Dialog Kisah Musa dan Pemahaman Modern
Obrolan kebudayaan sangat krusial bagi masyarakat global dewasa ini, terutama obrolan kebudayaan masa lalu dan masa kini. Mengapa demikian? Karena seiring dengan hadirnya modernisasi, semua hal nan berbau tradisional seperti dihancurkan dan tak diberi kesempatan di global modern.
Kebanyakan semua nan berbau tradisional dianggap sebagai sampah, menolak kemajuan zaman, dan hanya dimiliki oleh orang-orang nan terbelakang. Padahal, sebenarnya banyak hal-hal nan berbau tradisional nan sebenarnya sangat canggih dan bahkan tak dapat diatasi atau dilewati oleh masyarakat modern. Dibutuhkan kecerdasan dan kearifan masyarakat modern buat membuka dialog pada kebudayaan di masa lalu sehingga masyarakat modern tak diibaratkan sebagai kacang nan lupa kulitnya.
Dialog dengan budaya masa lalu dapat dimulai dari membaca kisah-kisah nan dianggap sebagai kisah kolot, kisah terlalu agamis, tak modern, dan ketinggalan zaman. Dapat dipastikan, andai masyarakat modern benar-benar mau membaca kisah masa lalu berupa dongeng atau fabel atau cerita rakyat, mungkin mereka akan terkesima melihat kemampuan masyarakat masa lalu nan menjangkau sisi spiritualitas nan lebih tinggi. Obrolan ini dapat dilihat andai kita mampu pandai-pandai membaca tanda. Sebagai contoh ialah obrolan atas kisah Nabi Musa dan padanannya di berbagai masyarakat dunia; dan obrolan tentang turunnya Nabi Adam ke dunia.
Dialog Budaya Kisah Nabi Musa
Di global ini, jika kita pandai-pandai mencari informasi, akan sangat mudah dicari kisah nan memiliki prototipe berikut: seorang anak dilahirkan pada masa sulit, kemudian tak mungkin dibesarkan sebab mengalami kelainan, dimasukkan ke dalam peti, dialirkan ke sungai, selamat di sebuah tempat, berhasil di tanah perantauan, dan kembali ke kampung halaman dengan senang dan penuh kemenangan.
Di Indonesia, ada dua kisah nan mirip, yaitu kisah Si Tanduk Panjang dari Sumatera dan Ciung Wanara di Jawa Barat. Dalam kisah Si Tanduk Panjang, dikisahkan ada sebuah keluarga nan memiliki anak bertanduk panjang. Karena kelainan, anak ini dialirkan ke sungai dengan dimasukkan ke dalam peti. Di samping sang anak, diletakkan sejumput beras dan sebutir telur sebagai teman. Kakak anak ini mengetahui perbuatan ayah-ibunya. Maka, kakak ini pun mengikuti kemana pun peti itu dialirkan.
Kalau terdengar suara tangisan di peti, sang kakak bernyanyi agar adiknya itu mengambil sebutir beras sebagai makanan. Sementara, kalau ada suara ayam berciap (telur tadi sudah menetas), maka sang kakak bernyanyi pula agar sang adik memberikan sebutir beras pula kepada anak ayam. Suatu saat peti tersebut terdampar di tepian sungai. Sang kakak buru-buru menghampiri dan membuka kotak. Tak disangka di sana sudah ditemuinya sang adik nan sudah gagah dan sedang mendekap ayam jago. Dengan ayam jago ini kakak dan adik ini bertamu ke sebuah kampung.
Ayam jago itu diadu dengan ayam jago lain milik tetua kampung. Di luar dugaan, ayam jago Si Tanduk Panjang menang. Bahkan, kelak ayam jantan ini tidak terkalahkan sehingga Si Tanduk Panjang kaya raya dan dapat pulang ke kampung halaman. Kisah ini seakan memiliki dialog dengan kisah Nabi Musa.
Seperti nan diketahui kebanyakan orang, Nabi Musa memiliki kisah nan sangat mirip dengan kisah Si Tanduk Panjang. Dalam hal ini, Nabi Musa juga memiliki "kelainan", yaitu ancaman Firaun akan membunuh anak lelaki Bani Israel nan saat itu bermukim di Mesir. Saat itu, demi keamanan sang anak, ibu Nabi Musa memasukkan Musa ke dalam tabut dan mengalirkannya ke sungai. Tak diduga, genre sungai itu mencapai istana Firaun. Di sinilah terjadi dua versi.
