Aspek Ijma'

Aspek Ijma'

Ijma’ merupakan salah satu dari beberapa sumber hukum Islam atau sumber ajaran agama Islam selain Al-Qur’an, Hadist dan Qiyas. Walaupun sudah banyak kaum muslim nan mengetahui akan sumber-sumber hukum Islam ini, tapi sporadis dari kita nan mengerti dan memahaminya.



Definisi

Ijma’ ialah suatu kesepakatan nan diambil oleh para ulama mengenai hukum syara’ tentang suatu masalah nan timbul. Kesepakatan atas masalah inilah nan di sebut dengan Ijma’. Sedangkan dasar hukum Ijma’ itu sendiri berasal dari Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 59 disebutkan, “ Hai orang-orang nan beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu ”. Mengenai Ijma’ ini Rasulullah sendiri bersabda ” Umatku tak akan bersepakat buat melakukan kesalahan ." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)



Rukun Ijma'

Menurut syariat Islam, setiap sumber ajaran agama Islam harus memiliki rukun-rukun nan mesti dipenuhi. Adapun rukun nan sine qua non dalam suatu Ijma’ ialah :

  1. Ketika terjadi suatu kesepakatan tersebut, harus di hadiri oleh beberapa orang ulama.
  2. Hendaknya di sepakati oleh beberapa ulama di global Islam
  3. Ijma’ harus di sepakati dan diumumkan secara tegas oleh alim ulama.
  4. Kesepakatan akan Ijma’ haruslah sebuah kesepakan nan bulat dari semua ulama nan hadir.


Aspek Ijma'

Di buku-buku fikih dan kitab ushul fikih diterangkan bahwa Ijma’ terbagi atau bisa dilihat dari beberapa aspek.

1. Ijma’ dibedakan dari segi , yaitu :

  1. Ijma’ Sharih, merupakan kesepakatan ulama tentang suatu kejadian dengan mengemukakan pendapat masing-masing ulama secara jelas dengan memberikan suatu fatwa.
  2. Ijma’ syukuty, Ijma’ nan dikeluarkan oleh ulama dan memberikan fatwa terhadapnya, sedangkan ulama lainnya tak memberikan pendapat ataupun menentangnya.
  3. ljma`qath`i, Ijma’ nan sebenar-benar kejadiannya dan tak ada kemungkinan lain dari kejadian itu menetapkan Ijma’ dengan hasil nan berbeda.
  4. Ijma’ zhanni, bahwa Ijma’ nan dihasilkan itu mempunyai kemungkinan nan berbeda dari ijma’ nan ditetapkan pada waktu nan berbeda.

2. Ijma’ berdasarkan keyakinan terjadinya Ijma’ :

  1. Ijma’ sahabat
  2. Ijma’ khulafaurrasyidin
  3. Ijma’ Abu Bakar dan Umar
  4. Ijma’ ulama madinah
  5. Ijma; ulama khufah
  6. Ijma’ itrah (golongan syiah)


Obyek Ijma'

Hal-hal atau kejadian nan boleh dijadikan obyek Ijma` ialah semua kejadian nan tak mempunyai dasar di dalam Al-Qur’an dan hadits seperti ibadah ghairu mahdah atau ibadah nan tak langsung kepada Allah, dan di bidang muamalah (perdagangan), kemasyarakatan dan bidang-bidang lain nan tak mempunyai dasar di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka Ijma’ dapat kita pakai sebagai sumber ajaran agama Islam.

Ijma’ nan dikeluarkan oleh ulama baik para imam ataupun Ijma’ oleh ulama kita telah ditimbang dan diperhatikan secara sempurna, sehingga kita wajib mentaati. Karena para imam atau ulama telah bermufakat jika ada seseorang nan melanggar Ijma’ ini dapat di golongkan kepada kafir atau murtad dalam keadaan tertentu.



Legalitas Ijma’

Para ulama melandaskan legalitas ijma’ sebagai dalil syar’I pada dalil al-Qur’an dan Sunnah.

Adapun dalil al-Qur’an nan kerap dijadikan legalitas ijma ialah firman Allah Swt:

“Dan Barangsiapa nan menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan nan bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan nan telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk loka kembali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 115)

Dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang nan mengikuti jalan selain jalan kaum muslimin dengan azab nan pedih, maka dengan begitu wajib mengikuti jalan kaum muslimin, yaitu sesuatu nan sudah disepakati oleh para imam melalu lidah para mujtahid sebab mereka nan memiliki kapasitas buat menjelaskan hukum syariat.

