Indonesia Sebagai Bangsa Demokrasi

Indonesia Sebagai Bangsa Demokrasi

Jika kita membuka buku-buku Sejarah tentang demokrasi, umumnya, akan dikatakan bahwa paham tersebut bermula dari bangsa Yunani Klasik. Berasal dari kata demos berarti 'pemerintahan' dan kratein atau kratos yang berarti 'rakyat'. Maknanya ialah bahwa pemerintahan itu merupakan perwakilan rakyat buat mengatur rakyat agar rakyat hayati lebih teratur, terarah, dan menggapai sejahtera bersama. Nilai-nilai demokrasi seperti ini telah menjadi keseharian warga Kota Athena (Yunani) dalam mengatur pemerintahan mereka. Walaupun dalam kenyataannya sulit buat menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat, demokrasi ini tetap harus dan terus diupayakan berjalan dengan baik.



Tahta Untuk Rakyat

Mengapa Sultan Yogyakarta mengatakan bahwa tahta itu buat rakyat? Sesungguhnya, tak ada rakyat, maka tak ada pemerintahan dan tak ada negara. Rakyatlah nan menjadikan suatu negara berkembang. Pemerintah diharapkan membuat peraturan nan berpihak kepada rakyat dan bukan berpihak kepada segelintir orang saja. Pemerintah harus memperhatikan rakyat. Pemerintah nan memperhatikan rakyat akan membuat kehidupan lebih damai. Tanpa perhatian dari pemerintah, rakyat akan terlantar.

Para pemimpin harus ingat bahwa separuh kakinya ada di surga dan separuh kakinya ada di neraka. Pemimpin nan adil nan akan membawa rakyatnya menuju ke arah nan jauh lebih baik, akan mendapatkan kedamaian di global dan di akhirat. Pemimpin bertanggung jawab terhadap apapun nan diperbuat oleh rakyatnya. Oleh sebab itu, pemimpin harus paham hukum agama agar ia dapat membuat peraturan nan sinkron dengan hukum nan hakiki itu. Misalnya, pemimpin nan paham bahwa kaum homoseksual itu ialah kaum nan dikutuk, tak akan membiarkan segala bentuk kampanye dan propaganda tentang kaum homoseksual terjadi di negaranya.

Dengan sekuat tenaga, sang pemimpin akan memerintahkan agar badan nan terkait dengan pembuatan atau pemutaran atau penyebarluasan segala bentuk kampanye nan akan membuat masyarakat resah dan membuat masyarakat lengah lalu masuk jurang kenistaan, tak berkembang di negaranya. Pemimpin akan tegas menyatakan bahwa kaum homo dan lesbian tak boleh hayati di negaranya. Kalau mereka tak mau bertaubat dan mencoba hayati normal, mereka harus hengkang dari negeri nan menjunjung tinggi kesucian diri.

Begitupun dengan hal-hal nan dapat membuat rakyat negeri menjadi orang-orang nan tak bertaqwa. Orang-orang nan menyebarkan paham merusak, harus diawasi dan diajak buat kembali ke jalan nan benar. Dari pemimpin nan sangat memperhatikan rakyat mulai dari kebutuhan fisik, mental, jiwa, dan spiritualitas ini, akan hadir satu kesatuan dari rakyat nan patuh kepada pemimpinnya. Ketika sinergi kepatuhan rakyat dan perhatian pemerintah bagus, maka negeri itu akan sejahtera lahir batin.

Rakyat mendapatkan kebutuhan nan diinginkannya. Pemimpintak pernah berhenti mencoba memberikan nan terbaik kepada rakyatnya. Pemimpin seperti inilah nan akan menjadi pemimpin sejati nan dibanggakan dan disanjung oleh rakyatnya. Inilah sistem demokrasi itu. Seperti nan dilakukan oleh Umar bin Khattab nan rela berkeliling ke pelosok negeri buat melihat apakah ada rakyatnya nan kelaparan. Umar tahu kalau ada rakyatnya nan lapar, itu artinya ia nan bertanggung jawab memberi mereka makan. Pantas saja kalau Umar dijanjikan surga oleh Allah Swt. Pengorbanannya sebagai seorang pemimpin memang luar biasa.

Cucunya, Umar bin Abdul Aziz, seperti itu juga dalam memimpin negerinya. Ia nan membuat rakyatnya tak ada nan berhak menerima zakat. Bahkan pembantunya mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz, sang rajalah, nan berhak menerima zakat. Masih adakah pemimpin nan rela menjadi miskin, pemimpin nan rela tak tidur sebab berkeliling negeri, demi kesejahteraan rakyatnya? Sulit menemukan pemimpin seperti itu sebab di zaman nan penuh dengan pemujaan harta global ini, semua orang berebut ingin menjadi kaya dan berebut tak mau susah dan miskin.

Apa nan ditunjukan oleh Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz itu ialah nilai-nilai demokrasi nan sesungguhnya. Keadilan milik semua orang. Rasulullah pernah mengatakan kalau Fatima, anak nan sangat dicintainya itu berbuat salah, maka adalah nan akan menghukum Fatima. Ini juga sesuatu nan sangat demokratis. Hukum nan adil merupakan salah satu karakteristik negara nan demokratis. Bahwa tak mudah menerapkan sistem nan benar-benar demokratis tanpa melakukan kesalahan dan bertamengkan demi menjunjung tinggi hak-hak azazi manusia, hal itu tetap tak dapat menghentikan menjadi satu negeri menjadi lebih adil.



