Ladang
Kerap terjadi kesalahpahaman tentang suatu suku bangsa di Indonesia. Suku Sunda , misalnya, sering disebut-sebut sebagai kelompok etnis nan berasal dari bagian barat Pulau Jawa, tepatnya mencakup wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Pendapat seperti ini memberikan arti Suku Sunda hanya berada di Jawa Barat. Padahal, di luar Jawa Barat, tepatnya di dua kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Brebes dan Cilacap, sebagian masyarakatnya ialah Suku Sunda.
Sebaliknya, di Jawa Barat pun tak semua penduduknya Suku Sunda. Warga Cirebon bukanlah Suku Sunda. Demikian pula warga Indramayu. Baik warga Cirebon maupun Indramayu mayoritas memiliki bahasa sehari-hari nan bukan Sunda, melainkan bahasa Cirebon dan Indramayu.
Suku Sunda ialah etnis dengan populasi kedua terbesar di negeri ini, setelah etnis Jawa. Sekitar 15,41% penduduk Indonesia ialah orang Sunda. Sebagian besar orang Sunda menganut agama Islam, tetapi masih banyak masyarakat nan menganut kepercayaan leluhur mereka, percaya kepada kekuatan-kekuatan supranatural, nan berasal dari kepercayaan animisme, Hindu, serta agama Sunda kuno.
Jawa Gunung
Masyarakat Sunda bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda. Namun, makin lama masyarakat Sunda makin meninggalkan bahasa mereka dan lebih bahagia bercakap-cakap memakai bahasa Indonesia kepada anak mereka. Terutama, warga Sunda nan tinggal di perkotaan, misalnya di Kota Bandung dan kota-kota nan dekat dengan Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Banyak tokoh Sunda nan risi bahwa suatu saat tidak lama lagi bahasa Sunda akan punah.
Meskipun bahasa Sunda itu hanya satu, banyak sekali dialek dalam bahasa ini. Hampir tiap daerah memiliki lagu bahasa dan kosa kata nan berbeda-beda. Masyarakat Banten, Bandung, Ciamis, Bogor, Kuningan, Brebes, dan lain-lain memiliki dialek masing-masing nan khas.
Bahasa Sunda, terutama di wilayah Priangan (Bandung, Cianjur, Sumedang, Tasikmalaya, dan beberapa daerah lain) memiliki strata bahasa, nan dinamakan undak-usuk . Strata itu meliputi bahasa halus, bahasa menengah ( loma ), dan bahasa kasar. Adanya undak-usuk itu terjadi sebab pengaruh bahasa Jawa pada zaman Kerajaan Mataram (Islam). Saat itu, para bangsawan Sunda ( menak ) menempatkan bahasa Jawa sebagai bahasa nan lebih tinggi. Sampai-sampai pemerintah kolonial sempat menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa “Jawa gunung”.
Ladang
Sebagian besar masyarakat Sunda (terutama di perdesaan) bermata pencarian sebagai petani, penambang pasir, dan peladang. Masyarakat Sunda antik lebih dulu mengenal pertanian ladang. Pertanian sawah baru dikenal belakangan, pada abad ke-19, tetapi hingga kini banyak nan masih bertani ladang. Di perkotaan, orang Sunda memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik, pengusaha, pegawai negeri, dan lain-lain. Warga Sunda di Garut dan Tasikmalaya banyak nan menjadi pedagang keliling.
Warga etnis Sunda tak banyak memainkan peran krusial dalam urusan (politik) nasional. Dalam tiap kabinet, menteri dari etnis Sunda boleh dikata hanya beberapa. Namun, di bidang seni, etnis Sunda menghasilkan banyak penyanyi. Kota Bandung, misalnya, terkenal sebagai gudang grup musik nasional.