Metode-Metode dalam Melakukan Pidato
Ada kalanya, kita merasa bingung buat mencari contoh pidato tentang pendidikan . Entah, kita sebagai seorang guru, dosen, mahasiswa, pemerhati global pendidikan, dan ketua organisasi tertentu, sudah sepantasnya bisa menyampaikan pidato dengan baik. Apa sajakah nan harus dilakukan buat menyusun pidato pendidikan nan baik? Dan, bagaimana pula citra singkat tentang pidato pendidikan tersebut?
Metode-Metode dalam Melakukan Pidato
Ada baiknya, kita mempelajari terlebih dahulu metode nan bisa dipakai dalam berpidato. Dengan langkah ini, pidato pendidikan kita, akan berhasil. Setidaknya, kita bisa memilih dari empat metode di bawah ini, manakah nan paling pas dengan keadaan dan kemampuan kita dalam berpidato.
1. Metode Impromtu (Serta-Merta)
Ketika seseorang menggunakan metode impromtu, artinya ia melakukan pidato secara serta-merta atau spontan. Metode ini digunakan ketika diminta berpidato dalam kesempatan nan mendadak.
Dengan demikian, pembicara bisa menyajikan berdasarkan kebutuhan dan konteks nan ada saat itu. Misalnya, seorang ketua OSIS diminta berpidato dalam sebuah pembukaan try out nan diadakan oleh OSIS di sekolahnya. Tentu, ia akan fokus dalam membicarakan masalah try out tersebut.
Metode impromtu memiliki beberapa kekurangan. Karena sifatnya nan mendadak, pembicara menyampaikan topik pidato dengan kurang sistematis. Pembicara dapat saja baru teringat sebuah topik nan berkaitan dengan pidato di ujung pembicaraan, sehingga terkesan pembicaraannya tak fokus pada satu hal.
Selain itu, sebab metode impromtu mendadak, kemungkinan besar seorang pembicara akan melupakan beberapa hal krusial nan sebenarnya masih bisa disampaikan olehnya.
Kelebihan menggunakan metode impromtu ialah pidato berlangsung singkat dan padat. Dengan demikian, pembicara tak memberikan suasana nan bosan kepada pendengar.
2. Metode Ekstemporan
Metode ekstemporan dilakukan oleh seseorang dengan mempersiapkan kerangka pidato. Kerangka inilah nan kemudian dikembangkan sendiri selama berpidato. Lewat cara ini, ada kemungkinan orang tersebut melupakan kata-kata eksklusif di atas anjung tetapi secara umum, ia akan tetap menyampaikan pidato dengan sistematis dan klarifikasi nan cukup lengkap.
Kelemahan dalam metode ini ialah pembicara kadang terlihat kurang persiapan. Ia akan terlihat beberapa kali menunduk melihat catatan sehingga kesan gagah dan mempesonanya kurang terlihat.
3. Metode Naskah
Metode ini dilakukan dengan membaca naskah. Artinya, seseorang sengaja membuat naskah atau dibuatkan naskah buat membacanya di depan khalayak umum. Tentu saja, metode seperti ini akan membosankan, sekaligus membuat hubungan kita dengan pendengar sangat kurang. Namun, kebaikannya, ide kita dapat disampaikan secara utuh dan tak ada nan terlupakan sebab kita fokus pada naskah nan dibaca.
4. Metode Menghafal
Metode berikutnya ialah menghafal. Dengan metode ini, seseorang terlebih dahulu membuat naskah pidato, atau meminta dibuatkan naskah pidato, kemudian menghafalkannya. Tentunya, ada kelemahan dalam metode menghafal, yaitu kemungkinan lupa di tengah pembicaraan.
Jika hal tersebut terjadi, maka kemampuan kita dalam mengendalikan dirilah nan harus menjadi andalan. Apakah akan terdiam lama? Atau dengan cepat melanjutkan pembicaraan sambil mengingat topik nan dilupakan tadi?
Keunggulan metode menghapal ialah kemampuan kita dalam mengingat akan terlatih dengan baik. Pidato nan dilakukan dengan metode menghafal akan disampaikan dengan sistematis.
Berikut contoh pidato tentang pendidikan yaitu ”Seputar Hari Pendidikan Nasional” nan diperingati pada 2 Mei di setiap tahunnya.
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua.
Yang terhormat, Bapak/Ibu Rektor/Dekan/Kepala Sekolah
dan hadirin nan berbahagia.
