Menulis Itu Adalah Tuangan Jiwa
Karya fiksi nan sangat menjiwai kadang bisa mempengaruhi pembacanya sedemikian dalamnya sehingga pembaca tersebut ingin sekali menjadi seperti karakter nan ada di dalam karya fiksi tersebut. Seorang penulis fiksi biasanya akan menggambarkan sesuatu berawal dari apa nan ada dalam diri dan lingkungannya. Pengalaman hayati dan etos sang penulis niscaya akan tergambar dengan cukup baik dalam karya-karyanya. Hal inilah nan dapat dikatakan bahwa karya itu mencerminkan sebuah metamorfisis autobiografi secara tak langsung.
Kisah Penulis dalam Karyanya
Permulaan penulisan kisah sebuah karya fiksi diawali dengan adanya inspirasi nan terlahir dari pengamatan, pengalaman, penganalisisan, dan penghayatan dari semua pengamatan dan pengalaman tersebut. Bagi seorang penulis, menulis ialah tuangan perubahan dari energi metafisis ke energi tembus pandang nan mampu mengungkapkan apa nan orang lain tidak mampu ungkapkan. Pengungkapan dengan kata-kata nan begitu menarik para pembaca buat melanjutkan bacaannya hingga akhir kisah menjadi satu hal nan sangat menantang bagi semua penulis.
Walaupun sebenarnya apa nan dituliskan oleh seorang penulis itu sederhana saja. Yang membuatnya tak sederhana ialah alur kisah dan rangkaian konflik nan diramu sedemikian rupa sehingga menjadi satu cerita nan seolah benar-benar terjadi. Alur nan seperti itu tak serta merta berasal dari khayalan saja. Banyak penulis nan memasukkan apa nan terjadi sebenarnya ke dalam karyanya. Misalnya novel dengan judul WANGI nan diterbitkan oleh Diva Press. Novel nan cukup tebal ini menawarkan detail cerita nan cukup menarik.
Penulisnya mengungkapkan bahwa hampir 70% kisah dalam novel WANGI itu ialah kisah konkret nan dialami oleh penulis dan orang-orang nan ada dalam kehidupan penulis. Hampir semua citra lingkungan nan ada di novel itu dapat ditemui di kehidupan nyata. Hanya saja citra itu ada nan dibuat sedikit lebih bagus dari kenyataannya atau dibuat sedikit lebih buruk agar dapat masuk ke dalam cerita itu dengan baik. Penulis WANGI juga mengatakan bahwa novel itu ialah doa-doa dan asa penulisnya nan mungkin hingga kini belum juga terwujud.
Kisah konkret nan seperti autobiografi nan dikemas dalam kisah fiksi ini tak tak hanya terlihat dalam novel WANGI. Masih banyak karya lain termasuk juga karya para penulis peraih penghargaan dibidang sastra taraf internasional. Para penulis itu akan dengan sangat mudah memasukkan apa nan telah dialami dan dirasakannya pada saat pembuatan novel itu ke dalam alur kisah nan sedang digarapnya.
Diari Besar
Dalam perjalanan selanjutnya ialah bahwa kisah itu mungkin akan menjadi sebuah diari besar kehidupan penulisnya sendiri. Inilah nan disebut dengan metamorfisis autobiografi. Bila ditanya apakah kisah dalam novel tersebut merupakan kisah nyata, maka sang penulis akan mengatakan bahwa mungkin atau beberapa persen iya. Akan sangat sulit buat tak terpengaruh oleh kisah pribadi ketika membuat satu kisah fiktif. Dalam kisah itu terkadang penulis menggambarkan keinginannya dengan sangat jelas ke dalam obrolan atau keinginan para karakter dalam kisah itu.
Kalau pertanyaannya dilanjutkan dengan apakah kisah konkret itu merupakan kisah konkret hayati penulisnya sendiri, maka penulis juga akan menjawab mungkin. Penulis memang tidak mampu berbohong. Suatu kelegaan nan dirasakan ketika kisah konkret tersebut terbungkus dalam kisah fiksi yang latif dan tidak ada nan tahu kejadian sesungguhnya kecuali penulisnya sendiri.
Kisah cinta nan dialami oleh penulis kisah fiksi sering juga menjadi bagian dari alur cerita. Berbagia asa dan impian tertulis latif melalui ‘tangan-tangan’ karakter ciptaan. Novle itu seperti sebuah kisah kehidupan nan diatur oleh seorang pengarah adegan nan disebut sebagai seorang penulis. Tidak sporadis bahkan satu kisah nan begitu menyayat hati merupakan jeritan batin sang penulis. Tidak banyak penulis nan sangat beruntung dari sisi ekonomi. Inilah nan membuat satu kisah itu sangat menyentuh. Penulis nan sedang mengalami derita batin dan tekanan jiwa nan berat kadang mampu membuta karya nan sangat disukai. Ruh sang penulis tertuang dengan baik dalam karya-karyanya.
