Dengar Musik Indonesia nan Berkualitas
Dengar Musik Indonesia di Internet
Jika mengetikkan kata “dengar musik Indonesia” dijamin kita akan menemukan banyak situs di internet nan menyediakan aneka lagu Indonesia. Selain dapat mendengarkan lagu-lagu pilihan, kita juga dapat mengunduh lagu nan diinginkan buat dijadikan koleksi pribadi. Murah meriah, tetapi memuaskan. Itulah salah satu terjadinya penurunan penjualan album secara fisik di seluruh global saat ini.
Internet memungkinkan kita mendapatkan lagu dengan kualitas bagus tanpa harus mengeluarkan dana kecuali buat membayar biaya akses internet. Media ini memberi kesempatan pada kita buat memilih lagu eksklusif saja. Hal nan mustahil dilakukan jika membeli CD. Ketika memutuskan buat membeli album seorang penyanyi berarti semua lagu di dalamnya kita dapatkan tanpa kecuali.
Padahal sangat sering terjadi hanya lagu nan dijadikan andalan saja nan enak di telinga. Sisanya mungkin sekadar memenuhi kuota nan digariskan pihak label rekaman buat pembuatan album. Internet memberi akses mudah bagi penggunanya buat mendapatkan banyak hal, salah satunya ialah lagu favorit.
Hal itu tak banyak nan dapat dilakukan oleh label rekaman atau para penyanyi buat menghalangi walaupun banyak nan mengklaim kalau kehadiran situs nan memungkinkan kita dapat dengar musik Indonesia ini sangat merugikan. Perhatikan ilustrasi berikut ini. Berapa sih jumlah penduduk di global pada awal tahun 1980-an? Yang jelas tak sebanyak sekarang dan konvoi informasi pun jauh lebih lambat dibanding saat ini.
Namun, album dengan penjualan terbaik di global berasal dari era itu. “Thriller” dari raja pop Michael Jackson mencatat penjualan fantastis, 120 juta keping di seluruh dunia. Album ini masih dikenang sebagai salah satu album terbaik nan pernah ada, dengan lagu-lagu luar biasa nan masih sangat nyaman dan catchy di telinga. Bahkan tarian di lagu Thriller pernah dimunculkan kembali di tahun 2000-an oleh Jennifer Gardner dan Mark Ruffalo di film mereka, “13 Going 30”.
Pesaing terdekat Thriller “hanya” mampu mencatat jumlah nan kurang dari setengahnya, sekitar 50 juta kopi. Lagi-lagi bukan berasal dari album generasi 2000-an. Internet dituding sebagai biang keladi terjadinya penurunan angka penjualan album fisik? Cukup masuk akal. Kita memang tak dapat menutup mata melihat kenyataan ini. suatu hal nan tak dapat dihindari dan diabaikan begitu saja.
Salah satu cara musisi lokal menghadang masalah ini ialah dengan memanfaatkan ayam goreng cepat saji. Wah, sebenarnya sulit mencari hubungan antara ayam goreng dengan musik. Terciptanya ayam goreng cepat saji tergolong peristiwa besar nan mengubah global buat selamanya. Mungkin dapat disejajarkan dengan penciptaan bohlam atau pesawat televisi.
Tidak cukup sampai di situ, ayam goreng ini juga sudah mengubah paras global musik Indonesia. Jika sepuluh tahun silam ada nan bertanya tentang hal ini kepada para musisi, mungkin mereka akan tertawa. Sekarang, CD penyanyi ada nan tak dijual di toko kaset dan hanya tersedia di gerai ayam goreng tersebut. Hasilnya? Sangat mudah mencapai penjualan platinum.
Dengar Musik Indonesia nan Berkualitas
Cobalah dengar musik Indonesia baik-baik. Terasa sekali ada penurunan kualitas nan sangat kentara belakangan ini. Era 80-an hingga 90-an ialah masa keemasan bagi para penyanyi nan punya karakter kuat. Chrisye tetap menjadi penyanyi pria nan paling berhasil dengan lagu-lagu nan selalu memuncaki tangga lagu nasional. Padahal Chrisye minim mobilitas dan bisa dikatakan kurang ekspresif.
Ketika terpaksa tampil sambil bergoyang di lagu “Nona Lisa” atau “hip Hip Hura” membuatnya jadi terlihat aneh dan kaku. Chrisye pun kembali ke “habitatnya”, menyanyikan lagu pop manis nan tak cengeng. Dan publik tetap menggemarinya.
Selain itu, coba dengar musik Indonesia dengan vokalis Iwan Fals. Lagu-lagunya sarat dengan kritik sosial meski disisipi oleh lagu cinta. “Buku Ini Aku Pinjam” pernah sangat popular sebagai salah satu karya terbaik Iwan di tengah “Mata Dewa”, “Bento”, atau “Pesawat Tempur”.
