Metode Penulisan Jurnalisme Sastrawi
Bisakah memadukan antara jurnalistik dengan sastra? Sementara jurnalistik merupakan sebuah karya non-fiksi, sedangkan sastra merupakan karya fiksi, sangat berbeda 180 derajat. Jawaban dari pertanyaan itu ialah Jurnalisme Sastrawi.
Jurnalisme sastrawi mungkin dianggap sebagai model penulisan jurnalistik nan baru bagi para jurnalis di Indonesia. Namun, sesungguhnya model penulisan semacam ini telah ada dan berkembang di mancanegara sejak era 60-an. Hal itu dimulai dengan sebuah laporan jurnalistik dari seorang jurnalis berkebangsaan Amerika dari media The New Yorker, John Hersey.
Ia menulis laporan tentang ledakan bom di Kota Hiroshima dengan judul “Hiroshima”. Tulisannya tersebut dianggap sebagai sebuah karya jurnalisme sastrawi pertama dan selalu menjadi surat keterangan dalam setiap pelatihan jurnalisme seperti ini. Dalam proses penulisan laporan tersebut, ia berkunjung ke Jepang selama tiga minggu dan mewawancarai para korban bom atom di Kota Hiroshima, lalu semua dokumentasi tersebut ia kumpulkan dengan teknik reportase seperti biasanya tapi ditulis dengan gaya sastra ; naratif.
Sebuah sumber menyatakan bahwa di Indonesia jurnal seperti ini baru bertumbuh pada era 90-an, namun Tempo di era 70-an telah menggunakan gaya penulisan semacam itu. Sumber tersebut pun menyatakan bahwa istilah Jurnalisme Sastrawi dianggap tak relevan dalam merepresentasikan sebuah metode jurnalistik nan berpadu dengan muatan sastra.
Penilaian akan adanya kesalahan dalam memaknai sebuah kaidah bahasa pun muncul. Literary journalism , pada akhiran –ism dalam bahasa Inggris bukan berarti paham atau suatu aliran, tapi juga sering mengindikasikan suatu kata benda. Sehingga ia memaknai istilah Jurnalisme Sastrawi berarti genre jurnalistik nan bersifat atau berkaidah sastra, dan iapun menganjurkan istilah jurnalistik sastrawi.
Terlepas dari sahih atau tidaknya pendapat tersebut, namun kedua istilah tersebut setidaknya mengacu pada pengertian nan sama.
Secara singkat, jurnal ini merupakan sebuah cara dalam menyampaikan warta dengan memadukan antara metode jurnalistik (non-fiksi) dengan metode sastra (fiksi). Karena itu, jurnalisme ini bukan karya fiksi, hanya cara penyajiannya nan menggunakan karya fiksi. Karya jurnalisme ini tetap merupakan sebuah karya jurnalistik, tapi ditulis secara lebih mendalam daripada karya jurnalistik pada umumnya sebagaimana sebuah novel (karya sastra).
Jurnalisme Sastrawi dengan Feature
Kita tahu bahwa feature secara singkat merupakan sebuah metode penulisan warta dengan gaya “bercerita “ atau fiksi, atau bisa juga dikatakan sebagai “Sastrawi”. Jurnalisme sastrawi pun memiliki makna nan serupa. Keduanya sama-sama tetap menggunakan teknik penulisan jurnalistik dasar (5w+1H), dan ”dihiasi” dengan keterampilan menulis narasi sebagaimana nan terdapat dalam sebuah cerpen atau novel.
Keduanya memang lebih banyak memiliki kecenderungan daripada perbedaan, bedanya hanya satu; jurnal ini lebih mendetail daripada feature , sehingga membutuhkan waktu nan lama, keterampilan menulis fiksi nan baik, serta membutuhkan kertas nan lebih banyak dari feature . That’s all !
Anda tentunya paham akan disparitas antara cerpen dengan novel, bukan? Feature bisa diibaratkan sebagai sebuah cerpen, sementara jurnalisme sastrawi ialah novelnya. Sehingga seperti sebuah novel, aspek detail dari jurnalisme sastrawi lebih komplet bila dibandingkan dengan feature .
Metode Penulisan Jurnalisme Sastrawi
Sebagaimana telah penulis sebutkan dari awal bahwa jurnalisme jenis ini lebih panjang dan mendalam bila dibandingkan dengan feature . Dari pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa jurnalisme sastrawi berdasarkan pada 5W+1H namun diinterpretasikan secara lebih meluas dan mendalam sehingga menghasilkan sesuatu nan lebih detail, dan kuat.
Who menjelma menjadi sebuah karakter dengan kepribadian nan kompleks dan serasa nyata, What menjelma menjadi sebuah alur cerita nan cermat dan terperinci, Where menjelma menjadi sebuah setting lokasi nan digambarkan secara mendetail, When menjelma menjadi sebuah kronologi waktu kejadian nan diungkapkan dengan senyata mungkin, Why menjadi faktor atau motif dari sebuah kejadian, dan How tersebut menjadi citra mendetail atau narasi nan dipaparkan seperti halnya sebuah karya sastra.