Firman Allah Swt. lainnya nan dijadikan dalil juga adalah

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Allah Swt. melarang kita berpecah belah dan berselisih, sehingga menentang ijma’ hukumnya haram dan termasuk embargo dalam ayat di atas. Dari sini jelaslah bahwa ijma’ merupakan dalil nan harus diamalkan.

Sedangkan dari sisi Sunnah, ada cukup banyak hadis nan menyebutkan tentang hujjah-nya ijma’. Antara lain:

  1. “Apa nan dilihat kaum muslimin baik maka ia di sisi Allah baik.”
  2. “Umatku tak akan sepakat terhadap kesesatan.”
  3. “Umatku tak akan sepakat terhadap kesalahan.”

Semua hadis di atas menunjukkan tentang kehujjahan ijma’ dan wajib diamalkan. Meski hadis nan disebutkan di atas ialah hadis ahad, namun secara holistik bisa menjadi hadis mutawatir makna, yaitu tentang keterjagaan umat dari melakukan kesepakatan terhadap sesuatu nan salah.



Sanad Ijma’

Jumhur ulama mengatakan, ijma sine qua non sanad nan dijadikan dalil sebagai acum oleh para mujtahidin dalam menentukan hukum syar’I bagi masalah nan mereka hadapi sehingga jauh dari noda berbicara agama tanpa ilmu, dorongan hawa nafsu, atau motif inkonstitusional Dan ini sama artinya dengan membuat syariat baru nan tak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Sanadnya Ijma’dapat berupa nash Al-Qur’an, sunnah atau qiyas. Contoh ijma’ nan sandarannya ialah al-Qur’an ialah kesepakatan para mujtahid tentang haramnya menikahi nenek, karena sandarannya ialah firman Allah Swt. “Telah diharamkan bagi kalian ibu-ibu kalian” karena maksud dari kata ibu ialah nan asal secara mutlak, yaitu setiap orang nan dinasabkan kepadanya dan nenek masuk dalam kategori ini.

Contoh ijma’ nan bersandarkan kepada nash sunnah ialah kesepakatan para mujtahid tentang embargo membeli makanan nan belum diterima oleh si pembeli dari tangan si penjual. Sandaran ijma’ ini ialah hadis Nabi Saw. “Barang siapa nan menjual makanan maka janganlah ia menjualnya kembali sebelum ia menerimanya.”

Contoh ijma’ nan sanadnya qiyas ialah kesepakatakn para sahabat tentang khalifah Abu Bakar dengan perbandingan pengangkatan beliau sebagai imam shalat oleh Rasulullah Saw. Inilah nan mereka katakan, “Rasulullah Saw. ridha kepadanya dalam urusan shalat mengaka kita tak ridha dengan kepemimpinannya dalam urusan dunia?”



Bolehkah Qiyas Menjadi Sandaran Ijma’?

Tentang kebolehan Qiyas menjadi sandaran ijma terjadi disparitas pendapat nan terbagi ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama nan membolehkan. Dengan menguraikan dengan tiga alasan:

  1. Qiyas ialah salah satu jalan menetapkan hukum syara’. Karena itu, qiyas bisa dijadikan sandaran ijma’ sebagaimana dalil-dalil nan lain.
  2. Terjadi ijma’ atas haramnya lemak babi sebab diqiyaskan dengan dagingnya
  3. Terjadi ijma’ atas kekhalifahan Abu Bakar sebab diqiyaskan dengan keimamannya dalam shalat.

Kelompok kedua, tak membolehkan qiyas sebagai sandaran ijma’. Dengan menguatkan melalui dua alasannya:

  1. Kalau terjadi ijma’ berdasarkan qiyas, tentulah seorang mujtahid bisa menyanggahnya. Sebab qiyas dapat disanggah. Menyanggah pokok yaitu qiyas, berarti pula menyanggah cabangnya, yaitu ijma’
  2. Para ulama tak sepakat pendapatnya tentang kehujjahan qiyas. Kondisi demikian menimbulkan disparitas tentang kehujjahan ijma. Seorang nan tak mengakui kehujjahan qiyas, tak akan mengakui kehujjahan ijma’.

Semoga kita bisa memahami bahwa ijma’ itu ialah salah satu dari sumber ajaran agama Islam nan wajib ditaati dan membawa kedamaian didalam kehidupan bermasyarakat. Amin.