Perekonomian Indonesia di Zaman Kolonial
Kita bicara tentang sejarah perekonomian Indonesia . Bukan saat Indonesia resmi sebagai bangsa berdaulat pada 1945, tapi jauh sebelum itu. Masa ketika Indonesia masih disebut sebagai Nusantara. Ya, Nusantara. Suatu istilah nan digunakan buat menjabarkan keadaan wilayah Indonesia nan kebetulan berbentuk kepulauan dengan kriteria membentang dari Pulau Sumatera hingga Papua.
Perekonomian Indonesia dan Sejarahnya
Mulai dikenal pada abad ke-12 hingga ke-16 Masehi. Setelah itu, nama Nusantara meredup. Bangkit kembali pada awal abad ke-20. Adalah Ki Hajar Dewantara, tokoh konvoi kebangsaan nan menghidupkannya kembali. Sebagai tandingan nama Hindia-Belanda nan disematkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, tak buat 'nasib' perekonomian Indonesia atau Nusantara.
Sejak masyarakat Indonesia mulai mengenal kehidupan berdagang, perekonomian Indonesia terus mengilap. Tak tergerus dengan majemuk konfrontasi politik atau pun suksesi kekuasaan. Ini terbukti dari terkenalnya Nusantara sebagai wilayah nan menyediakan syahbandar (pelabuhan) bertaraf internasional.
Sebut saja syahbandar di Banten, Cirebon, Tuban, Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), Malaka, Goa, Talo, dan Banda. Syahbandar atau pelabuhan itu jadi patron perkembangan perekonomian Indonesia. Ratusan kapal-kapal dari berbagai bangsa, dipastikan melakukan aktivitas bongkar muat. Adapun komoditi nan laris manis ketika itu ialah bumbu-bumbu dan rempah-rempah. Dan Nusantara ialah surganya.
Namun, kondisi tersebut bagaikan pisau bermata dua. Perekonomian Indonesia memang jadi primadona, tapi ia juga jadi pengundang bangsa lain buat menginvasi Nusantara. Perang dan perebutan kemerdekaan pun jadi cerita nan menghiasi sejarah bangsa ini.
Tercatat sejak zaman raja-raja, pemerintahan kolonial, perebutan dan mempertahankan kemerdekaan, hingga masa kini, perekonomian Indonesia jadi salah satu aktor utamanya. Yaitu nan menyebabkan, memengaruhi, dan memotivasi terjadinya setiap peristiwa besar di masyarakat.
Selain itu, perekonomian Indonesia sejak dulu hingga kini, tidak pernah berpihak pada rakyat kecil (wong alit). Mereka (rakyat kecil) selalu ada di kelas sosial terendah. Siapa pun nan memegang tampuk kekuasaan (pribumi atau bangsa asing), tetap saja kondisi kehidupan mereka tidak pernah beranjak dari kepapaan.
Ironis memang. Kejayaan perekonomian Indonesia nan dapat kita bagi menjadi empat masa tersebut, tidak memberikan pengaruh positif apa pun bagi mereka.
Perekonomian Indonesia di Zaman Raja-raja
Walaupun belum ada pakar sejarah nan sepakat kapan dimulainya kejayaan perekonomian Indonesia di masa ini, namun ada satu karakteristik nan jelas. Karakteristik itu ialah munculnya suatu imperium kerajaan. Dua imperium kerajaan nan paling terkenal ialah Sriwijaya dan Majapahit di masa kerajaan Hindu dan Budha, dan Demak serta Banten di masa kerajaan Islam.
Walaupun sebelum itu, perekonomian Indonesia juga sudah menggeliat. Letak geografis Indonesia nan sangat strategis, jadi faktor utamanya. Dihimpit oleh dua benua, Asia dan Eropa dan dua samudra, Pasifik dan Hindia, jadi berkah tersendiri. Posisi ini membuat kepulauan Nusantara menjadi jalur pelayaran niaga antarbenua. Perdagangan dari peradaban-peradaban besar saat itu seperti Cina, Romawi, Mesir membangkitkan insting dagang para penduduk pribumi.
Bermunculanlah kota-kota nan memiliki pelabuhan. Dari kota pelabuhan ini kemudian berkembang menjadi kota pemerintahan dengan raja sebagai kepala pemerintahannya. Untuk menunjang pesatnya perekonomian Indonesia saat itu, penggunaan uang berupa koin emas dan perak mulai diperkenalkan. Terutama ketika masa kerajaan-kerajaan Islam, pemakaian uang dalam aktivitas perdagangan semakin familiar.
Apalagi kegemilangan suatu negeri ketika itu diukur dari luasnya wilayah nan dimiliki, penghasilan per tahun, dan ramai atau banyaknya kapal nan berlabuh di pelabuhan. Ini semakin memacu kota dengan pelabuhan besar berpotensi buat jadi pusat perekonomian maupun pemerintahan.
Perekonomian Indonesia pun semakin bersinar dengan ditemukannya beberapa komoditi global nan punya nilai jual tinggi. Komoditi berupa rempah-rempah tersebut jadi magnet bagi pedagang di seluruh global (khususnya Eropa) buat bertandang ke Indonesia. Di kemudian hari, faktor ini menjadi karena primer bangsa-bangsa Eropa buat menjajah nusantara.
