Perjalanan Kegiatan atau Politik Periklanan
Pernahkah Anda mendengar istilah politik periklanan? Mungkin, orang nan mengetahui istilah itu tidaklah banyak sebab biasanya orang lebih mengenal iklan politik dibanding dengan politik periklanan. Ya, iklan politik dan politik periklanan, sekilas tampak sama, padahal jauh sekali perbedaannya.
Agar Anda dapat membedakan mana iklan politik dan mana politik periklanan, penulis akang membahas keduanya dalam artikel ini. Namun, perlu ditekankan di sini, pembahasan nan selanjutnya akan lebih diperdalam penulis ialah tentang politik periklanan, bukan iklan politiknya. Selain itu agar pemaknaan kita terhadap iklan menjadi sama, maka penulis akan menyajikan terlebih dahulu definisi dan tujuan iklan. Anda penasaran, bukan? Simak uraian berikut.
Definisi dan Tujuan Iklan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklan ialah (1) warta pesanan buat mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa nan ditawarkan; (2) pemberitahuan kpd khalayak mengenai barang atau jasa yg dijual, dipasang di dl media massa (spt surat kabar dan majalah) atau di loka umum.
Selain itu ada juga nan mendefinisikan bahwa iklan ialah seni menyampaikan apa nan ditawarkan atau dijual buat mendapatkan perhatian dan menempatkan produk secara unik kedalam pikiran konsumen dengan alat bantu.
Iklan memiliki arti nan berbeda dengan periklanan sebab periklanan ialah hal nan berhubungan dengan iklan dengan holistik prosesnya nan meliputi penyiapan, perencanaan pelaksanaan, dan supervisi penyampaian iklan.
Tujuan dari iklan ini ialah buat memotivasi dan memengaruhi calon konsumen agar berpikir dan bertindak sinkron dengan keinginan si pemasang iklan. Selain itu, iklan juga banyak digunakan buat membangun gambaran jangka pendek maupun jangka panjang terhadap suatu produk.
Dari penjabaran definisi dan tujuan itu, kita dapat menarik simpulan bahwa iklan politik dapat jadi salah satu jenis iklan nan sedang 'menawarkan" produk berupa kemampuan individu nan sedang diiklankan. Misal, ketika masa kampanye, banyak sekali iklan politik nan ditemukan. Semuanya menawarkan kemampuan sosok nan diiklankan, dalam hal ini ialah calon pejabat.
Sementara politik periklanan ialah cara atau langkah nan ditempuh oleh si pemasang iklan agar apa nan diiklankan dapat mendapatkan loka dan mampu menggugah hati siapa saja nan melihatnya buat kemudian membeli produk nan diiklankan atau ditawarkan tadi.
Banyak politik periklanan nan dinilai dapat menguntungkan perusahaan atau si pemasang iklan. Politik periklanan wajib digunakan dan diterapkan ketika memasang iklan. Politik periklanan dapat diibaratkan sebagai taktik pasar nan jitu.
Nah, pada pembahasan berikut, penulis akan mengajak Anda untukmengenal lebih jauh seputar politik periklanan dan awal mula kegiatan periklanan terjadi. Anda penasaran? Berikut ulasannya.
Perjalanan Kegiatan atau Politik Periklanan
Kegiatan periklanan atau politik periklanan memang bukan hal baru dalam global bisnis. Ia berkembang seiring perjalanan kapitalisme di dunia. Pada abad ke-18, iklan-iklan sederhana sudah muncul di beberapa negara, seperti Inggris, Prancis, dan Amerika. Mulanya, kegiatan ini dianggap hal aneh karena dalam sistem pertukaran sederhana, konsumen biasanya langsung berhubungan dengan penjual ketika mereka membutuhkan suatu barang.
Di Prancis misalnya, iklan nan biasa mereka sebut reclame baru benar-benar berkembang sekitar awal abad ke-19. Persaingan bisnis masih mengandalkan propaganda sederhana dari mulut ke mulut. Seseorang nan ingin mencari barang kebutuhan biasanya langsung datang ke pasar atau mengandalkan informasi sebelumnya dari orang lain. Cara-cara penjualan seperti ini semakin lama, semakin ditinggalkan.
Selain tak memberikan pilihan banyak kepada konsumen, cara tersebut juga dirasa kurang efektif sebab tak bisa menjual barang dalam jumlah banyak dan cepat. Ada sebuah prinsip nan menyatakan bahwa jumlah produksi massal akan membutuhkan konsumsi massal dan bentuk-bentuk distribusi baru.
