Tipu-tipu Demokrasi Orde Baru
Dewasa ini, demokrasi menjadi topik pembicaraan nan dianggap krusial buat didiskusikan. Bahkan sebagian orang menganggap hal itu perlu diperjuangkan. Sebelum lebih jauh mengulas demokrasi, agaknya kita perlu mengetahui tentang demokrasi itu sendiri. Apa itu demokrasi? Bagaimana dengan demokrasi Orde Baru ?
Demokrasi berasal dari kata latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jika melihat konsep demokrasi , terdapat kurang lebih 5 inti atau poin dalam demokrasi. Pertama, demokrasi diasosiasikan sebagai pemerintahan rakyat sehingga slogan pemerintahan dari, oleh, dan buat rakyat selalu identik dengan demokrasi.
Ke-dua, substansi demokrasi ialah kedaulatan di tangan rakyat dimana rakyat nan membuat hukum buat mengatur kehidupannya. Ke-tiga, klaim demokrasi menyatakan segala keputusan hukum didasarkan pada suara mayoritas.
Ke-empat, salah satu indikator aplikasi demokrasi ialah terjaminnya hak-hak politik (kebebasan berorganisasi, mencalonkan diri ataupun memilih calon pemerintah, dan sebagainya) dan hak sipil (kebebasan dan independensi media, kebebasan bicara dan ekspresi, persamaan di bawah hukum , bebas dari diskriminatif, dan konservasi dari teror politik).
Ke-lima, terdapat 4 prinsip dalam demokrasi yaitu kebebasan berpendapat, berekspresi, beragama, dan kepemilikan. Bisa dikatakan demokrasi telah dirintis di Indonesia sejak merdeka. Lalu, bagaimana prakteknya terutama demokrasi Orde Baru?
Demokrasi dan Pemilu
Pemilu lebih sering disebut sebagai pesta demokrasi. Tujuan pemilu sebenarnya ialah membentuk representative government atau pemerintahan nan representatif dan benar-benar mewakili rakyat. Saat pemilu inilah, rakyat memiliki bargaining position nan kuat dengan para elit politik. Maka, tak sporadis para elit akan turun langsung menghadap rakyat menjelang datangnya pemilu. Hal ini dikarenakan karir atau bahkan hayati mereka sangat bergantung pada rakyat. Tujuan ini tentu termasuk poin pertama dalam demokrasi.
Dalam pemilu, rakyat juga tak sekedar memilih para wakilnya di pemerintahan. Lebih krusial lagi, rakyat mendapat kesempatan mengutarakan aspirasinya. Jika pemilu dilaksanakan beberapa kali (lima tahun sekali) maka pemilu memiliki tujuan tambahan, yaitu mengontrol dan mengoreksi jalannya pemerintahan. Maka, di dalam pemilu seperti itu setidaknya mengandung poin pertama, ke-empat, dan ke-lima dari demokrasi.
Pertanyaannya, apakah ketiga poin tersebut benar-benar terlaksana ketika demokrasi Orde Baru?
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia telah melaksanakan 4 kali pemilu. Pemilu pertama, 1971, diwarnai dengan kemunculan peranturan pemerintah antara lain Pemendagri No. 12/1969 dan Floating Mass. Peraturan ini bertujuan buat mengamankan perolehan suara partai kesayangan Orde Baru, Golkar.
Pemilu 1971 tentu menghadapi banyak kritik sebab terlihat begitu besarnya hegemoni pemerintah. Namun, kritik bagi pemerintah saat itu hanya dianggap angin lalu saja. Inilah awal kemunculan golput (golongan putih / netral) sebagai alternatif dalam pemilu Indonesia.
Pemilu kedua, 1977, pemerintah putar haluan dengan melakukan hegemoni tetapi secara tak langsung. Hegemoni ini diarahkan pada pengaturan partai politik. Buktinya, pemilu 1977 ditandai dengan menurunya jumlah OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Jumlah OPP tahun 1971 sebanyak 10 menjadi 3 di tahun 1977, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Partai divonis pemerintah sebagai penyebab ketidakstabilan politik.
