Baduy Adalah Guru
Tidak Terasing
Suku Baduy tak dapat dikatakan sebagai suku terasing nan terlunta-lunta. Mereka mempunyai budaya dan cara hayati tersendiri. Mereka berkembang dengan caranya dan mempertahankan diri dengan teknik tersendiri. Mereka tak kelaparan dan mereka tak merasa harus mengemis kepada orang lain termasuk pemerintah. Mereka tahu bagaimana bercocok tanam dan mereka tahu bagaimana mendidik anak-anak mereka.
Suku Baduy ini mempunyai peradaban tersendiri. Mereka mempunyai tata cara berkomunikasi dan tata cara berteman nan sudah dipahami sejak lama. Mereka mempunyai budaya nan mereka rayakan dan mereak sambut dengan gegepa gempita. Mereka hanya tak mau diganggu oleh siapapun. Telah ada adat dan hukum adat nan akan menghukum bagi nan melanggar adat. Hukum pernikahan dan hukum-hukum lainnya telah mereka tekuni dan mereka pelihara selama ini.
Masyarakat nan berada di luar suku Baduy ini hendaknya menghargai dan menghormati apa nan menjadi keyakinan dan kepercayaan mereka. Kalaupun mereka beribadah seperti orang Islam nan dicampur dengan niali-nilai kepercayaan seperti dalam agama Hindu, itulah satu leburan budaya nan mereka rasakan sejak mereka terlahir ke dunia. Bahwa mereka tak boleh melakukan ini dan tak boleh melakukan itu, ialah sesuatu nan memang harus dilakukan agar alam dan lingkungan tetap terjaga.
Adanya penebangan hutan dan pemanfaatan hasil hutan nan begitu besar, sebenarnya menjadi salah satu hal nan memprihatinkan. Bukannya orang Baduy ini bodoh. Mereka cukup cerdas dan mungkin sebab hati mereka bersih, secara naluriah, mereka lebih peka dan lebih mampu menerapkan pola hayati nan lebih baik nan dapat membuat ekuilibrium nan baik dalam jiwa dan raga. Mereka menghargai kaki mereka lebih dari kepala.
Sederhana saja alasan nan dilontarkannya. Tanpa kaki akan sangat sulitlah membawa kepala. Tetapi janga dipanjangkan kalimat ini dengan kata-kata, ‘tanpa kepala ....’ Menghargai pendapat mereka memungkinkan membuka pintu buat lebih banyak belajar tentang mereka. Walaupun ada orang-orang nan tinggal di Baduy Luar nan sebagian telah mengadopsi modernitas, orang-orang nan di kediaman spesifik buat Baduy Dalam, tetap teguh dan merasa senang dengan gaya hidupnya sekarang.
Kebahagiaan itu memang tak dapat diukur dengan harta dan kekayaan serta besarnya rumah. Ketenangan dan kedamaian itu tercipta dari hati nan bersabar dan bersyukur. Tanpa adanya rasa sabar dan bersyukur, akan sangat sulit melihat betapa indahnya global ini. Hingar bingarnya kehidupan ini terkadang malah membuat banyak orang lupa. Mereka berebut memperoleh apa nan paling hebat dan paling banyak. Padahal, tdai mesti apa nan paling hebat dan paling banyak itu memang membahagiakan.
Beberapa Hal Tentang Baduy
Pertama. Suku Baduy nan ada di Banten merupakan salah satu kekayaan Indonesia. Suku Baduy ialah sebutan populer buat orang Kanékés nan bermukim di Desa Kanékés sebelah selatan Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Luasnya sekitar 5.101,85 hektar, terdiri dari perkampungan, semak belukar, ladang-ladang, dan hutan.
Kedua. Orang Kanékés ialah orang Sunda dan berbahasa Sunda, sebagai sebuah tipe masyarakat Sunda lama. Bentuk, ukuran tubuh, dan rona kulit sama seperti umumnya urang Sunda. Perbedaannya pada sistem dan pola hayati bermasyarakat. Berabad lamanya mereka terisolir. Memiliki sikap hayati nan menolak budaya luar, sebagai pertahanan budaya warisan leluhur.
Ketiga. Beberapa pendapat tentang asul usul orang Kanékés:
1. Mereka berasal dari keturunan pengikut Prabu Siliwangi nan mengungsi ketika agresi bencana tentara Islam dari Banten.
2. Mereka ialah kelompok masyarakat nan beragama Hindu dari daerah Gunung Pulosari nan terdesak oleh kekuasaan kesultanan Islam Banten.
3. Orang Kanékés meyakini telah menetap disana sejak masa purba, sebagai keturunan dari Nabi Adam.
4. Kanékés ialah salah satu Mandala, atau Kabuyutan, nan didirikan pada masa Kerajaan Sunda Rakéyan Darmasiksa (1175-1297 M) nan bertugas melaksanakan Tapa di Mandala. Sementara tugas Tapa di Nagara dilakukan oleh penduduk nan berada di luar wilayah mandala.