Self-Services
Menurut Rachel Bowlby dalam The Invention of Modern Shopping (1957), buat mengatasi produksi massal nan berlimpah, sejak akhir abad ke-19, mulai dipopulerkan istilah self-service ' konsumen melayani dirinya sendiri'. Sistem perdagangan self-service awalnya dilakukan dengan membuka toko-toko kecil, konsumen dapat masuk dan memilih sendiri barang nan mereka cari.
Semakin lama, cara-cara ini semakin dikembangkan hingga pada 1920an, William Albers, seorang pengusaha dari Amerika, memperkenalkan bentuk dan istilah supermarket, sebuah pusat perbelanjaan nan lokasinya berada di tengah kota, menawarkan harga nan kompetitif, menampilkan komoditas dalam jumlah fantastis, dan dengan kenyamanan lebih bagi konsumen.
Agen Periklanan
Self-service nan memberikan kenyamanan bagi konsumen, di sisi lain, membuat konsumen merasa awam dengan barang-barang nan begitu banyak. Dalam kondisi ini, periklanan menjadi sumber informasi primer sebagai surat keterangan awal bagi setiap konsumen dan keberadaannya pun semakin lama, semakin dibutuhkan. Hal ini kemudian dimanfaatkan dengan didirikannya agen-agen periklanan.
Di Amerika misalnya, James Walter Thompson mendirikan JWT Worldwide , David Ogilvy mendirikan Ogilvy & Mather Worldwide . Di Prancis, Marcel Bleustein mendirikan agen periklanan Publicis , sedangkan Bill Tragos, Claude Bonnange, Uli Wiesendanger, dan Paulo Ajroldi, mendirikan TWBA . Di Inggris, muncul agen periklanan besar, seperti Bartle Bogle Hegarty atau Fallon .
Sistem Kapitalisme
Dengan prinsip nan sama, agen-agen periklanan mulai memainkan perannya sebagai prajurit nan mengabdi kepada sistem kapitalisme. Mereka menanamkan sikap konsumtif dengan menawarkan komoditas baru, juga dengan menciptakan kebutuhan-kebutuhan semu dalam diri individu.
Dengan berbagai cara, baik melalui pendekatan budaya maupun ideologi, periklanan secara cepat mengikat masyarakat menjadi unsur nan tunduk terhadap penguasaan kapitalisme. Ketundukan ini dapat berupa kesenangan mengonsumsi. Bahkan, pada taraf nan lebih tinggi berupa loyalitas individu terhadap suatu produk, misalnya keengganan seseorang berpindah ke lain merek.
Segitiga Konglomerasi
Dalam sistem kapitalisme, agen periklanan tak jauh berbeda dengan perusahan-perusahaan pada umumnya. Mereka mengepakkan sayap buat menguasai bisnis periklanan hingga menjadi sebuah agen periklanan multinasional. Kesuksesan ini tak lepas dari segitiga konglomerasi nan mereka ciptakan antara perusahaan multinasional, korporasi media massa, dan agen periklanan itu sendiri.
Ogilvy & Mather Worldwide misalnya, memiliki 450 kantor di 120 negara dengan klien besar, seperti Ford, Gillette, Johnson & Johnson, Motorola, juga Yahoo! Bartle Bogle Hegarty nan bermarkas di London, memiliki kantor cabang di setiap benua dengan klien besar seperti, AXE, British Airways, Heineken, Mentos, Sprite, Vaseline, juga World Gold Council. Euro RSCG nan bermarkas di New York memiliki 233 kantor di 75 negara dengan klien, seperti IBM, Peugeot, Jaguar, juga Volvo.
Segitiga konglomerasi ini menciptakan simbiosis mutualisme. Perusahaan multinasional mendapatkan kegunaan dari agen periklanan dengan meningkatnya penjualan, agen periklanan mendapat royalti dari setiap kontrak iklan nan dikerjakan, sedangkan media massa mendapat laba dari penjualan halaman iklan atau penjualan waktu ( block of time ) di radio maupun televisi nan mereka kelola.
Demikianlah citra politik periklanan nan dapat penulis sampaikan. Semoga apa-apa nan terdapat dalam uraian ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca.Dengan adanya informasi ini, Anda sudah dapat membedakan mana iklan politik dan mana politik periklanan, bukan?