Kalam Melahirkan Aliran-Aliran
Kalam sebagai sebuah ilmu telah lama dipelajari banyak orang terutama bagi mereka nan sangat menyukai dengan filsafat. Keberadaannya memberikan ruang tersendiri dalam mewarnai khazanah keilmuan nan ada di global ini.
Namun dalam konteks selain keilmuan, kata kalam dalam global akidah sendiri juga berlaku buat memberikan salah satu sifat bagi Allah nan terkenal ada 20, di mana sifat kalam bagi Allah maknanya bahwa Allah itu bicara. Dalam hal ini, tentu saja berbicara dengan cara Allah. Pada kasus lain, kata kalam juga disebut-sebut sebagai salah satu bentuk susunan kalimat dalam bahasa Arab. Jadi, begitu banyak sekali makna kalam sebenarnya.
Namun dalam hal ini, hanya akan dibatasi seputar kalam sebagai bidang kajian dan keilmuan saja. Lantas apa sih sebenarnya nan disebut dengan kalam itu sendiri?
Memaknai Kalam sebagai Ilmu
Secara harfiah atau secara makna kata, kalam ialah perkataan. Sementara jika dipahami secara makna maka nan disebut dengan kalam sebagai bidang kajian keilmuan ialah sebuah bahasan ilmiah nan terus melakukan pemahaman terhadap ragam keyakinan agama dengan menggunakan argumentasi nan sangat kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan kenapa disiplin keilmuan ini dinamakan kalam, Al-Iji, seorang ilmuwan mengatakan bahwa alasa nan dapat dilakukan buat melakukan identifikasi. Hal ini dikarenakan hal-hal berikut.
- Ilmu kalam dinamakan kalam dikarenakan sebagai bentuk oposisi bagi Logika dikalangan para penggiat fislsafat atau nan biasa disebut filsuf,
- Kalam juga diambil dari beberapa judul bab-bab dalam bukunya sendiri nan biasanya diawali dengan perkataan 'al-kalam fi...' nan maknanya jika tak salah ialah 'pembahasan tentang..'.
Selain kedua alasan tersebut, nama ilmu kalam sendiri juga diduga dikaitkan dengan isu paling populer dalam setiap kali perdebatan di antara kaum mutakallim atau nan biasa disebut dengan pakar kalam nan membahas tentang masalah kalam Allah.
Sementara itu, sosok pakar kalam nan juga dikenal sebagai tokoh filsafat Al-Farabi mengatakan bahwa dari sisi kegunaan maka kalam sebagai salah satu keilmuan, dapat dijadikan sebagai suatu alat buat mempertahankan atau bahkan dapat menguatkan klarifikasi seputar akidah dan juga pemahamahan agama Islam dari mereka nan melakukan penyerangan terhadap agama Islam melalui penggunaan otak atau rasio.
Hal ini akan menjadi sebuah usaha para ilmuwan bahwa tak semua dalam agama Islam dapat diselesaikan dengan menggunakan akal. Selain itu, ilmu kalam sendiri berguna buat menangkal kajian nan mengedepankan akal semata. Selain itu, ilmu kalam juga digunakan buat menjawab pertanyaan-pertanyaan nan bersifat menyerang. Namun, membedakannya ialah ilmu kalam meski juga menggunakan akal, tetap saja tunduk pada apa nan sudah tercantum dalam wahyu.
Adapun nan biasanya menjadi sentra disparitas ialah ada pada taraf pengakuan fungsi akal dalam rangka memahami wahyu dan disparitas nan sering ada pada taraf kebebasan dalam menginterpretasi dari sebuah teks wacana nan hanya dipahami secara harfiah semata. Untuk itu, kalam sebagai bidang kajian keilmuan, pada dasarnya sangat dapat dibedakan dari nan dinamakan dengan filsafat atau fikih.
Dengan kata lain, konsen dari kalam ialah bagaimana upaya-upaya mencari segala keyakinan nan datang dari agam sebagai sandaran, dengan menggunakan hujjah atau dalil nan kokoh dan juga rasional buat menguatkan argumen keagamaan tersebut.
Sementara seperti kita ketahui bahwa filsafat biasanya melakukan kajian nan mengandalkan rasio sehingga ditemukan ragam dalil nan dapat menjadi penguat sebuah konklusi nan dipandang kebenaran. Walaupun hal itu dilakukan tanpa terlebih dahulu meliihat dan memahami sumber otoritatif dalam sebuah agama.
Dengan kata lain, ilmu kalam mencoba mencari dalil dari keyakinan nan sudah ada, sedangkan filsafat mencari dalil-dalil sebelum mencari sebuah keyakinan. Sementara itu, nan membedakan antara ilmu kalam dan fikih ialah ada pada fokus kajiannya saja.
