Syarat Jamak Takdim

Syarat Jamak Takdim



Menjamak dan Meringkas Shalat

Beberapa ulama memang masih ada nan berbeda pendapat soal syarat melakukan shalat jamak ini, tapi mayoritas membolehkannya. Apalagi jika seorang muslim itu sedang ada dalam keadaan tak mungkin melakukan shalat tepat waktu.

Selain dalam perjalanan (lebih dari 81 kilometer), orang nan boleh menjama' shalat ialah orang nan sakit, orang nan lupa dengan waktu shalat, orang nan dalam keadaan sangat ketakutan, misalnya dalam peperangan danbencana alam, atau nan tak sadarkan diri (bisa kelenger atau tertidur). Sebab-sebab lain nan syar'i juga diperbolehkan buat menjamak shalat.

Selain melaksanakan dua shalat dalam satu waktu, seorang muslim juga dibolehkan meringkas jumlah rakaat shalat selama dalam safar. Meringkas shalat ini dinamakan qasar. Misalnya shalat dzuhur ashar, dan isya dikerjakan masing-masing dua rakaat. Shalat maghrib meski boleh dijamak, tapi tak boleh diqasar, nan berarti tetap harus dikerjakan 3 rakaat. Mengerjakannya boleh di awal waktu (namanya jamak qasar taqdim), dan dapat juga dilakukan di akhir waktu (jamak qasar takhir).



Tata Cara Shalat Jamak

Adab dan tata cara shalat jamak sebenarnya sama dengan shalat biasa. Anda juga tetap diwajibkan berwudhu, berpakaian kudus dan menutup aurat, menghadap kiblat, dan seterusnya. Yang berbeda cuma niatnya saja. Sebelum melakukan shalat jamak, niatkan dulu dalam hati shalat mana nan akan Anda kerjakan. Jamak taqdim kah? Atau jamak qasar takhir? Kalau sudah, lakukan shalat dengan bacaan dan gerakan seperti biasa.

Islam juga memudahkan umatnya dalam melakukan gerakan shalat. Orang nan tak dapat berdiri, dapat shalat sambil duduk ; orang nan tak mampu duduk dapat melakukan shalat sambil berbaring; dan sebagainya. Urusan shalat dalam kendaraan juga diatur Islam. Kalau Anda naik kendaraan nan dapat memungkinkan Anda melakukan shalat dalam keadaan normal (misalnya naik kapal laut, dll), tentu tak menjadi masalah.

Namun, kalau Anda dalam perjalanan naik bus atau pesawat, Anda tentu harus melaksanakan shalat dalam keadaan duduk. Anda tak perlu risau dengan arah kiblat. Biarkan kendaraan nan Anda tumpangi melaju ke arah nan semestinya, dan lakukan shalat seperti biasa di loka duduk Anda. Kalau Anda akan melakukan gerakan ruku', cukup bungkukkan sedikit badan Anda ke depan. Dan kalau akan sujud, bungkukkan badan Anda ke depan lebih dalam lagi, sampai nyaris mendekati paha Anda.



Syarat Jamak Takdim
  1. Tertib. Apabila musafir akan melakukan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat nan punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila nan dikerjakan terlebih dahulu ialah salat isya', maka salat salat isya'nya tak sah. Dan apabila dia masih mau melakukan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada waktu salat nan pertama. Apabila musafir mau melakukan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu aplikasi salat nan pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat nan pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih ada, namun nan lebih baik, niat jamak dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tak ada selang waktu nan dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) nan dianggap lama, seperti melakukan salat sunah, maka musholli tak bisa melakukan jamak dan harus mengakhirkan salat nan kedua serta mengerjakannya pada waktu nan semestinya.
  4. Masih berstatus musafir sampai selesainya salat nan kedua. Orang nan menjamak salatnya harus berstatus musafir sampai selesainya salat nan kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat nan kedua ada niatan muqim, maka musholli tak boleh melakukan jamak, karena udzurnya dianggap habis dan harus mengakhirkan salat nan kedua pada waktunya.



Syarat Jamak Ta'khir
  1. Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat nan pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
  2. Pada saat datangnya waktu shalat nan kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan.
  3. Dalam jamak ta'khir, shalat nan dijamak boleh dikerjakan tak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat nan pertama dan nan kedua tak perlu berturut-turut (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan perbuatan lain, misalnya shalat sunat rawatib.


Beberapa Dalil Mengenai Sholat Jamak

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja nan memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian) dan tak diperbolehkan bagi orang nan tak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya seuatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jeda jauh maupun dekat.

Demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang nan sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya sebab tujuan dari itu semua ialah mengangkat kesulitan nan dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293)

Termasuk udzur nan membolehkan seseorang buat menjama’ shalatnya ialah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di loka tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang nan mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa karena takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa karena takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).



Musafir Shalat di Belakang Mukim

Shalat berjama’ah ialah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam nan mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat nan shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.

Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu saya bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke loka kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu ialah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).



Musafir Menjadi Imam Mukim

Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang nan mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tak terjadi kebingungan hendaklah imam nan musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum nan mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at.

Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami ialah musafir.” (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).

Apabila imam nan musafir tersebut risi membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa sebab hukum qashar ialah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).



Shalat Jumat Bagi Musafir

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah nan diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya buat mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini ialah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).

Dalilnya ialah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur nan di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73).

Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang nan setelah mereka apabila safar tak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “ Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tak shalat Jum’at.”

Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tak melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini ialah Ijma’ (kesepakatan para ulama) nan berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Islam memang praktis dan mudah bukan? Karena itu, tak ada alasan bagi seorang muslim buat meninggalkan shalat dalam kondisi apapun, sebab berbagai kemudahan nan sudah diberikan.