Makalah Tentang Sosial Budaya - Andal Menjadi Orangtua Tunggal
Makalah tentang sosial budaya memang cukup menarik buat dibahas. Tidak ada seorang pun di global ini nan merasa nikmat saat kehilangan. Pada kenyataannya, tak sporadis kita dapati pasangan suami-istri nan harus berpisah sebab sesuatu hal. Penyebabnya cukup beragam, entah sebab pasangan telah diambil oleh Tuhan atau sebab tak adanya kecocokan. Selain itu, tak menutup pula kemungkinan jika pasangan pergi begitu saja. Hal ini sangat menarik buat dikaji dalam sebuah makalah tentang sosial budaya.
Makalah Tentang Sosial Budaya - Andal Menjadi Orangtua Tunggal
Makalah sosial budaya dengan judul ‘Tangguh Menjadi Orangtua Tunggal’ berikut ini akan mengupas bagaimana suka duka sebagai orang tua tunggal. Hal nan mungkin banyak dihadapi oleh generasi saat ini.
Pendahuluan
Menjadi orangtua tunggal mungkin bukanlah pilihan banyak orang. Sebab, beberapa masalah kompleks niscaya akan ada bersamanya. Misalnya saja, kesulitan mengatur waktu, kesulitan mengatur keuangan, tenaga nan terbatas, dan anak-anak nan haus kasih sayang. Sejatinya, tak ada siapa pun di global ini nan ingin berpisah dari pasangannya. Demikian halnya dengan mereka nan kini telah menjadi orangtua tunggal. Namun, ada beberapa penyebab nan tak mungkin dihindari.
Bisa saja, seseorang nan menjadi orangtua tunggal tatkala rambut telah memutih, kulit sudah sangat keriput, dan tenaga sudah banyak nan menguap. Namun, saat seseorang telah berusia senja, biasanya ia akan sedikit bernapas lega. Sebab, anak-anak telah dewasa, dan dapat hayati secara mandiri. Beban di pundak pun tak seberat sebelumnya.
Namun, hal ini akan berbeda apabila seseorang menjadi orangtua tunggal saat anak-anak masih kecil. Beban nan ditanggung pun ternyata cukup berat apabila dibandingkan tatkala anak-anak telah beranjak dewasa. Makalah sosial budaya ini akan mencoba menyajikan beberapa solusi nan dapat diterapkan oleh orangtua tunggal.
Pembahasan
Pada penggunaan istilah formal, seorang perempuan nan menjadi orangtua tunggal disebut sebagai Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Sebuah survei nan diadakan oleh Survei Sosial Ekonomi (Susenas) memberikan data nan tak begitu menggembirakan. Pada 2007, Susenas mencatat adanya 13,62 persen perempuan nan menjadi kepala rumah tangga. Hal itu, dapat disebutkan bahwa 6 juta perempuan di Indonesia telah menjadi kepala rumah tangga. Para perempuan ini harus bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarga dengan berbagai alasan.
Apabila dibanding dengan data nan diperoleh pada 2001, saat itu jumlah dari para orangtua tunggal ini ialah 13 persen. Berarti ada peningkatan sekitar 0,1 persen setiap tahunnya. Hal nan sangat tak menggembirakan, bukan?
Sayangnya, mayoritas para perempuan ini hayati jauh dari kata sejahtera. Sebuah forum nan berkecimpung di bidang ini, Forum Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga telah mencatat hal nan cukup mengejutkan. Dari 8 provinsi nan telah diteliti dan disurvei, ternyata rata-rata usia para ibu ini ialah 20 hingga 60 tahun, dengan penghasilan nan sangat minim, yaitu Rp12.000 per hari. Selain itu, mereka masih harus menanggung beban anggota keluarga lainnya nan berjumlah satu hingga enam.
Kesejahteraan nan didapatkan ini berbanding lurus dengan taraf pendidikan banyak kepala keluarga ini, rata-rata mereka ialah lulusan SD, dengan prosentase sebesar hingga 38,9 persen. Hal nan menarik buat kita telusuri lebih lanjut ialah faktor apakah nan sebenarnya membuat para wanita ini berani buat menjadi kepala rumah tangga? Apakah seluruh WKRT ini menjadi kepala keluarga saat suaminya meninggal dunia? Atau adakah faktor lainnya? Perceraian, misalnya. Hal ini menarik buat diteliti lebih lanjut.
