Wilayah Fitnah
Mudah-mudahan putera dan puteri Indonesia saat ini masing mengenal Lubang Buaya. Bukan dikarenakan disana tak jauh darinya terdapat loka wisata nan dinamakan Taman Mini Indonesia Indah, melainkan di loka itu, suatu peristiwa menyedihkan di mulai, peristiwa Angkara, kotak pandora made in Indonesia, dan suatu layar drama nan tertutup dari penonton selama-lamanya.
Lubang buaya ialah cermin paras generasi Indonesia nan akan selalu mewarisi masalah dari para ‘pahlawannya’. Bila ada nan ingin Anda gugat terhadap hidup, apabila lahir satu kosa kata sumpah serapah baru, barangkali bagi orang Indonesia nan memahami alur nan memahami peristiwa sejarah, akan menyertakan kata Lubang Buaya.
Sudut Pandang
Kita ambil sudut pandang nan paling mudah. Lubang Buaya ialah suatu kampung, wilayah, daerah atau bagaimana cara Anda memandang cara orang Betawi menyebut wilayahnya nan merupakan kota rawa, sawah, dan kanal.
Jakarta pada awalnya memang bandar kecil bernama Sunda Kelapa, berbatasan dengan Ibukota Kerajaan Sunda Galuh Pakuan di sebelah timur, tepatnya di Candra Bhaga (kota rembulan), nan kali ini di kenal sebagai Bekasi, dampak dialek ngeyel gaya Betawian, Bhagasasi menjadi Bekasi.
Kanal-kanal di Jakarta berubah fungsi. Kota dengan seribu sungai mengalir itu menjadi kota padat, di mana tanah merah nan fertile dan bergiji menjadi tanah hitam nan wafat dan mematikan dampak di hantam dengan oli agar tanah tersebut tak tumbuh lagi tanaman oleh para pengembang kota.
Beberapa wilayah nan tadinya rawa menjadi bukan rawa, beberapa daerah nan tadinya menjadi habitat menjadi hilang habitat. Begitu pula dengan Lubang Buaya. Dari namanya saja, sudah menjelaskan isinya. Loka ini ialah di mana buaya berhabitat. Buaya jenis apa? Tentu saja buaya Jawa pemakan manusia.
Seperti nan terlihat di (rawa) Angke, seperti nan muncul di (rawa) Cengkareng. Yang muncul di (rawa) Belong Atau nan pernah telihat mondar mandir di (rawa) Sunter. 100 % pure buaya rawa. Jakarta pernah dibombardir, jakarta pernah di bakar, jakarta pernah mengalami pengepungan, jakarta di urug, dan tak ada satu buaya pun nan bakal bertahan di tengah hiruk pikuk manusia itu.
Sehingga Lubang Buaya, hanya jadi nama, cerita tentang nama rawa, cerita tentang nama wilayah nan pernah di aliri dan barangkali sampai saat ini masih di aliri oleh sungai Sunter dan sungai Cilangkap.
Jarang ada foklor bercerita mengawali kisah tentang lubang buaya. Tidak seperti Cengkareng misalnya, di mana tokoh Jampang pernah bikin basis dan jadi pahlawan. Orang Sunda di tanah Betawi bawa golok ya jadi jagoan. Atau seperti wilayah Marunda, nan memperkenalkan kepada rakyat kisah tentang Pitung jagoan Betawi.
Pitung ini matinya ditembak oleh Demang Meester, mayatnya di sebar ke lima wilayah, jadi apa nan dinamakan Pitung ini? Tennyata syahdan Lima orang Jagoan rampok nan beken (Pitu = 5), sehingga mayat si Pitung masuk akal di sebar ke 5 wilayah, dan si Pitung dapat hayati lagi barangkali sebenarnya Belanda salah tangkap, Anda dapat cari tahu sendiri kisah jagoan Betawi itu, dan tersebar kisahnya melalui tanah Betawi, namun tak satupun nan menyebut keterlibatan tentang wilayah nan bernama Lubang Buaya.
Wilayahnya memang termasuk wilayah tepian, periferal nan kurang menarik dan kondunsif, terletak di selatan Pondok Gede, dikepit oleh Kampung Bambu Apus, dan kampung Dukuh, Kampung Rambutan, bahkan jika tak ada Bandara Halim, sedikit orang bakal ingat nama Lubang Buaya.
Gagasan Informal
Kita ketahui bersama bahwa disana peristiwa berlangsung pada akhir medio 1965. Awalnya ialah isu Ganyang Malaysia nan dihembuskan oleh presiden Soekarno. Karena emosi akan konsep persemakmuran nan digambarkan sebagai bentuk baru kolonialisme.
Soekarno nan cenderung semakin pemberang di hari tuanya, menginginkan ada full scale military ops. Dia ingin suatu perang besar di mulai, jika sukses terhadap Papua, mengapa tak pula pada semenanjung Malaya? Namun nan dihadapi bukanlah Belanda dengan limited edition setelah kalah perang di Nusantara. Melainkan Inggris sebagai pemenang perang - termasuk perang ekspansi dan aneksasi koloni di Israel melawan Arab.