Kisah Hayati Novelis dalam Karya Fiksinya
Menulis itu ialah vitamin jiwa. Para penulis sering kali melarikan derita nan dialaminya ke dalam kisah nan tak selalu sedih. Ada banyak penulis nan membuat kisah nan begitu ceria dengan karakter nan penuh dengan dinamika, padahal kehidupan konkret penulis tersebut begitu menyedihkan. Ia mungkin juga seorang pendosa nan begitu menyesali perbuatannya dan mengadukan kegelisahan hatinya dengan cara menulis sesuatu nan paradoksal dengan keadaannya sebagai satu terapi agar jiwanya tak bersedih lagi.
Sebaliknya, ada juga penulis nan menulis kisah hidupnya nan sengsara dalam satu cerita nan sangat menyedihkan. Kisah hayati Tolstoy dalam karya-karyanya nan begitu menyayat hati ialah refleksi kehidupan pribadi dan orang-orang di sekitarnya. Penjiwaan nan begitu dalam merupakan buah dari penghayatan hayati nan kadang tidak tertahankan. Saluran energi lewat pengungkapan rasa melalui alur cerita paling tak dapat menghibur penulis.
Charles Dickens dalam ‘David Copperfield’ juga tidak mampu menyembunyikan bahwa kisah itu sedikit banyak ialah kisah pribadinya. Banyak pengamat nan meyakini bahwa David ialah Dickens kecil dan selanjutnya kisah itu diselimuti dengan bingkai fiksi nan latif sehingga autobiografi penulis tersembunyi dengan cantiknya dalam kisah nan menghanyutkan.
Andrea Hirata, pengarang Laskar Pelangi dan novel-novel lainnya juga memasukan autobiografi hidupnya dalam bingkai kisah fiksi yang latif nan sangat menginspirasi. Novel Tanjung Cinta terbitan Penerbit Republika juga sedikit banyak menceritakan kisah sang penulis. Memang tak banyak pembaca nan akan menduga hal ini kecuali pembaca nan mungkin agak mengenal kisah hayati penulisnya.
‘Eat, Pray, Love’ karya Elizabeth Gilbert juga menceritakan autobiografi nan dibungkus ala fiksi yang latif sehingga kisah ini begitu digemari terutama oleh wanita-wanita nan merasa mempunyai kemiripan rasa. Pengungkapan dan pemilihan alur cerita nan rapi dan terorganisir dengan baik bisa membuat cerita itu tidak terlalu menyinggung perasaan orang-orang nan karakternya dimasukkan ke dalam kisah itu.
Novel-novel karangan Pramudya Ananta Toer nan pernah dilarang beredar ialah juga autobiografi hebat nan ditakutkan akan mempengaruhi orang lain. Kedahsyatan alur cerita novel-novel tersebut membuat pemerintah sangat khawatir. Penulis tidak mungkin mampu membendung keinginan buat menuliskan sesuatu. Jadi gaya tutur Pramudya ialah gaya bertutur jujur dan tidak ingin menutupi apapun. Tapi ada novelis lain nan agak menyamarkan keberadaan pengalaman pribadinya dalam kisah fiksinya.
Menulis Itu Adalah Tuangan Jiwa
Setiap penulis mempunyai teknik tersendiri buat mengungkapkan tentang dirinya dalam setiap karya. Dia tidak mau orang lain tahu siapa dirinya nan sebenarnya. Ini gaya para penulis nan cukup berpengalaman. Lain dengan para penulis pemula. Biasanya mereka dengan terang-terangan mengatakan bahwa kisah nan ditulisnya merupakan kisah pribadinya. Siapa nan ingin mengetahui kisah pribadi seorang penulis nan belum terkenal? Untuk apa mengetahui kehidupan penulisnya kalau tak ada kegunaan atau informasi krusial nan sangat menggugah.
Kalau hanya romansa monyet lalu romansa itu putus di tengah jalan walaupun telah main kucing-kucingan selama sekian lama, kisah seperti ini dimiliki oleh hampir semua orang. Jadi, untuk apa membaca kisah nan juga dialami oelh orang lain kalau cara pengungkapannya tidak menarik? Penulis itu harus sangat pandai menyembunyikan kisah hidupnya dalam setiap karyanya. Kalau dapat biarkan para pembaca nan merasa penasaran apakah kisah itu ialah kisah konkret atau bukan.
Kalau satu kisah itu terlihat begitu jelas mengenai kisah penulisnya nan kadang tak menarik, tulisan itu menjadi garing. Menjadikan satu karya sebagai ‘diari colongan’ tak menjadi masalah sebab menulis itu merupakan tuangan jiwa. Namun, caranya harus sangat halus. Samarkan dengan nama-nama nan menarik atau sebarkan informasi pribadi itu ke banyak karakter sehingga para pembaca tak dapat menebak seperti apa penulis itu sebenarnya.
Novel-novel nan latif nan ditulis oleh para penulis terkenal itu juga merupakan tuangan jiwa penulisnya nan memasukan unsur kisah pribadi di dalamnya. Cara mereka merangkai kisah membuat cerita dalam novel terlihat sangat mengalir dengan lancar bagai genre air. Kisah seperti ini tak membuat para pembaca merasa harus berpikir keras bagaimana memahaminya.