Hakikat Demokrasi

Demokrasi kemudian dikenal sebagai sistem pemerintahan nan menempatkan rakyat sebagai subjek. Kekuasaan pemerintahan ada di tangan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi merupakan versus dari sistem kerajaan (feodal) atau kekuasaan mutlak perorangan atau kelompok (tiran atau rezim). Demokrasi itu menjamin semua orang buat bebas berbicara namun nan dibicarakan ialah hal nan baik dan hal nan menuju kebaikan. Bukannya bebas mengutarakan semua hal termasuk berkampanye agar menerima keberadaan kaum homoseksual nan oleh WHO sendiri dikatakan kalau kaum homoseksual ini ialah kaum nan sakit mental dan jiwanya.

Kalau makan kotoran saja mau, bagaimana dapat orang melakukan perbuatan mesum dengan sesama jenis? Padahal berbuat mesum dengan sesama jenis itu lebih dari menjijikan ketika makan kotoran manusia. Dalam buku-buku teks pun disebutkan bahwa nilai-nilai demokrasi kembali “hidup” ketika Renaissanse (sekitar abad ke-16 M) di Italia dan mencapai titik puncak saat Revolusi Prancis (1789 M) terjadi. Paham ini menyebar cepat laksana cendawan di musim hujan dan menginspirasi negara-negara Eropa maupun Amerika Perkumpulan nan baru saja berdiri pada 1776 M.

Amerika pun mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahan mereka.

Ditandai dengan adanya pembagian kekuasan menjadi tiga, yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif (perundangan-undangan), dan yudikatif (kehakiman). Terdapat prosedur checks and balances atau inspeksi dan ekuilibrium antara ketiga kekuasaan tersebut. Tiap waktu eksklusif diadakan pemilihan buat memilih presiden (eksekutif) dan senator (legislatif). Semua itu merupakan ciri-ciri demokrasi nan diterapkan oleh suatu negara.

Adanya pembagian kekuasaan itu menandakan bahwa adanya upaya saling mengawasi. Pada saat supervisi dilakukan sendiri, manusia itu dapat saja tersimpang dan merasa sangat berkuasa. Kalau ia tahu ada nan mengawasi, ia akan berhati-hati. Namun, kalau ada kolusi di antara ketiganya, itulah kiamat dunia. Negara tersebut akan menjadi negara para koruptor. Orang-orang nan ada di ketiga forum itu akan saling dukung dalam kejahatan, maka hancurlah semuanya. Bangsa Indonesia pernah atau masih mengalami semua itu.

Ketiga forum nan diharapkan akan membawa keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat senusantara, malah saling membantu merusak tatanan kerakyatan dan kenegaraan. Mereka saling berkongkalingkong memuluskan tujuannya agar dapat mendapatkam harta sebanyak-banyaknya dari negara. Sungguh suatu kejahatan nan luar biasa bila hal ini tak dapat dihentikan segera.



Indonesia Sebagai Bangsa Demokrasi

Lalu, bagaimana dengan negara Indonesia? Sejak diproklamirkan pada 1945 M, Indonesia telah menetapkan demokrasi sebagai paham nan mendasari pemerintahan walaupun, dalam sejarahnya, demokrasi Indonesia mengalami jatuh bangun dan pasang surut dalam penerapannya. Namun, hal tersebut tak memudarkan semangat bangsa ini buat tetap konsisten menjalankan asas kedaulatan nan ada di tangan rakyat.

Sejatinya, demokrasi bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Namanya memang bukan demokrasi, tetapi secara esensi memiliki titik singgung nan sama. Contoh, dalam budaya Jawa atau Melayu, telah dikenal dengan istilah rembug . Yaitu, bagaimana sebuah keputusan dihasilkan atas kesepakatan bersama antara pimpinan dan warga nan dipimpinnya.

Sebelum Indonesia didirikan, masyarakat telah lama mengenal sistem pemilihan langsung kepala desa atau kampung. Praktiknya memiliki kemiripan dengan pemilihan bupati, gubernur, atau presiden nan diadakan sekarang. Oleh sebab itu, tak sepenuhnya tepat jika demokrasi dianggap sebagai konsep impor atau produk budaya luar. Dalam praktik keseharian, demokrasi sudah lama tertanam pada budaya masyarakat Indonesia.

Jadi, sangat beralasan jika salah satu founding father Indonesia, yaitu Soekarno, mengatakan bahwa nilai-nilai demokrasi telah lama dimiliki masyarakat Indonesia. Indonesia ialah bangsa demokrasi jauh sebelum paham tersebut didengungkan oleh negara-negara di Eropa pada masa Renaissance.

Oleh Soekarno, nilai-nilai demokrasi khas bangsa Indonesia dirangkum dengan istilah Demokrasi Pancasila. Paham demokrasi nan dibangun dari nilai-nilai budaya adiluhur bangsa Indonesia. Karakteristik paling primer ialah menempatkan pengambilan keputusan pada musyawarah mufakat. Karakteristik nan merupakan ruh nilai-nilai demokrasi nan sekarang ini dipraktikkan oleh hampir sebagian besar negara-negara di dunia.