Petinggi militer Indonesia tahu diri, bahwa bila pingin full scale, dapat dapat jadi scare crow, dapat jadi orang-orangan sawah nan hanya mampu menakuti burung, dan tak dapat menakuti orang. Malaysia di asist Inggris sebagaimana mereka melakukan asist pada Israel.
Malaysia tak terbendung, kecuali Indonesia nan pada waktu itu memiliki kekuatan milter salah satu nan terbesar di Asia, punya alasan buat all out, dan Indonesia tak punya itu. Setidaknya para petinggi militer AD menganggap demikian.
Kenyataan ini membuat Soekarno berang.Soekarno berpikir bahwa sebagian petinggi AD, hendak membelot, hendak mempreteli wibawanya. Oleh sebab itulah presiden Soekarno ingin menunjukkan who’s the man, pada para petinggi AD. Dengan cara ‘mengundang’ mereka secara paksa di Istana negara buat di tanyai mano on mano (antara laki-laki dengan laki-laki), tanpa ada protokol.
Gagasan itu merupakan gagasan informal dari Soekarno. Yang lantas diterjemahkan secara militer oleh beberapa perwira muda Angkatan Darat, dan disusupi atau dibumbui oleh muatan politis oleh para petinggi CC PKI. Sebagaimana nasib rantai komando informal nan kadang kandas sebab noise (dalam ilmu komunikasi).
Begitupun nasib pesan informal Soekarno kepada beberapa perwira militer nan setia padanya (termasuk Soeharto). Pesan itu di bajak oleh pesan politik PKI, nan kebetulan dekat dengan beberapa opsir perwira menengah AD (termasuk Soeharto). Perintah hadapkan hidup-hidup, di bajak oleh orang CC PKI Syam Kamaruzzaman menjadi hayati atau mati.
Pangkostrad Soeharto dan Pangdam Jakarta Umar Wirahadikusumah nan telah paham plot informalnya, terkejut setengah wafat dengan improvivasi lapangan nan dipimpin oleh Kolonel Untung itu. Jenderal Soeharto sendiri telah diberitahu oleh Kolonel Latief sebagai mantan bawahannya bahwa akan ada pemanggilan informal terhadap para Jenderal.
Kedua orang itu tak tahu bahwa nan informal itu lantas menjadi berdarah-darah. Para jenderal petinggi Angkatan Darat di culik dari rumahnya, dalam kondisi mengenaskan. Dan di bawa ke basement pelatihan tentara rakyat nan akan di kirim ke Malaysia di Lubang Buaya . Mereka di bunuh di sana.
Wilayah Fitnah
Karena improvisasi nan buruk, dan berkesan nekat. Maka para jenderal dan perwira AD non sasaran operasi nan awalnya bersikap netral menjadi berang, bahkan murka. Soeharto mengambil posisi melawan. Di bantu oleh para Jenderal nan tadinya ikut mengamankan kota Jakarta dan mempersilahkan sang operator mengatur operasinya.
Siaran Radio RRI pada hari tanggal 1 Oktober 1965, bukan sesuatu nan informal lagi. Tapi pembokongan. Semua perwira Angkatan Darat nan tersisa lantas bersikap tegas kepada para operator. Membubarkan diri atau siap kena hantam. Presiden Soekarno nan tak kalah terkejut, mengambil alih komando. Segala pimpinan nan ada dilapangan di bentuk kembali, dan akhirnya AD masih punya tampuk pimpinan dan itu diserahkan sepenuhnya kepada Jenderal Soeharto.
Di Lubang Buaya, para operator sepakat membubarkan diri, dan patuh pada arahan Presiden Soekarno –walau sempat terjadi jual beli tembakan. Hal ini membuat para Komando di bawah pimpinan Jenderal Soeharto sukses leluasa menelusuri wilayah nan jadi markas komando dari gerakan 30 September. Mereka sukses menemukan sumur tua di Lubang Buaya itu. Dan menemukan tubuh para Jenderal AD terkubur di dalamnya.
Para jenderal itu memang terkena fitnah. Rekaan tentang gerakan kontra revolusi dan kup nan belum terjadi. Dan para jenderal itu memang pahlawan bangsa. Karena sukses menghindarkan Indonesia dari perang skala penuh nan bagi generasi penerus hanyalah perang demi kejayaan semata dan bukan sebab alasan nan lebih adil dan prinsipil sebagaimana amanat UUD 45 sendiri.
Tapi ada rekaan lain mencoreng peristiwa nan ada. Rekaan bahwa terjadi penyiksaan kepada para jenderal. Bercampur dengan rekaan demi rekaan agar satu rezim dapat berdiri dengan langgeng. Hal nan sangat disesali, menemani darah pahlawan dengan cerita nan tak perlu, dan sebenarnya dapat di selesaikan di meja makan. Sahih kata Ratna Sarumpaet. Jadi orang Indonesia itu ribet.
Lubang Buaya Kini
Berdiri di atas tanahnya monumen revolusi. Lubang buaya menjadi semacam wilayah wisata sejarah. Sejarah tentang rumitnya Indonesia? Sejarah nan masih menyisakan tanya, sebagaimana telunjuk tangan seorang Jenderal nan menjadi korban di sana, menunjuk tegas. Di sana? Di mana Jenderal? Kapan Jenderal? Di Lubang Buaya, sang Jenderal menunjuk ke arah angin. Dan bukan wajah.