Sebagai kelanjutannya, tahun 1977-1973 terjadi gabugan partai. Penyerdehanaan kehidupan partai ini diatur dengan Tap. XXII/MPRS/1966 dan ditegaskan dengan Tap. XXII/MPRS/1973. Penyederhanaan partai ini mengakibatkan kuantitas konflik antar partai menurun dan kualitas konflik intern partai-partai nan melakukan gabugan mengalami peningkatan.
Intinya, pemerintah mendorong konflik intern antar partai nan melakukan fusi. Buktinya, semakin kalutnya kerjasama partai-partai islam di PPP. Lebih jauh lagi, hal ini diartikan sebagai jalan pemerintah mengamankan perolehan suara Golkar. Bagaimana tidak? Konflik intern di PPP dan PDI tentu akan mengakibatkan kedua partai ini tak siap berkompetisi dengan Golkar di pemilu. Sejak 1977, hegemoni pemerintah dalam pesta demokrasi dilakukan secara tak langsung.
Pada proses pemilu ketiga, 1982, hegemoni pemerintah kepada partai politik dilakukan secara tak langsung, yakni dengan menciptakan suasana nan bisa mempersempit ruang mobilitas partai. Caranya ialah menetapkan bahwa Pancasila harus menjadi asas bagi orpol dan ormas.
Hal ini persis dengan wacana DPR nan pernah memuncak di tahun 2013. Wacana nan menetapkan Pancasila sebagai asas dan ideologi ormas tertuang pada draft RUU Ormas. Untungnya, wacana nan banyak dikritik itu belum jadi disahkan sebab banyak diprotes oleh ormas-ormas di Indonesia.
Yang menarik dari jelang aplikasi pemilu 1987 ialah pengumpulan pendapat nan dilakukan TEMPO (2 Mei 1987). Hasil pengumpulan pendapat itu menunjukkan bahwa pencerahan politik rakyat Indonesia semakin tumbuh. Hal ini ditandai dengan perubahan pola suara pemilih.
Jika sebelumnya pola suara pemilih umat Islam seperti NU akan mengarah pada PPP. Maka, saat itu ketika aspirasi orang NU tak tertampung pada PPP maka dia beralih ke PDI atau Golkar. Sebaliknya, ada PNS nan suaranya semula kepada Golkar tetapi setelah pensiun balik kandang ke PDI. Atau ada pula anak muda nan berani berbeda suara dengan orang tuanya. Hal ini ditafsirkan sebagai proses demokratisasi ketika Orba. Benarkah seperti ini?
Penelitian proses demokratisasi pun dilakukan oleh Fisipol UGM. Data nan digunakan ialah hasil pemilu 1977 s/d 1987. Asumsinya jika Pemilu dilaksanakan semakin demokratis maka OPP tentu semakin kompetitif . Jumlah maksimal suara 1 kabupaten ialah 100% dengan 3 OPP. Jika pemilu demokratis maka masing-masing OPP memiliki peluang 33,33%.
Namun, sejak 1977, Golkar selalu mendapat suara 60%. Jika demikian, maka PDI dan PPP akan mendapat jatah suara masing-masing 20% (40% : 2). Jika pada pemilu 1987, Golkar mendapat suara sebanyak 70% maka PDI dan PPP mendapatkan suara rata-rata 15%.
Jadi, ketentuan batas suara buat sebuah partai nan bisa berkompetisi ialah 15%. Ketentuannya kemudian ialah ‘kompetisi antar partai tinggi’ dinilai 3 jika masing-masing partai mendapatkan suara minimal 15%, ‘kompetisi antar partai sedang’ dinilai 2 jika hanya 2 partai nan mendapatkan suara minimal 15%. Terakhir, nilai 1 sebab tak ada kompetisi di OPP sebab OPP lain tak mendapatkan suara minimal 15% (batas buat berkompetisi). Ini ialah cara ukur sederhana. Sekarang kita lihat faktanya.