Nike Ardilla pun menggebrak global musik dengan lagu “Bintang Kehidupan” kala usianya belum lagi 15 tahun. Karakteristik khas vokal nan dimiliki Nike membuat lagu-lagunya gampang dikenali. Selain itu, jika mundur lebih jauh lagi, ada Nicky Astria nan berjaya menjadi lady rocker papan atas selama bertahun-tahun.
Nama-nama tersebut menghasilkan karya nan laris dan enak di dengar, tetapi tanpa menurunkan kualitas. Setiap orang memiliki ciri, tak terbawa arus, tetapi cenderung menciptakan tren. Generasi muda sekarang mungkin tak akrab dengan nama Broery Pesulima. Jika didengar ulang lagu-lagu beliau, siapa nan dapat menangkis kekuatan vokalnya nan luar biasa?
Broery bahkan membuat istilah “buah semangka berdaun sirih” menjadi luar biasa populer, istilah nan ada dalam salah satu lagunya. Menyanyi solo atau duet dengan Dewi Yull dan Vina Panduwinata tetap membuat Broery mampu mempertahankan karakteristik khasnya.
Imbasnya? Lagu-lagunya tetap popular. Mulai dari “Angin Malam”, “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”, hingga “Bahasa Cinta” tetap menawan.Dengar musik Indonesia masa lalu menonjolkan keistimewaan tersendiri. Berlalu belasan atau puluhan tahun tak membuat lagu terkesan aneh. Jadul mungkin sebab aransemen musik nan tergolong sederhana. Berbeda jauh dibanding masa kini.
Kekuatan lagu jadul itu ada pada kualitas vokal dan syairnya. Harry Mukti ialah contoh lain dari kualitas vokal dan aksi anjung nan menawan. Ketika aksi masuk ke anjung dengan melompat dari ketinggian dengan donasi dawai sling belum populer, Harry sudah melakukannya. Apakah Anda sempat menonton salah satu episode Oprah Winfrey Show di musim terakhirnya nan berlokasi di Australia?
Kala itu Hugh jackman melakukan aksi mirip dengan Harry Mukti, melompat dari ketinggian. Dengan segala persiapan serius ternyata Jackman malah membentur salah satu peralatan nan tergantung dan menyebabkan keningnya terluka. Di masa kini aksi seperti itu masih mengagumkan, bayangkan bagaimana dengan puluhan tahun silam. Harry juga punya vokal nan bagus, ada kualitas serak di suaranya. Namun, artikulasinya tetap jelas dan terjaga.
Hal seperti itu dimiliki para penyanyi zaman dulu. Dispensasi mungkin hanya pada nama Atiek CB. Atiek nan kini sudah bermukim di Amerika ialah rocker perempuan nan sangat terkenal. “Nurlela”, “Terserah Boy”, atau “Optimis” ialah lagu-lagu top nan pernah dinyanyikannya.
Selain itu, Atiek CB berhasil menuai prestasi dengan salah satu kekhasannya, artikulasi unik nan sengaja menyebut huruf “T” dengan tak jelas, tetapi tak berlebihan. Kala itu hanya Atiek nan melakukan itu dan sukses menjadikan hal tersebut sebagai karakteristik khasnya.
Hal nan dilakukan Atiek pun terjadi di masa kini. Masalahnya kemudian ialah terlalu banyak nan bergaya sama. Mengucapkan “cinta” dapat menjadi “cintha”. Dulu, para penyanyi dan musisi memiliki “pos” masing-masing. Mereka mewakili aliran atau karakteristik eksklusif sehingga mudah buat dibedakan antara nan satu dengan nan lain. Jika kita dengar musik Indonesia masa kini, terlalu banyak keseragaman.
Ketika musik bergenre Melayu mencuat maka beramai-ramai muncul grup band nan mengusung musik homogen sehingga mudah mendapat popularitas, tetapi mudah pula terlupakan. Siapa nan masih mengingat “Hijau Daun”? Padahal grup band ini pernah sangat popular dengan lagu nan diminati masyarakat luas.
Kekhawatiran tentang kualitas musik Indonesia masa kini sudah berkali-kali diungkapkan para musisi dan pengamat musik senior. Kini, tatkala musim berganti dan muncul boyband dan girlband dengan anggota super ramai, hal senada terulang.
Masalahnya, nyaris tak ada karakteristik khas di sana. Mulai dari aliran musik, gaya busana, menari, jumlah anggota, boleh dikatakan merujuk pada demam K-Pop nan sedang mewabah di Asia. Sepertinya mereka pun akan mudah terlupakan. Tinggal satu persoalan saja, sampai kapan musim ini bertahan?
Itulah sepenggal kisah tentang dengar musik Indonesia dari berbagai zaman. Setiap zaman memiliki karakteristik khas nan berbeda baik dari segi vokal maupun penampilan. Semoga bermanfaat.