Apabila pakar kalam berfokus pada masalah aspek teologis atau juga nan dapat dipahami sebagai akar agama atau ushuliyah nan selayaknya dipahami guna menghindari pada hal-hal nan dapat menjadikan manusia menjadi kafir. Sementara itu, para fokuha atau pakar fikih lebih cenderung berfokus pada masalah aspek furu'iyah atau cabang-cabang agama Islam nan lebih kepada legalisasi perbuatan manusia, baik itu dalam konteks ibadah mau pun muamalah.
Sejarah Perkembangan Kalam
Dalam perkembangannya, kalam sebagai sebuah keilmuan dalam sejarahnya tak dapat lepas begitu saja dari sumber utamanya, yaitu Alquran dan Hadis Rasulullah nan di dalamnya membahas tentang wujud Allah. Selain itu, juga membahas mengenai keesaan Allah serta persoalan-persoalan lainnya nan berkaitan dengan Allah.
Kemunculan ilmu kalam sendiri oleh sebagian ahli diyakini lahir setelah wafatnya masa Rasullullah saw. Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai sumber, banyak sekali ditemukan data nan mengatakan bahwa pada hakikatnya berasal dari masalah gejolak politik.
Terutama setelah terjadinya peperangan nan melibatkan antara sahabat Rasul, yaitu Ali Ibn Abi Thalib nan melawan kelompok Muawiyah bin Abi Sofyan. Tak hanya memunculkan kalam sebagai sebuah ilmu, kontemporer juga lahirlah kelompok atau aliran-aliran nan memang seringkali atau konsen membahas masalah-masalah nan berkaitan erat dengan masalah ketuhanan.
Kalam Melahirkan Aliran-Aliran
Berdasrkan hal itu, kita mengenal dua genre pokok dalam ilmu kalam nan terkenal dengan genre rasional dan tradisional. Mereka nan mengedepankan rasional ialah mereka nan kita kenal dengan kaum Muktazilah nan digawangi oleh tokoh-tokoh seperti Abu Huzil Al-Allaf, An-Nazzam, Muamar bin Abbad, Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar, dan Al-Jubba'i.
Bagi kaum ini nan memang sudah banyak mempelajari filsafat dan menjadikan sebagai alat tangkis argumen-argumen filosofis dari lawan. Di kalangan Muktazilah, akal mampu mengetahui keberadaan Allah itu di mana, kewajiban berterima kasih pada Allah, akal juga dapat menganalisis disparitas antara nan baik dan jahat
Selain itu, kaum ini juga menganggap bahwa manusia memiliki kewajiban buat melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Dengan kata lain, bagi kaum Muktazilah, akal berada pada puncak kedudukan nan sangat tinggi.
Namun di sisi lain, genre tradisional tak dapat memberikan kedudukan pada akal setinggi-tingginya sebab bagi mereka akal bersifat terbatas. Ini lantaran, pada saat agama belum lahir,akal hanya mampu mengetahui adanya Allah, tetapi buat lainnya nan lebih mendalam, akal tak mampu melakukannya.
Salah satu kaun nan menganut genre ini ialah Kaum Asy'ariah nan juga ikut menjadi pelopor keberadaan genre tradisional nan diramaikan dengan nama tokoh-tokohnya nan sangat terkenal hingga saat ini, antara lain Al-Baqilani, Al-Juwaini dan juga Al-Gazaali.
Selanjutnya, di antara dua genre tersebut, ternyata ada satu lagi genre nan bermana genre Maturidiah. Jika Muktazilah meninggikan akal dan kaum Tradisional menurunkannya kembali, maka kaum Maturidiah ini berada di tengah-tengah keduanya. Dalam perkembangnnya, genre ini meski kurang populer dan sporadis sekali menjadi perhatian, tetapi para pengikutnya sangatlah tak sedikit atau dapat dibilang tak sedikit.
Kalam dan Kehidupan Sosial
Lantas bagaimana atau sejauh mana pengaruh keberadan kalam sebagai bidang kajian keilmuan dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan sosial? Keberadaan ilmu kalam mendapatkan tempatnya tersendiri pada masa Khulafaur Rasyidin, di mana umat Islam selalu saja berpegang teguh pada ajaran atau pangkal agama, yaitu akidah.
Walaupun kemudian gejolak politik menjadikannya memunculkan aliran-aliran nan sudah disebutkan di atas. Namun, keberadaan kalam pada hakikatnya menjadikan kesepahaman dalam sebuah keyakinan sehingga tak menimbulkan gejola-gejolak di global sosial pada masa itu. Pasalnya kalam telah memberikan pondasi dalam menjalani kehidupan beragama pada diri manusia.
Nah, demikianlah bahasan mengenai kalam sebagai sebuah bidang kajian keilmuan nan telah memberikan rona tersendiri di global ini. Hingga hari ini, masih banyak mempelajari kalam nan kemudian banyak juga ditemukan menyatu dalam filsafat. Semoga bermanfaat!