Menurut Robert Vare, seorang jurnalis dari media The New Yorker, mengatakan bahwa terdapat tujuh pertimbangan dalam menuliskan narasi di dalam sebuah jurnalisme baik sastrawi maupun bukan, ketujuh pertimbangan tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :
1. Fakta
Harus selalu Anda ingat bahwa meskipun jurnalisme sastrawi mengandung unsur sastra, namun jurnal ini tetap merupakan sebuah karya jurnalistik nan memuat fakta secara utuh (100%). Sehingga, segala unsur di dalamnya harus merupakan sebuah fakta, baik itu berupa karakter, lokasi, adegan, hingga nama orang nan terdapat pada global nyata. Ini nan paling penting; fakta!
2. Konflik
Sebagaimana sebuah novel, terdapat pula konflik di dalam sebuah karya jurnalisme sastrawi. Umumnya, konflik ini dibangun dari tiap peristiwa besar nan bisa menegangkan pembaca apabila ditulis di dalam sebuah berita, kemudian dinarasikan secara mendetail hingga bisa menghasilkan citra nan benar-benar hidup.
Konflik juga dapat berupa sebuah disparitas pandangan antar pihak, tapi ingat bahwa jurnal ini merupakan fakta. Sehingga konflik nan dihadirkan pun harus juga berupa fakta, tak dilebih-lebihkan sebagaimana sebuah karya sastra.
3. Karakter
Karakter juga merupakan fakta, real, tanpa sedikit pun rekayasa. Sehingga mulai dari nama, kepribadian, hobi, kebiasaan, hingga baik dan buruknya orang itu merupakan sebuah kenyataan. Sehingga, bila Anda berniat buat merekayasa sebuah karakter di dalam jurnalisme jenis ini Anda dapat saja dituntut oleh karakter nan bersangkutan. Kecuali bila bermaksud menjadikan karya tulis sebagai sebuah novel atau karya sastra, Anda tak perlu takut buat dituntut oleh siapapun.
4. Akses
Pengertian dari istilah akses dalam penulisan jurnalisme sastrawi ialah sebuah media nan bisa menjembatani antara tiap-tiap karakter nan akan dituliskannya. Akses tersebut dapat saja berupa, dokumen, korespondensi, foto, catatan harian, kawan, saudara, kenalan, bahkan musuh. Dan sekali lagi, harus merupakan fakta, dan saling berkaitan satu sama lain antara beberapa karakter tersebut.
5. Emosi
Emosi dapat merupakan rasa benci, cinta, sedih, duka, dan simpati. Emosi berfungsi buat menghidupkan sebuah cerita, dan ini pun sangat berguna bila diterapkan ke dalam sebuah laporan jurnalisme sastrawi. Anda mungkin akan terbawa dan larut ke dalam cerita nan dituangkan ke dalam sebuah karya sastra baik itu berupa sebuah cerpen atau novel, ini merupakan akibat dari kemahiran sang sastrawan dalam mengolah sebuah karya sastra.
Hal ini juga berlaku bagi seorang jurnalis-sastrawi, semakin baik karya jurnalisme sastrawinya, maka pembaca akan terbawa dalam suasana nan dirangkai olehnya di dalam laporannya.
6. Perjalanan Waktu / Time Series
Jurnalisme biasa maupun sastrawi, tentu harus mampu mengetengahkan sebuah alur waktu dari satu kejadian ke kejadian nan lain secara mudah dipahami atau tak membingungkan. Terlebih lagi bila Anda ingin menggunakan kronologi waktu nan acak. Misalnya dari maju ke mundur, atau dari mundur-pertengahan-maju lagi, atau mungkin maju kena mundur kena (lho?).
7. Kebaruan
Salah satu syarat sebuah karya jurnalistik ialah Up-To-Date . Sehingga tak diperkenankan memuat sebuah laporan nan usang, lama, dan diulang-ulang. Ini merupakan sebuah laporan nan dianggap “basi” atau “out-of date”. Sehingga diharuskan agar sebelum menulis sebuah laporan, perhatikan dulu, apakah peristiwa tersebut telah ditampilkan oleh jurnalis selain Anda ?
Sebenarnya masih banyak metode penulisan pada jurnal ini nan belum dicantumkan di artikel ini, tapi setidaknya beberapa pemaparan di atas mudah-mudahan bisa membuat Anda memahami seluk-beluk metode penulisan jurnalisme model ini, serta segala tektek-bengeknya.
Harapan dari penulisan artikel tentang jurnalisme sastrawi ini ialah agar pembaca nantinya dapat memahami disparitas antara buku berjudul “Hiroshima” dengan buku-buku lainnya seperti “Laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, “Edensor”, maupun “Ketika Cinta Bertasbih.”