Pada hari ini, tanggal 2 Mei dan sudah lebih dari seabad nan lalu, tepatnya 2 Mei 1889, seorang perintis global pendidikan, Ki Hadjar Dewantara terlahir. Demikian istimewanya sosok beliau, waktu kelahirannya diperingati diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Kecemerlangan beliau tak terbantahkan lagi. Semua orang tentu mengenal penggalan jargon beliau, Tut Wuri Handayani nan merupakan sambungan dari dua kalimat sebelumnya, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mbangun Karsa.
Kini, lebih seabad berlalu, masihkah jargon ini bersemayam di dada kita atau hanya menguap sebagai basa-basi buat memperingati kelahiran seorang tokoh besar di bumi Indonesia?
Marilah kita merenungi tiga kalimat nan telah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ing Ngarsa Sung Tuladha, bermakna, di depan, seorang pemimpin atau pendidik harus memberikan teladan. Apa relevansinya saat ini? Kalimat ini dapat diterapkan kepada berbagai lapisan masyarakat.
Ketika seseorang ada di ”depan” yaitu di sebuah posisi nan membuatnya menjadi tumpuan asa banyak orang, nan dilakukannya ialah memberikan contoh. Tidak hanya guru, pemimpin pun, jika tidak dapat memberikan teladan bagi orang-orang nan di belakangnya, akan membawa malapetaka bagi orang-orang tersebut. Mereka akan kehilangan figur nan seharusnya bisa memimpin ke gerbang pengetahuan.
Ing Madya Mangun Karsa, di tengah-tengah, di antara murid, seorang guru harus memberikan ide atau gagasan. Guru ialah sosok nan digugu dan ditiru (diikuti dan dicontoh). Maka, ia tak hanya harus menjadi pemimpin dan suri teladan, tetapi juga menjadi perangsang buat terciptanya ide-ide atau gagasan cemerlang dari para muridnya.
Selain itu, tak hanya seorang guru, seorang pemimpin nan sejati, seharusnya berlaku demikian. Ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat, ia harus merangkul semua kalangan dan membantu munculnya gagasan nan bisa memperbaiki keadaan kelompok atau bangsa tersebut.
Tut Wuri Handayani memiliki arti, ketika berada di belakang, memberi dukungan. Kesempurnaan seorang guru atau seorang pemimpin, belum lengkap jika belum melakukan hal tersebut. Guru dan pemimpin mungkin sudah memberikan teladan. Mereka juga sudah membantu menciptakan ide-ide cemerlang.
Namun, sudahkah guru dan pemimpin tersebut mendorong dan memberi dukungan terhadap muridnya? Termasuk orang-orang nan dipimpinnya? Jangan-jangan, mereka menganggap sudah melakukan dua hal tersebut.
Kemudian, mereka sibuk menyalahkan murid atau rakyat nan dianggap tak becus, lambat, atau kurang cerdas. Padahal, murid, bawahan, dan rakyat, membutuhkan sokongan, entah dalam bentuk moral atau bentuk apa pun dari nan memimpinnya. Dengan cara ini, mereka akan merasa dihargai dan akan membalas penghargaan tersebut dengan usaha nan lebih maksimal.
Apa nan terjadi jika seseorang tak melakukan salah satu dari tiga kalimat nan disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut? Hal nan akan terjadi bisa diibaratkan seperti piramida tanpa atap, kurang sempurna.
Sebagai contoh, murid merasa sudah didorong dan diberi kesempatan mengeluarkan ide, tetapi murid tak menemukan contoh dari sang guru. Selain itu, seorang pemimpin terlihat gagah, memberi teladan, dan mendorong rakyatnya, tetapi ia gagal membantu rakyat menyumbangkan ide.
Tiga kalimat Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mbangun Karsa, Tut Wuri Handayani, sangat sederhana tetapi menerapkannya dalam kehidupan tidaklah mudah. Kita harus selalu berusaha buat melakukan nan terbaik agar hal tersebut bisa terlaksana.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, layaklah kita memahami, apakah tiga kalimat tersebut sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, ataukah hanya merupakan jargon nan harus diingat dan diulangi pembacaannya setiap tahun?
Demikian nan bisa aku sampaikan. Mohon maaf jika dalam berucap, ada tutur kata nan kurang berkenan. Mari menyambut Hari Pendidikan Nasional dengan semangat Ki Hadjar Dewantara, dan mari pula menerapkan tiga jargon beliau demi majunya pendidikan di Indonesia. Terima Kasih.
Contoh pidato tentang pendidikan bisa Anda gunakan sebagai citra generik mengenai isi pidato nan tepat buat disampaikan kepada khalayak umum. Jika Anda hendak berpidato, Anda juga perlu memastikan tema nan akan Anda gunakan. Selain itu, contoh pidato tentang pendidikan bisa menjadi citra perkembangan pendidikan di Indonesia.