Di Injil disebutkan bahwa nan mendapatkan Nabi Musa ialah anak perempuan Firaun. Sementara, di Al quran nan menemukan ialah istri Firaun, Asiyah. Yang jelas, Musa kemudian diasuh oleh keluarga Firaun nan memusuhinya hingga akhirnya ia kembali ke pangkuan ibunya dengan cara rahasia, yaitu Allah mencegah agar Musa tak mendapatkan ibu susu, kecuali ibunya sendiri. Hal ini dijelaskan oleh Q.S. Al-Qashah:12-13 berikut ini:
"Dan Kami tangkal Musa buat menyusu kepada perempuan-perempuan nan mau menyusuinya. Maka berkatalah saudara Musa kepada istri Firaun, 'Maukah kamu saya tunjukkan kepadamu ahlul bait nan akan memeliharanya untukmu dan mereka bisa berlaku baik kepadanya?' Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya hati sang ibu senang dan dan tak berduka cita. Pengembalian ini Kami lakukan agar ibu Musa mengetahui bahwa janji Allah itu ialah benar, tetapi kebanyakan manusia tak mengetahuinya."
Masih banyak cerita lain nan seolah mempunyai obrolan dengan cerita Nabi Musa ini di seluruh dunia.
Dialog Kisah Musa dan Pemahaman Modern
Kebanyakan orang modern mengira bahwa kisah di atas hanyalah dongeng belaka. Bahkan, dongeng ini hanya berlaku buat anak kecil saja. Padahal tak demikian. Seharusnya, masyarakat modern keluar dari perangkap berpikir nan menyesatkan dan memulai obrolan dengan masa lalu. Kisah ini ialah misteri tentang ruh manusia. Ruh Manusia berasal dari ibu nan melambangkan Tuhan. Ruh ini dimasukkan ke dalam peti atau dimasukkan ke dalam tubuh.
Sekilas, mana mungkin Si Tanduk Panjang atau Musa akan bertahan hayati dengan dimasukkan ke dalam peti nan jelas-jelas akan menyengsarakannya ketika membutuhkan air susu ibu? Sama seperti ruh. Bagaimana mungkin ruh nan tak terbatas bisa bertahan di dalam tubuh nan sangat terbatas unsur materi? Namun, semua itu memang harus terjadi. Peti Si tanduk Panjang dan Nabi Musa dialirkan ke sungai mencapai ke tanah perantauan dan rumah Firaun. Kedua loka tujuan ini sama-sama asing. Ruh nan masuk dalam tubuh diasingkan pula di dunia.
Bahkan, Si tanduk panjang dan Nabi Musa tinggal di tanah asing tersebut. Maka, pesan krusial di sini adalah, ruh manusia memang dibawa ke bumi dan tinggal di tanah asing ini. Namun, tanah asing ini sebenarnya kejam. Sama seperti Firaun nan hendak membunuh Musa, bukan tak mungkin ruh akan terjerat pada hal-hal duniawi selama berada di dunia. Yang dibutuhkan ruh ialah melakukan obrolan dengan alam asalnya (alam ruh/Akhirat) sekaligus melakukan obrolan pula dengan dunia.
Ruh memang tinggal di bumi. Namun, ia harus menyadari kefanaan global ini. Suatu saat, seperti halnya Si Tanduk Panjang dan Nabi Musa, ruh akan kembali ke pangkuan "Ibu" (Allah). Maka, prinsipnya, kita boleh tinggal di dunia, tapi tak dapat terhanyut di dalamnya. Kita harus senantiasa melakukan obrolan dengan loka asal kita (Akhirat) melaui ibadah dan upaya penghancuran ego diri. Kita mungkin melakukan obrolan pula dengan dunia. Namun, seperti Musa, orang-orang nan beriman akan dihalangi Allah dari tindakan menyusu pada ibu lain, tindakan takluk dan bersujud pada hal-hal selain Allah.
Nah, melihat fenomena misteri ini, jelas bahwa hal-hal nan sifatnya tradisional tak dapat semudah itu saja dianggap terbelakang. Bahkan, cerita ini, sama seperti cerita Adam dan Hawa nan melambangkan ruh dan jiwa nan terjun ke global (memakan buah khuldi) menampung kecerdasan tradisional nan tak dapat ditangkap masyarakat modern nan skeptis. Yang dibutuhkan ialah dialog berkelanjutan dengan misteri masa lalu sehingga global modern dapat mengejar ketertinggalan di bidang spiritual.