Imam Ghazali - Ekuilibrium Ilmu (Dunia dan Akhirat)

Imam Ghazali - Ekuilibrium Ilmu (Dunia dan Akhirat)

Imam Al-Ghazali atau dikenal dengan Imam Ghazali lahir dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M. Beliau lahir di Ghazalah. Suatu kota kecil nan terlelak di Thus wilayah Khurasah. Yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di global Islam.

Beliau terkenal sebagai Hujjatul Islam (argumentator Islam) sebab jasanya nan besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bid'ah dan genre rasionalisme yunani nan merupakan ancaman bagi kekuatan spritualitas agama.

Ayahnya ialah seorang pengrajin wol nan saleh, sekaligus pedagang hasil buah tangannya tersebut. Ayahnya memiliki semangat keagamaan nan tinggi. Hal ini terlihat pada kekaguman dan rasa simpatiknya terhadap ulama. Ayahnya menginginkan agar suatu kelak nanti anaknya (Imam Ghazali) menjadi ulama. Sehingga sebelum ayahnya meninggal, Imam Ghazali dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, seorang pakar tasawuf agar mendapatkan bimbingan dan pendidikan.

Pengembaraan Imam Ghazali buat memperoleh ilmu dimulai dari tanah kelahirannya sendiri. Dimuali dari orang nan paling dekat dengannya, yakni ayahnya. Beliau belajar Al-Quran dan dasar-dasar ilmu keagamaan nan lain. Kemudian, beliau mulai belajar dasar-dasar pengetahuan di Thus.

Setelah Imam Ghazali dan saudaranya belajar pada teman ayahnya, dan ketika teman ayahnya sudah tak mampu memenuhi kebutuhan intelektual dari kedua muridnya ini, beliau menganjurkan keduanya buat masuk sekolah. Agar mendapatkan ilmu lain selain ilmu pengetahuan saja. Di sana, Al Ghazali mempelajari pokok-pokok Islam, yakni Al-Quran dan hadits nabi.

Di antara kitab-kitab nan beliau pelajari ialah sebagai berikut:

  1. Shahih Bukhori, beliau mempelajarinya dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshib.
  2. Sunan Abi Daud, nan dipelajari dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimic.
  3. Maulid An Nabi, nan dipelajari dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawanid.
  4. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, belajar dari Abu Al Fatyan 'Umar Al Ru'asai.

Imam Ghazali merupakan intelektual besar nan memiliki kemampuan di bidang keagamaan, filsafat , maupun pemikiran nan lain. Namun, dampak kemampuannya nan multidimensional ini, tidak sporadis Imam Ghazali mendapat kecaman, baik nan ditujukan pada karyanya, maupun terhadap dirinya. Seperti kecaman nan disampaikan oleh Abu Bakar Al Thurthusi:

"Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya' dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya tak tahu ada kitab di muka bumi ini nan lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka ialah kaum nan memandang kenabian merupakan sesuatu nan bisa diusahakan." (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 19/334).

Antara tahun 465-470 H Imam Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar nan lain dari Ahmad Al-Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di loka kelahirannya itu, beliau mengkaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf Al Nassaj. Pada tahun itu Imam Ghazali berkenalan dengan Al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq.

Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, Imam Ghazali menjadi pembahas paling pintar di zamannya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya. Imam Ghazali ialah seorang murid nan taat dan setia kepada gurunya. Kemashuran tak membuatnya lupa pada gurunya. Hal ini terlihat ketika beliau menemani gurunya, Al-Juwaini sampai akhir hayatnya.



Konsep Ilmu Imam Ghazali

Dalam membaca karya Imam Ghazali, selain dibutuhkan pemahaman tentang tasawuf, juga harus membekali diri dengan pemahaman ilmiah. Hal ini buat mengusahakan terciptanya suatu ekuilibrium dalam mempelajari sebuah ilmu agama (akhirat) dan ilmiah (dunia). Anjuran buat menjaga ekuilibrium antara global dan akhirat juga pernah disabdakan Rasulullah SAW. Sabda Rasulullah nan dinukil dari kompendium kitab Ihya' Ulumiddin karya Al Ghazali:

"Manusia nan paling dekat pada derajat kenabian yaitu pakar ilmu dan jihad. Pakar ilmu adalah orang nan memiliki ilmu dan mampu membeberkan petunjuk tentang kebaikan kepada umat. Sedangkan jihad adalah orang nan membela agama, baik dengan gagasan ataupun angkat senjata."

Imam Ghazali berpendapat bahwa seluruh ilmu sebenarnya ialah baik. Namun, sebab penggunannya nan salah maka ilmu tersebut menjadi tercela. Untuk melindungi ilmu pengetahuan dari polusi sifat-sifat tercela ini maka sebaiknya kita melihat bagaimana konsep epistemologis Islam menurut Imam Ghazali.

