Selebrasi Menjilat Tanah
Semenjak bersatunya etnis-etnis di Indonesia, dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928, dan semenjak resmi menjadi negara-bangsa, bangsa Indonesia itu masih mencari jati dirinya. Dengan budaya, suku, dan agama nan beraneka ragam, Indonesia disatukan dengan rasa nasionalisme dan kesatuan. Sumpah pemuda tersebut merupakan sumpah buat menjunjung nasionalisme seluruh rakyat Indonesia
Dalam teks proklamasi kemerdekaannya telah disebutkan bahwa, 'peralihan kekuasaan dan lain-lain' akan diselenggarakan, dengan saksama dan tempo singkat. Sudah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, 'dan lain-lain' itu masih bermasalah, terutama mengenai permasalahan seni dan budaya bangsa.
Para artis Indonesia terbagi dua. Yang tradisional dimotori oleh budayawan, Sanusi Pane. Sedangkan nan modern, dimotori oleh Sultan Takdir dan Chairil Anwar. Yang satu rasa kampung dan bau pohon pisang, satunya lagi rasa kota dan berbau asap knalpot. Yang terakhir nan memenangi pertarungan kebudayaan di Indonesia.
Membahas mengenai seni, tak lepas juga dari pembicaraan mengenai hiburan dan artis. Artis-artis Indonesia atau Indonesian seniman merupakan public figure nan bukan hanya ditonton, melainkan juga ditiru. Lebih dari itu, seniman Indonesia juga menjadi sosok nan dekat dengan seni dan budaya Indonesia. Lalu, pertanyaannya, apakah seniman Indonesia sekarang ini benar-benar memiliki suatu rasa dan karakteristik khas nan orisinil Indonesia?
Seniman Tradisional vs Artis Modern
Di Indonesia seniman-seniman tradisional masih mencari cara buat survive seraya mengadopsi teknologi, dari wayang, tari-tarian, musik, tarik suara, akting, dan sebagainnya. Sebagian sukses. Bahkan film dengan corak tradisional selalu mampu merangsek masuk ke festival film bergengsi semodel Cannes Film Festival di Perancis.
Beberapa film, masuk ke dalam seleksi Oscar, seperti Daun di Atas Bantal, tetapi belum ada nan cukup andal menggeser film dari negara lain. Bintang-bintangnya kurang dikenal oleh masyarakat, sebab jauh dari glamouritas dan gosip.
Artis nan modern mandek di tempat. Global musik modern, dengan peralatan band three piece , string, syth , dan perkusi, tak pernah maju-maju bahkan ada kesamaan mundur akhir-akhir ini, dikarena terlalu mendikte pasar dengan sasaran satu juta keping CD, dan musik nan melodinya seragam.
Beralih ke masalah global acting dan perfilman. Jika menonton film India, penonton akan dibawa pada suatu suasana nan sangat mencerminkan Hindustan. Suasana tersebut dibawa melalui dialog, pakaian, musik, hingga karakter nan menancap pada diri tokoh-tokohnya. Begitu pula dengan film-film Korea dan Jepang. Budaya mereka akan sangat tampak pada karakter film modern sekalipun.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Global akting modern, dengan tema-tema nan sebenarnya dapat dieksploitasi dari kehidupan orang Indonesia ternyata dikuasai oleh mereka dengan mindset India. Otomatis film protesis orang Indonesia tak pernah mencerminkan cita rasa Idonesia sendiri. Global teater modern, tak lagi melahirkan aktor hebat seperti Rendra, Adi Kurdi, sampai dengan Ratna Sarumpaet.
Penampilan dan Bahasa : Sebuah Cermin
Bisa jadi penampilan para seniman merupakan salah satu faktor primer nan menunjukkan image mereka. Pada dasarnya memang gaya berbusana menunjukkan jati diri manusaia nan menggunakannya. Lihat saja para seniman Korea. Meski menggunakan gaya baju modern, mereka akan terlihat seperti orang Korea. Atau justru India nan karakter berbusananya sangat khas. Meski menggunakan baju-baju modern, penampilan artis-artis tersebut tetap mencerminkan negara asalnya ke mata publik.
Terlepas dari persoalan mengenai global hiburan, tak bisa dipungkiri bahwa penampilan merupakan salah satu penanda budaya suatu masyarakat. Jaman dahulu, orang-orang dari Timur selalu mempertahankan gaya baju nan terkenal sopan dan tertutup. Sandang terbuka dianggap sebagai gaya busana orang Barat nan harus dihindari sebab tak sinkron dengan norma-norma di masyarakat.