Hasil perhitungan statistik menunjukkan mean pemilu 1977-1987 ialah 1,91, 1,77, dan 1,59. Pada pemilu 1977, kompetisi OPP dinilai lumayan sebab mendekati 2. Sedangkan pada pemilu berikutnya terlihat kompetisi terus menurun. Dengan kata lain, semakin tak demokratisnya pemilu di Orde Baru. Mengapa hal ini terjadi? Setidaknya ada dua faktor: yaitu jeda spasial dan taraf birokrasi di daerah rural lebih kuat ketimbang di daerah urban. Hal inilah nan terlihat di Orde Baru. Dimana terdapat 1 partai nan mendominasi selama puluhan tahun.
Dominasi 1 partai ini terjadi sebab partai identik dengan birokrasi. Akibatnya, rakyat bingung membedakan apakah tokoh di pemerintahan itu sebagai birokrat atau partai? Inilah kunci dari ketidakkompetitifan dari partai-partai saat Orde Baru. Birokrasi identik dengan Golkar sehingga seolah-olah aktivitas birokrasi ialah kampanye Golkar. Jadi, Golkar dapat berkampanye sepanjang tahun. Demokratiskah ini?
Pada intinya, rakyat tak mendapat kesempatan buat menyuarakan aspirasinya sebab hegemoni pemerintah dalam pemilu, baik hegemoni tersebut secara langsung maupun tak langsung. Pemilu nan dilakukan beberapa kali pun tak berjalan sinkron fungsinya yakni buat mengoreksi pemerintah. Hal ini terlihat dari kontrol pemerintah terhadap pemilu sehingga tokoh atau partai itu saja nan berkuasa selama puluhan tahun.
Maka, poin pertama demokrasi tak terlihat pada praktek pesta demokrasi di Orde Baru. Poin ke-empat demokrasi nan mengatur hak-hak politik dan sipil juga dikebiri dengan penyerdehanaan partai ketika Orba. Rakyat dipaksa buat memilih partai nan sudah disediakan oleh pemerintah yaitu 3 OPP saja. Tentu ini mencederai kebebasan dalam berorganisasi sebab tak ada agunan 3 OPP itu mampu menampung aspirasi rakyat.
Poin ke-lima demokrasi juga masih belum bisa menjamin kebebasan rakyat terutama dalam hak berpendapat. Kita tentu tak lupa bagaimana cara pemerintah Orba buat membungkam kritik masyarakat.
Penjara atau tahanan politik akan inheren pada siapa saja nan berani mengkritik pemerintah sekalipun itu penyair nan mendendangkan lagu kritik kepada penguasa. Demokrasi Orde Baru hanya tipu-tipu. Jika pesta demokrasi saja mampu diintervensi maka adakah agunan poin demokrasi lainnya bisa terlaksana?
Tipu-tipu Demokrasi Orde Baru
Orde Baru lahir dari situasi darurat, krisis, dan konflik nan sangat tinggi. Kekuasaan bukan diperoleh melalui rakyat tetapi proses nan dikenal dengan perebutan kekuasaan konstitusional. Suatu pemilu nan terbuka, nan tak diskriminasi, dan tak memuat intimidasi, tak pernah terjadi pada masa Orde Baru.
Pemilu era Orde Baru tak menjadi kompetisi terbuka dan kesempatan bagi rakyat buat memilih. Namun sebaliknya, pemilu dikendalikan oleh kekuasaan. Alat buat memperkuat jiwa Orde Baru limat tahun berikutnya.
Penguasa Orde Baru juga selalu menaruh curiga kepada rakyat. Hal ini terlihat dari restriksi aktivitas rakyat. Intinya, kalau berkata-kata nan dianggap mencederai pemerintahan maka dipastikan rakyat akan masuk penjara. Apa maknanya? Tidak lain hal ini sebagai proses penghancuran sikap kritis, partisipatif, dan demokratis.