Keempat. Kepercayaan orang Kanékés adalah agama Sunda Wiwitan. Wiwitan berarti jati, mula, asal, sejati. Menurut Carita Parahiyangan disebut agama Jatisunda sebagai agama Sunda Asli. Kekuasaan paling tinggi ialah Sang Hyang Keresa atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), disebut juga Batara Tunggal, Batara Jagat, Batara Séda Niskala.
Kelima. Menurut mitologi Kanékés, ada alam Buana Nyungcung sebagai loka teratas buat Nu Ngersakeun, Buana Panca Tengah sebagai global makhluk hidup, dan Buana Larang sebagai loka neraka. Loka paling kudus di global ini ialah Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas, letaknya di Kampung Dalam nan menjadi pusat lingkungan Kanékés.
Keenam. Orang Kanékés memegang teguh tugas dan pantangan nan diyakini harus dijaga selama hayati di wilayah mandala. Mandala ialah loka kudus pusat kegiatan keagamaan. Orang nan berada di mandala mengabdikan diri bagi kepentingan hayati beragama. Tugas mereka dirumuskan sebagai berikut:
1. Memelihara (ngareksakeun) Sasaka Pusaka Buana.
2. Memelihara Sasaka Domas.
3. Mengasuh penguasa dan mengemong kaum pejabat, ngasuh ratu ngajayak ménak.
4. Mempertapakan nusa 33, sungai 65, dan pusat 25 negara, ngabaratapakeun nusa telu puluh telu, bangawan sawidak lima, pancer salawé nagara.
5. Berburu dan menangkap ikan buat upacara Kawalu, kalanjakan kapundayan.
6. Membakar dupa buat memuja dalam upacara ngawalu dan ngalaksa.
Ketujuh. Baduy nan ada di Banten memiliki 32 kampung nan secara adat dibagi pada 3 wilayah: Wilayah Tangtu, penduduknya disebut Urang Kajeroan atau Baduy Jero nan berada paling dalam dan jauh dari pintu masuk wilayah Kanékés. Mereka tinggal di Kampung Cibéo, Cikeusik, Cikartawana. Wilayah Panamping dan wilayah Dangka, penduduknya disebut Urang Kaluaran atau Baduy Luar.
Delapan. Setiap kampung Baduy Jero dipimpin oleh seorang kepala atau Puun. Bawahan Puun adalah Seurat bertugas membantu memelihara lahan sérang. Barésan bertugas menjaga keamanan dan ketertiban. Jaro Tangtu adalah sebutan pejabat harian di wilayah Tangtu, Kokolot buat wilayah Panamping, dan Jaro Dangka buat wilayah Dangka.
Jaro warega bertugas sebagai penghubung masyarakat adat dengan pemerintahan luar Kanékés. Jaro pamaréntah, sebagai Kepala Desa Kanékés nan harus direstui oleh Puun sebelum disahkan oleh Pemda setempat.
Sembilan. Mata pencaharian Kanékés ialah bertani di lahan atau ladang. Mereka memiliki sikap sederhana dan penuh kebersamaan. Pria Kanékés memakai ikat kepala (iket, telekung, romal), pakaian dan sarung. Sandang wanita Kanékés terdiri atas kemben (selendang), kain lunas, atau kebaya.
Sepuluh. Makanan pokoknya ialah nasi, diolah dari beras dengan alat seéng (dandang), aseupan (kukusan), dan dulang (untuk merendam beras dengan air panas atau mendinginkan nasi). Beras ditumbuk dengan Lisung (lesung) dan halu (alu) di bangunan Saung Lisung. Rumah mereka terbuat kayu, bambu, daun rumbia, ijuk, rotan, dan batu.
Sebelas. Pemukiman Baduy nan ada di Banten berupa daerah berbukit. Memiliki hutan lebat sekitar pegunungan Kendeng (1.200 meter dpl). Sumber air berasal dari genre Sungai Ciujung. Beberapa sungai kecil nan mengalir di wilayah Kanékés dan bermuara di Sungai Ciujung dan Cidurian, adalah: Sungai Ciparahiang, Cimaja, Cibeuneung, Cirawayan, Cibatungeunah, Ciparay Cibarani, Cikadu, Cimedang, Cirawing, Cikanékés, Cisimeut, Ciujung dan Cibaduy.
Dua belas. Jeda lokasi Desa Kanékés adalah; sekitar 13 kilometer dari selatan Kecamatan Leuwidamar, sekitar 38 kilometer dari selatan Kota Rangkasbitung; sekitar 120 kilometer dari sebelah barat daya Jakarta; sekitar 180 kilometer sebelah barat Kota Bandung.
Baduy Adalah Guru
Belajar kehidupan dari suku Baduy artinya belajar bagaimana bersahabat dengan alam. Tanpa menajdi sahabat alam, maka alam akan murka. Tanah longsor, hutan nan terbakar, akan mendatangi kampung dan akan membunuh banyak kehidupan. Tanpa menghargai apa nan telah diberikan Tuhan melalui hutan yang latif dan bermanfaat, maka kehidupan itu akan wafat secara perlahan.