Rupanya, keadaan tersebut sekarang dianggap kuno. Dengan adanya globalisasi, masyarakat Barat maupun Timur dapat mengekspresikan gaya melalui busana dan gaya berpakaian. Walaupun, kalangan masyarakat eksklusif ada nan tetap mempertahankan gaya busana orisinil mereka. Terlebih, buat kalangan masyarakat nan tak medapatkan akses informasi dan teknologi nan memadai.
Dalam global artis, penampilan menjadi salah satu hal nan disebut sebagai tuntutan profesi. Bahkan, dengan dalih tuntutan profesi, mereka biasa menggunakan gaya busana nan meniru negara lain. Mengapa harus meniru gaya busana dari negara lain? Apakah seniman Indonesia tak akan laku jika menggunakan gaya sendiri?
Memang tak semua seniman meniru gaya busana luar negeri, tetapi tidak sedikit juga mereka nan meniru gaya luar negeri agar tetap eksis. Bahkan, juga sebagai alasan buat Go Internasional . Apakah seniman nan ingin Go Internasional harus memiliki karakteristik khas kebarat-baratan buat disukai seluruh masyarakat internasional?
Siapa nan tidak kenal Anggun C Sasmi? Seniman orisinil Indonesia nan sudah berjaya di global internasional ini hingga detik inipun tetap mempertahankan karakteristik khas Indonesianya. Hal tersebut terlihat pada penampilannya dan karakter nan ia tampilkan baik di atas anjung maupun saat berada di sekeliling wartawan atau fansnya. Bahkan, karakteristik khas Indonesia itu menjadi salah satu faktor Anggun C Sasmi menjadi idola internasional nan tak ditinggalkan oleh fansnya dari Indonesia.
Selain gaya busana, penggunaan bahasa Indonesia juga menjadi salah satu indikator seniman nan benar-benar rasa Indonesia. Bukan berarti seorang seniman harus menggunakan bahasa Indonesia nan resmi dan formal. Bahasa Indonesia nan baik dan sahih maksudnya ialah bahasa Indonesia nan sinkron dengan kaidah dan situasi nan ada. Bahasa Indonesia nan keinggris-inggrisan tentu merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa nan tak lagi rasa Indonesia.
Selebrasi Menjilat Tanah
Yang tersisa dari para artis modern (kadangkala kita menyebutnya seniman saja), ialah selebritas. Yang disebut seniman di Indonesia atau Indonesian seniman sebagian besar dihuni oleh kasta pemain Sinetron. Seniman sinetron nan semakin banyak jumlahnya sebab ditambah dengan artis-artis baru ini menjadi salah satu pengaruh besarnya apresiasi masyarakat terhadap tayangan sinetron Indonesia.
Di bawahnya muncul kasta anak band, lalu penyanyi single-duo, para idol dadakan, para pelawak, para pembawa acara TV, pemain film, para model dan kontestan ratu kecantikan, para DJ, para politikus dan keluarganya. Mungkin juga para juru dakwah salah loka nan dekat dengan penyanyi dangdut. Terakhir, para kerabat artis, antara lain, pacar-pacar, orang tua, tetangga, sampai orang nan mengaku dilecehkan secara seksual dan fisik.
Meja makan selebritas itu sebenarnya begitu sempit, mengingat slot TV, dan media massa lainnya, tak begitu banyak disisakan bagi mereka. Sehingga banyak cara dilakukan para selebritas itu agar tetap eksis dan bertahan di tengah persaingan.
Bahkan, sampai harus menjilat tanah di bawah meja makan sekali pun, dalam arti mempermalukan diri sendiri. Semakin memalukan akan semakin terkenal. Being famous sudah menjangkiti orang nan mengaku-ngaku artis. Walau jalan dan cara kerja mereka jauh dari kualitas nan standaran.
Oleh karenanya lebih bijak bagi para penikmat global seni Indonesia buat mengembalikan julukan artis, kepada penggiat seni tradisional. Ada ratusan suku di Indonesia, dengan ratusan dialek dan langgam, ratusan pesona dan hiburan nan tak ada habisnya diciptakan.
Ketika para turis asing nan jenuh akan selebritas di negara masing-masing mencari kekayaan budaya tradisional Indonesia dengan harga mahal, sekiranya begitu pun orang nan ingin mencari hiburan dengan rasa Indonesia. Seniman Indonesia dengan rasa Indonesia justru semakin sporadis ditemui. Yang sering ditemui ialah seniman Indonesia rasa India, rasa Jepang, rasa Korea, hingga rasa Amerika.