Pokok pemikiran Imam Ghazali tentang ilmu dibedakan menjadi dua, yakni: fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Fardhu 'ain adalah ilmu nan wajib dicari oleh setiap manusia. Ilmu ini berkenaan dengan ilmu agama Islam dan bersifat mengikat. Ilmu ini wajib dimiliki setiap individu. Misalnya, ilmu agama dengan segala cabangnya.

Fardhu kifayah ialah ilmu nan tak wajib dimiliki oleh setiap individu. Namun, ilmu ini wajib dimiliki oleh salah seorang individu dalam suatu masyarakat buat menjaga kepunahannya. Sebab ilmu ini memiliki kegunaan nan cukup besar bagi kemaslahatan umat manusia.

Yang termasuk ilmu ini ialah ilmu kedokteran, ilmu matematika, ilmu perdagangan, dan sebagainya. Ilmu kedokteran bermanfaat buat kesehatan manusia. Ilmu matematika bermanfaat buat membagi warisan. Ilmu perdagangan bermanfaat dalam upaya mencari nafkah bagi keluarga dengan cara berdagang.

Dilihat dari dimensi lain - ilmu fardhu 'ain - ilmu mengenai perbuatan-perbuatan nan wajib dilaksanakan sebelum melaksanakan sesuatu lebih jauh lagi. Misalnya, orang nan akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih tentang perniagaan. Seperti barang apa saja nan boleh dijual, apakah perdagangan itu mengandung riba atau tidak, dan lain-lain. Sehingga ilmu-ilmu fardhu kifayah itu menjadi wajib, ketika sudah benar-benar tercebur di dalamnya.

Fardhu 'ain merupakan dasar dalam memiliki ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketika ilmu-ilmu fardhu 'ain telah kokoh, maka barulah mendalami ilmu fardhu kifayah. Sehingga ketika ilmu agama telah kokoh dan fundamental dalam diri manusia, barulah sebaiknya ia mempelajari ilmu kedokteran, ekonomi, politik, matematika, dan sebagainya. Atas dasar inilah, tampaknya Imam Ghazali berpikir ala filosof dengan substansial pemikiran teosofi.



Imam Ghazali - Ekuilibrium Ilmu (Dunia dan Akhirat)

Ketika membaca pemikiran Imam Ghazali mengenai ilmu, kita akan merasakan suatu ekuilibrium nan serasi antara kehidupan dunia-akhirat, fiqih-tasawuf, mistisisme-rasionalisme. Melalui sistem pembagiannya tentang ilmu-ilmu nan termasuk fardhu 'ain dan fardhu kifayah, bisa meciptakan suatu keselarasan dalam hidup.

Bayangkan saja, ketika banyak ilmuwan mempunyai dasar nan kuat tentang agama maka kejeniusan otaknya tak akan digunakan buat menghancurkan dunia. Tapi malah sebaliknya, segala kecerdasannya akan digunakan buat kedamaian dan kesejahteraan umat di dunia. Tidakkah itu merupakan suatu nan indah?

Namun, jika kita bercermin pada empiris di Indonesia, maka cukup memperihatinkan ketika ekuilibrium ini tak terjaga dengan baik. Contoh kasus adalah banyaknya para calon mahasiswa nan lebih memilih fakultas kedokteran, ekonomi, dan ilmu-ilmu lain nan mampu menghasilkan banyak uang. Mereka kuliah bukan bertujuan buat mendapatkan ilmu, namun agar bisa mencari uang sebanyak-banyaknya.

Pemikiran seperti inilah nan sangat berbahaya. Ilmu-ilmu nan sejatinya luhur dapat menjadi tercela dan menakutkan ketika ilmuwan-ilmuwannya tak didasari ilmu fardhu 'ain nan kokoh. Jika dilihat dari kenyataan sosial, mungkin kejadian ini lumrah terjadi. Sebab gempuran modernisme begitu gencar menghantam negeri ini nan memang menuntut semua orang buat giat mencari uang.

Namun, masalahnya apa nan akan dilakukan ketika uang telah dimiliki? Apakah harta (uang) nan sudah dimiliki itu mampu digunakan kepada hal nan lebih bermanfaat atau malah sebaliknya? Dengan konsep ilmu fardhu a'in dan fardhu kifayah Imam Ghazali inilah, ekuilibrium di antara keduanya mampu tercipta. Ilmu-ilmu fardhu 'ain tersebut sebagai pengatur ego dari ilmu fardhu kifayah agar tak keluar dari batas-batas luhur keilmuan.