Orde Baru memang pemerintahan nan berjalan di atas hukum. Hukum nan sebenarnya ialah dasar bagi pemerintahan buat melakukan apa nan boleh dilakukan dan tak melakukan apa nan tak boleh dilakukan. Bahkan jika mengacu pada poin kedua demokrasi dimana rakyat memiliki kedaulatan buat membuat hukum. Maka logikanya, hukum nan dibuat bisa menjadi kontrol efektif buat pemerintahan nan dipilih rakyat.
Namun, hukum pada masa Orde Baru dijadikan legitimasi buat melanggengkan kekuasaan. Hasilnya, rakyat takut berurusan dengan aparat penegak hukum sebab apabila mereka berurusan dengan aparat dipastikan mereka pada posisi nan salah. Dengan kalimat nan sederhana, pemerintahan Orde Baru kebal terhadap hukum.
Para wakil rakyat seharusnya menjadi alat kontrol efektif bagi pemerintahan Orde Baru. Hal ini sebab tugas dan fungsi pembentukan mereka memang demikian. Namun nan terjadi justru para wakil rakyat menjadi orang-orang nan jauh dari rakyat.
Akibatnya berkembang sinisme di masyarakat bahwa wakil rakyat ialah 5D: datang, duduk, dengar. diam, duit. Protes masyarakat pun ditanggapi dengan moncong senjata aparat. Dimana aparat tak pernah salah dan tak mengenal supremasi sipil. Maka, bisakah pemerintahan Orde Baru dikatakah pemerintahan dari, oleh, dan buat rakyat?
Pelanggaran hak asasi manusia juga terjadi ketika era Orde Baru dimana tak adanya konservasi hak asasi manusia. Penguasa malah mengklaim Indonesia memiliki hukum tersendiri nan didasarkan pada kultur ketimuran. Namun, kita melihat bagaimana panjangnya daftar kekerasan nan dilakukan pemerintah Orde Baru kala itu. Maka, bisakah pemerintahan Orde Baru dikatakan pemerintahan nan menjamin kebebasan rakyat?
Jabaran praktek demokrasi ini bukan buat menjelek-jelekkan, menjatuhkan, atau mengkritik habis-habisan tanpa solusi. Toh , semuanya telah berlalu. Namun, ini semua buat membuka mata kita tentang bagaimana praktek demokrasi selama ini dijalankan dan bagaimana kita harus belajar tentang itu semua.
Lalu, ketika kita belajar mengenai demokrasi, kemanakah kita harus belajar ? Tentu saja ke negara-negara Barat, pengusung demokrasi. Tetapi banyak orang nan mengatakan bahwa pengusung demokrasi juga sangat tak demokratis.
Yang menarik ialah orang-orang Barat nan dikenal oleh orang-orang Timur sebagai para pengusung demokrasi bisa mengeluarkan kritiknya kepada demokrasi itu sendiri. Simaklah pendapat mereka tentang demokrasi.
Wiston Churchil mengeluarkan deklarasi, “ Democracy is worst possible form of government ”. Benyamin Constant, “Demokrasi membawa kita menuju jalan nan menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen” Bahkan jauh sebelum itu, para pemikir dan filsuf sekaliber Plato dan Aristoteles berpandangan bahwa demokrasi merupakan sistem berbahaya dan tak praktis.
Aristoteles menambahkan, “Pemerintahan nan didasarkan pada pilihan orang banyak bisa mudah dipengaruhi oleh para tiran dan akhirnya merosot menjadi kediktatoran."
Dunn (1979) dalam artikel politiknya menyebutkan bahwa apa nan dimaksud demokrasi pada prakteknya tak ada sangkut pautnya lagi dengan uraian suatu tipe tatanan kehidupan politik tertentu. Melainkan, demokrasi tak lebih dari suatu nama dari intensitas atau niat baik penguasa agar rakyat percaya bahwa mereka memiliki niat baik.
Sepertinya kita harus belajar banyak mengenai demokrasi kepada para pendahulu kita nan telah menjajal sistem tersebut dan ternyata berakhir dengan statement seperti itu. Tipu-tipu Orde Baru sudah terjadi. Jangan sampai tipu-tipu demokrasi juga terjadi.
.