Hee Ah Lee

Hee Ah Lee

Tak ada orang nan mau dilahirkan dalam keadaan cacat. Orang nan lahir dalam keadaan paripurna pun tentu tidak pernah menginginkan menjadi cacat. Hayati sebagai orang nan berkondisi fisik paripurna saja sering tidak mudah apalagi jika cacat.

Namun hebatnya, tidak sedikit orang-orang stigma ini nan memiliki semangat hayati nan luar biasa. Semangat hayati nan pantang menyerah ini menjadikan mereka sebagai orang stigma nan berprestasi . Siapa saja mereka?



Hellen Keller

Helen menjadi buta dan tuli pada usia 19 bulan sebab terserang suatu penyakit nan tidak diketahui penyebab dan obatnya. Dibantu oleh gurunya, Helen belajar huruf Braille dan bahasa isyarat. Dengan cara ini Helen mampu menguasai bahasa Perancis, Jerman, Yunani, dan Latin.

Helen lulus dari Universitas Harvard dengan nilai Magna Cum Laude. Ia ialah orang tuna netra pertama nan lulus dari akademi. Helen pun tercatat sebagai orang stigma nan berprestasi dengan menjadi pembicara, dosen, dan penulis. Bukunya nan paling terkenal di global ialah The Story of My Life (1903) dan My Later Life (1930).



Ludwig von Beethoven (1770 – 1827)

Beethoven ialah komponis klasik besar di dunia. Pada usia 31 tahun ia mulai mengalami gangguan pendengaran dan tuli total pada usia 47 tahun. Meskipun demikian, ia terus menggubah berbagai komposisi musik klasik. Komposisi nan digubahnya dalam keadaan tuli ini antara lain: Piano Sonata in A Major Op. 101, Piano Sonata in Bb 'Hammerklavier' Op. 106, Missa Solemnis , dan Simfoni ke-9.



Hee Ah Lee

Ia terlahir dalam keadaan stigma nan dalam global medis dikenal dengan istilah lobster claw syndrome. Di kedua tangannya hanya ada dua buah jari. Kakinya pun hanya sebatas lutut. Dalam keadaan stigma itu, ia sukses menjadi pemain piano profesional.

Ia mampu memainkan berbagai komposisi latif karya komposer global seperti Mozart, Beethoven, dan Chopin. Ia tidak segan berlatih hingga sepuluh jam sehari. Ia telah berkeling ke berbagai negara buat mempertunjukkan kebolehannya itu.



Gol A Gong

Tangan kiri Gol A Gong diamputasi sebatas siku pada usia 11 tahun. Akan tetapi stigma dampak kecelakaan ini tidak membuatnya menyerah. Di masa remajanya ia mengukir prestasi sebagai atlet bulutangkis. Ia juga penulis tangguh dan telah menulis ratusan cerpen, novel, puisi, dan skenario.

Buku dan novelnya antara lain ialah Pada-Mu Kubersimpuh, Balada si Roy, Perjalanan Asia, dan Kupu-Kupu Pelangi . Ia juga mendirikan Rumah Global di Serang, buat menularkan kecintaannya akan global membaca dan menulis.



Ratna Indraswari Ibrahim

Ratna terlahir dengan kondisi fisik sempurna, Namun pada usia 13 tahun mengalami stigma tubuh sebab penyakit radang tulang (rachitis) . Kehilangan fungsi kedua tangan dan kaki, tidak membuat Ratna menyerah.

Ia aktif menulis cerpen dan novel. Kumpulan cerpen dan novelnya antara lain: Kado Istimewa (1992), Namanya Massa (2000), Lakon Di Kota Senja (2002), Sumi dan Gambarnya (2003), dan Lemah Tanjung (2003).

Orang-orang stigma nan berprestasi ini sukses menunjukkan pada global bahwa mereka bisa berbuat dan melakukan sesuatu nan bahkan lebih cemerlang dari kebanyakan orang nan lahir dan hayati dengan kondisi fisik sempurna.



Bob Willen

Lomba marathon internasional 1986 di New York diikuti ribuan pelari dari seluruh dunia. Lomba ini berjarak 42 km. mengelilingi kota New York. Jutaan orang di seluruh global menyaksikan acara ini melalui televisi secara langsung.

Ada satu orang peserta nan menjadi pusat perhatian di lomba tersebut, yaitu Bob Willen. Bob seorang veteran perang Vietnam. Ia kehilangan kedua kakinya sebab terkena ranjau saat perang. Untuk berlari, Bob menggunakan kedua tangannya buat melemparkan badannya kedepan.

Lomba pun dimulai. Ribuan orang mulai berlari secepat mungkin ke garis finish. Paras mereka menunjukkan semangat nan kuat. Para penonton terus bertepuk tangan mendukung para pelari. 5 km telah berlalu.

Beberapa peserta mulai kelelahan, mulai berjalan kaki. 10 km berlalu. Saat ini mulai nampak siapa nan mempersiapkan diri dengan baik, dan siapa nan hanya sekedar ikut buat iseng. Beberapa nan kelelahan memutuskan buat berhenti dan naik ke bus panitia.

Sementara hampir seluruh peserta telah berada di kilometer ke-5 hingga ke-10, Bob Willen masih berada di urutan paling belakang, baru saja menyelesaikan kilometernya nan pertama.

Bob berhenti sejenak, membuka kedua sarung tangannya nan sudah koyak, menggantinya dengan nan baru, dan kemudian kembali berlari dengan melempar-lemparkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangannya.