Perekonomian Indonesia di Zaman Kolonial
Berbicang mengenai perekonomian Indonesia di zaman kolonial, niscaya tidak lepas dari keberadaan VOC. Memang sebelum hadirnya VOC, beberapa kongsi dagang dari negara Spanyol dan Portugal telah berebut menguasai jalur perdagangan Nusantara. Tapi, dari kompetisi di antara mereka, VOC keluar sebagai pemenangnya.
Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC nan berdiri pada 20 Maret 1602 sejatinya hanyalah perusahaan Belanda. Namun, perusahaan ini memiliki hak memonopoli perekonomian Indonesia. Hak-hak istimewa nan dimiliki VOC setara dengan kekuasaan sebuah negara. Hak-hak itu (hak Octrooi) meliputi:
- Hak mencetak uang.
- Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
- Hak menyatakan perang dan damai.
- Hak membuat angkatan bersenjata sendiri.
- Hak membuat perjanjian dengan raja-raja.
Mencermati hak Octrooi tersebut, kentara sekali jika VOC bisa disebut sebagai sebuah negara walaupun ia berbentuk perusahaan. Bagi rakyat Indonesia pada zaman itu, lebih mengenal VOC dengan sebutan Kompeni atau Kumpeni. Simbol dari kerakusan penjajah dalam mengeruk kekayaan dan potensi perekonomian Indonesia. Menumbuhkan benih-benih kebencian nan akhirnya berbuah perlawanan menentang VOC.
Karena meluasnya perlawanan melawan VOC, di samping juga disebabkan faktor korupsi internal dan buruknya manajemen, berakibat bangkrutnya VOC pada 1795. VOC diambil-alih oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek), perpanjangan tangan dari pemerintahan kerajaan Belanda. Tapi, ini tidak berusia lama. Belum sempat republik Bataaf memulihkan perekonomian Indonesia nan carut-marut, kerajaan Inggris mengambil alih pada 1811-1816.
Walaupun tidak begitu lama, pada masa kolonial Inggris, perekonomian Indonesia mengenal pemberlakuan Landrent (pajak tanah) dan Cultuurstelstel (sistem tanam paksa). Sebagaimana lazimnya karakter penjajah, kedua sistem ini hanya mendatangkan kesengsaraan tidak bertepi bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Hal nan serupa juga terjadi ketika Jepang (1942) mengalahkan Belanda, nan setelah Inggris angkat kaki dari Nusantara, kembali menguasai Indonesia. Jepang nan awalnya merupakan asa baru bagi bangkitnya perekonomian Indonesia, justru setali tiga uang dengan penjajah-penjajah sebelumnya. Kemiskinan merajalela. Begitu pun kebodohan.
Perekonomian Indonesia di Zaman Kemerdekaan
Ketika proklamasi pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan, harapan buat menjadi bangsa besar lepas dari penjajahan begitu kentara. Meskipun perekonomian Indonesia saat itu amatlah jelek sebab taraf inflasi nan tinggi, bangsa Indonesia mulai membangun perekonomiannya.
Kebijakan pertama dalam perekonomian Indonesia nan dilakukan buat menekan inflasi ialah menerbitkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang pada Oktober 1946. Kebijakan-kebijakan berikutnya berupa privatisasi badan-badan usaha milik Belanda/Jepang menjadi milik Indonesia.
Selanjutnya, paras perekonomian Indonesia berubah-ubah sering dengan pandangan politik pemerintah Indonesia. Mulai dari sistem ekonomi liberal (1950-1957), etatisme (segalanya diatur oleh pemerintah) pada 1959-1967, ekonomi campuran dalam payung sistem ekonomi demokrasi pancasila (masa orde baru), hingga berujung pada krisis ekonomi pada 1998.
Tantangan Perekonomian Indonesia Saat Ini
Kini, bangsa Indonesia boleh bernafas lega sebab mampu lepas dari krisis ekonomi pada 1998 lalu. Krisis nan awalnya berupa krisis moneter tersebut, meluas menjadi krisis di segala aspek kehidupan bangsa. Bahkan sebab krisis tersebut, pemerintahan Soeharto (Orde Baru) nan telah berkuasa selama 32 tahun, harus terjungkal. Perekonomian Indonesia nan sempat mengalami kelesuan parah (depresi ekonomi), mulai bangkit.
Pada awal 2012 ini, taraf perekonomian Indonesia menunjukkan tren meningkat. Walaupun masih dibayang-bayangi taraf utang luar negeri nan tinggi, dan korupsi nan masih merajalela, namun optimisme harus tetap dikedepankan. Ketika pemerintah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal terakhir 2011 mencapai 6,5 persen dan pertumbuhan paling tinggi di kawasan Asia Tenggara, jadi frekuwensi positif bangkitnya perekonomian Indonesia.
Sebelum krisis terjadi, perekonomian Indonesia memang bertumbuh sangat pesat. Dilihat dari pendapatan per kapita meningkat dua kali lipat antara 1990 dan 1997. Hal ini pun didukung dengan kebijakan moneter nan stabil, taraf inflasi dan kembang nan rendah, taraf perkembangan nilai tukar mata uang nan terkendali rendah, dan APBN berimbang.
Benar-benar suatu kondisi nan ideal. Mampukah bangsa Indonesia dengan mengusung perekonomian Indonesia kembali ke kondisi ideal tersebut? Niscaya dapat sepanjang pemerintah selalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Bukan pada kepentingan pemilik kapital atau elit tertentu.