Semoga bermanfaat.