Ayah Bob nan berada bersama ribuan penonton lainnya tidak henti-hentinya berseru “Ayo Bob! Ayo Bob ! Berlarilah terus” . Karena keterbatasan fisiknya, Bob hanya mampu berlari sejauh 10 km dalam satu hari. Di malam hari, Bob tidur di dalam sleeping bag nan telah disiapkan oleh panitia nan mengikutinya.

Empat hari telah berlalu, dan kini ialah hari kelima bagi Bob Willen. Tinggal dua kilometer lagi nan harus ditempuh. Hingga suatu saat, hanya tinggal 100 meter lagi dari garis finish, Bob jatuh terguling. Kekuatannya mulai habis. Bob perlahan-lahan bangkit dan membuka kedua sarung tangannya.

Nampak di sana tangan Bob sudah berdarah-darah. Dokter nan mendampinginya sejenak memeriksanya, dan mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah, bukan sebab luka di tangannya saja, namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya.

Sejenak Bob memejamkan mata. Dan di tengah gemuruh suara penonton nan mendukungnya, samar-samar Bob bisa mendengar suara ayahnya nan berteriak “Ayo Bob, bangkit ! Selesaikan apa nan telah kamu mulai. Buka matamu, dan tegakkan badanmu. Lihatlah ke depan, garis finish telah di depan mata. Cepat bangun ! Jangan menyerah! Cepat bangkit !!!”

Perlahan Bob mulai membuka matanya kembali. Garis finish sudah dekat. Semangat membara lagi di dalam dirinya, dan tanpa sarung tangan, Bob melompat- lompat ke depan. Dan satu lompatan terakhir dari Bob membuat tubuhnya melampaui garis finish .

Saat itu meledaklah gemuruh dari para penonton nan berada di loka itu. Bob bukan saja telah menyelesaikan perlombaan itu, Bob bahkan tercatat di Guiness Book of Record sebagai satu-satunya orang stigma nan sukses menyelesaikan lari marathon.

Di hadapan puluhan wartawan nan menemuinya, Bob berkata:

“Saya bukan orang hebat. Anda tahu Saya tak punya kaki lagi. Saya hanya menyelesaikan apa nan telah Saya mulai. Saya hanya mencapai apa nan telah Saya inginkan. Kebahagiaan Saya dapatkan ialah dari proses buat mendapatkannya. Selama lomba, fisik Saya menurun drastis. Tangan Saya sudah hancur berdarah-darah. Tapi rasa sakit di hati Saya terjadi bukan sebab luka itu, tapi ketika Saya memalingkan paras Saya dari garis finish. Jadi Saya kembali fokus buat menatap goal Saya. Saya rasa tak ada orang nan akan gagal dalam lari marathon ini. Tidak masalah Anda akan mencapainya dalam berapa lama, asal Anda terus berlari. Anda disebut gagal bila Anda berhenti. Jadi, janganlah berhenti sebelum tujuan Anda telah tercapai”



Mark Stutzman

Mark Stutzman sejak lahir tak memiliki lengan, dia diadopsi oleh keluarga nan memiliki 7 angota keluarga. Stigma nan dimilikinya tak membuatnya menyerah, dia melakukan semuanya dengan kakinya, mulai dari makan, menulis, mengemudi, dan memencet tombol-tombol handphone dengan lancar bahkan lebih cepat dari orang-orang normal pada umumnya.

Dia mulai serius melatih keahlian dalam bidang panah sejak berumur 16 tahun. Di dalam turnamen, dia ikut bertanding melawan pemanah-pemanah normal lainnya, dan selalu menjadi pusat perhatian orang.

Dia memanah dengan posisi duduk di kursi dengan menahan busur dengan kaki kanannya. Dia biasanya selalu mendapat skor nan cukup bagus, dan katanya dia akan bergabung dengan tim Olympiade 2012.



Jessica Cox

Jessica Cox dari Tuxon, Arizona dilahirkan tanpa kedua lengan. Lulusan psikologi ini dapat menulis, mengetik, mengemudi, menyisir rambut, dan berbicara di telepon dengan hanya menggunakan kakinya.

Dia juga dulunya ialah bekas penari dan pemegang sabuk hitam dalam beladiri Tae Kwon-Do. Dia punya SIM tanpa batas dan juga dapat menerbangkan pesawat. Pesawat nan dikendarainya ini merupakan salah satu pesawat nan tak memiliki pedal nan bersertifikat.

Tanpa pedal kemudi, Jessica pun bebas menggunakan kakinya sebagai lengan. Dia membutuhkan waktu 3 tahun buat mendapatkan izin terbangnya dan sudah berlatih selama 89 jam, dengan 3 instruktor penerbangan.



Kayle Mayner

Kayle Mayner bukan hanya seorang pegulat biasa, tapi dia juga seorang pegulat paling top di sekolahnya dan juga termasuk siswa cerdas di kelasnya. Kyle lahir tanpa siku lengan dan lutut sebab bawaan stigma sejak lahir, dan dia menjadi inspirasi bagi semua orang nan memilki tantangan. Kini Kyle bekerja sebagai pembicara di Biro Washington, nan spesialis buat memberi pidato-pidato motivasi.

Itulah beberapa profil singkat dari kisah orang stigma nan berprestasi dari bidangnya masing-masing. Dari kisah mereka sudah sepatunya kita belajar buat lebih menghargai hayati dan tetap semangat dalam menghadapi segala keterbatasan.