Fakta di lapangan berkata bahwa tak selalu faktor kematian seorang suami menyebabkan seorang wanita berani menjadi WKRT. Ada juga beberapa suami nan tiba-tiba hilang tidak berjejak. Ada juga nan berselingkuh. Ada pula beberapa suami nan secara fisik ada, namun tak berfungsi secara maksimal di rumah. Suami ini tinggal di rumah nan sama. Tidur di ranjang nan sama. Makan dari dapur nan sama. Tapi tak menjalankan fungsinya sebagai qawwam . Hingga kemudian terjadilah perceraian.
Angka perceraian ini ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Dirjen Bimas RI pada 2010 mencatat bahwa di antara dua juta pernikahan, sekitar 200 ribu di antaranya bercerai. Perceraian dan meninggalnya suami telah menyebabkan perempuan secara de facto menjadi orangtua tunggal. Hal ini membuat seseorang menjadi pengasuh anak-anak, sekaligus sebagai tulang punggung keluarga.
Lalu, bagaimana dengan nasib seorang istri nan kemudian suaminya tak mampu menjalankan perannya sebagai suami dan ayah sebab adanya penyakit kronis? Seorang suami harus terus terbaring sebab koma atau adanya penyakit kronis. Saat itu, dapatkah seorang istri digolongkan sebagai orangtua tunggal?
Tentu saja. Sang istri kemungkinan menolak saat disebut sebagai orangtua tunggal. Namun, dalam kesehariannya, istri tersebut telah hayati sebagaimana perempuan lainnya nan hayati tanpa suami. Ia nan kemudian harus mengepulkan asap dapur keluarga, mendidik anak-anak, hingga melayani suami. Orangtua tunggal, khususnya perempuan, sangat membutuhkan dukungan keluarga. Ia harus meyakini bahwa ketiadaan suami merupakan bagian ujian dari Allah.
Bagaimana Solusi nan Ditawarkan?
Hal nan pertama perlu dilakukan oleh para orangtua tunggal ini ialah menerima kenyataan. Kehilangan memang suatu nan sangat berat. Namun, adanya anak-anak dan anggota keluarga lainnya sangat membutuhkan donasi seorang kepala rumah tangga .
Hal kedua nan dapat dilakukan ialah dengan berdamai dengan diri sendiri. Saat ini, tak ada alasan buat selalu mengungkit kesedihan hingga berkali-kali. Selayaknyalah, bangkit dan berjuang. Memaafkan diri sendiri juga orang lain merupakan hal nan paling ampuh buat mengeliminir kesedihan.
Merasa kesepian mungkin dirasakan oleh para orangtua tunggal ini, khususnya para perempuan. Sangatlah wajar apabila para perempuan ini merasa berat dan kesepian. Perasaan ini akan semakin menjadi apabila seorang perempuan terus menerus mengurung diri tanpa adanya tindakan nan pasti. Cara nan dianjurkan ialah agar para orangtua tunggal ini membuka diri kepada dunia, memperluas pergaulan, dan menghubungkan diri dengan komunitas nan tepat.
Lalu, bagaimana jika timbul perasaaan benci pada suami? Perasaan ini mungkin saja timbul. Akibatnya banyaknya kekecewaan nan dirasakan. Apalagi jika perempuan nan ditinggal ini ialah korban KDRT ataupu korban dari perselingkuhan.
Kunci primer buat menekan rasa sakit hati ini ialah dengan mengendalikan diri. Selanjutnya ialah membangun persepsi nan positif mengenai kehidupan. Persepsi nan baik akan membuat seseorang menjadi andal dalam menapaki derasnya kehidupan.
Islam, menawarkan solusi nan praktis dan ringan. Islam memandang bahwa kondisi seorang nan beriman akan selalu baik. Salah satu hadis nan menyatakan hal ini ialah saat seorang beriman pada Allah. Apabila ia mendapatkan kenikmatan ia akan lebih banyak bersyukur. Apabila ia mendapatkan musibah ia akan lebih banyak bersabar.
Penutup
Makalah ini merupakan sebuah bentuk kepedulian kepada banyaknya kepala keluarga tunggal di Indonesia. Selayaknyalah, kita mendukung para kepala keluarga ini buat bisa keluar dari kesulitan nan dihadapi. Memberikan mereka ikut merasakan nan baik dan perlakuan nan ramah akan membuat mereka andal menghadapi kehidupan.
Demikianlah makalah tentang sosial budaya nan dapat kita sajikan kali ini. Semoga bermanfaat!