Identifikasi Bukti diri Budaya Indonesia

Identifikasi Bukti diri Budaya Indonesia

Karya sastra sebagai wacana multiinterpretatif memungkinkan tiap pembaca menanggapi sebuah karya sastra dengan pemaknaan nan berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh tiap pembaca memiliki wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca karya tersebut (Jauss dalam Pradopo 1995:207).

Hal tersebut ikut pula memengaruhi kedudukan karya sastra dalam masyarakat, termasuk kedudukan cerpen nan pada awal bermunculannya seakan-akan memperoleh perhatian nan tak seimbang dibandingkan dengan karya sastra lainnya, seperti novel dan puisi (Teeuw, 1989: 168).

Namun, dewasa ini, setelah banyak penulis nan menyajikan cerpen sastra Indonesia dengan tuturan nan estetis serta makna nan bermanfaat, cerpen mempunyai kedudukan nan setara dengan karya sastra lainnya.



Di Balik Cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Berhubungan dengan hal-hal di atas, cerita pendek Seribu Kunang-Kunang di Manhattan merupakan satu di antara banyak cerpen nan bisa membuka alternatif interpretasi pada pembacanya karena Umar Khayam menyajikan cerpen tersebut selain secara naratif, juga secara semiotis. Khayam memberikan sentuhan keindahan modern dengan makna nan cenderung satir moral terhadap manusia Indonesia.

Moral dalam cerita, menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (2002:321), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran nan berhubungan dengan ajaran moral eksklusif nan bersifat praktis, nan bisa diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita nan bersangkutan oleh pembaca.

Gambaran kehidupan modern nan semu dengan bayang-bayang kearifan budaya lokal merupakan ide moral nan terkandung dalam cerpen tersebut. Dalam cerpen sastra Indonesia Seribu Kunang-Kunang di Manhattan , ide di dalamnya lebih krusial ketimbang tokoh nan menjalankan ide tersebut karena modernitas nan telah memberikan makna ingar pada kebudayaan manusia Indonesia tercermin tak lewat kata nan dibahasakan secara terinci oleh Khayam, melainkan tercermin dari bahasa verbal nan disuguhkannya lewat tanda-tanda dan pencitraan nan dihadirkannya.



Pengalihan Kode Budaya

Hal tersebut terlihat dari judul nan berbau satir tersebut : secara logis, tak ada kunang-kunang di Manhattan. Kunang-kunang sebagai tanda budaya Indonesia nan hadir di Manhattan sebagai tanda budaya asing merupakan tanda kerinduan tokoh Marno sebagai simbol budaya lokal terhadap budayanya nan tak lagi ditemukan di Manhattan sebagai loka ia tinggal dengan budaya nan sama sekali berbeda.

Lantas, Khayam membahasakan mitos bermalas-malasan, Scotch, dan Martini sebagai mitos pembuka pada cerpen tersebut nan menyuguhkan nilai-nilai modernitas terhadap pembaca, nan di dalamnya kita dapat melihat pengimajian tokoh perempuan akan bulan nan berwarna ungu.

Bulan dalam tafsir alam bawah sadar, merupakan simbol menarik nan berkonotasi dengan energi feminin nan dihubungkan dengan ketidakrasionalan dan bisikan hati (Salsabila, 2006:57). Hal tersebut sinkron dengan apa nan terdapat di dalam cerpen, yakni feminitas nan merupakan imbas samping dari produk modernitas feminisme menjalar pada masyarakat dengan cara nan lembut sinkron dengan apa nan dibahasalan oleh Khayam dalam cerpennya, yakni melalui estetika bulan pada kutipan berikut.

Langit higienis malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jad suram karenanya. Dilongokkannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan nan lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya. (Khayam, hal.2)

Personifikasi atas kelembutan bulan itu dibahasakan oleh Khayam sebagai kelembutan budaya asing nan diam-diam mendominasi budaya bangsa Indonesia. Budaya Indonesia seakan-akan bangunan nan tertidur dalam kedinginan sehingga membutuhkan budaya asing buat menghangatkannya.

Pandangan nan berbeda akan perspektif perempuan dan laki-laki mengenai suatu hal, dalam hal ini digambarkan sebagai bulan, secara tak langsung merupakan penggambaran adanya disparitas perspektif antara masyarakat Jawa nan diwakili oleh tokoh Marno dengan masyarakat barat nan diwakili oleh tokoh Jane.

Pertemuan antarbudaya tersebut mengakibatkan adanya pihak nan kemudian berusaha, baik secara langsung maupun tak langsung, mendominasi budaya pihak lainnya. Dalam hal ini, budaya negara adikuasa nan dibawa oleh tokoh Jane menjadi dominan dibandingkan dengan budaya Indonesia nan dibawa oleh tokoh Marno.

Jika nan dilihat oleh pembaca ialah perspektif tokoh Marno dan Jane, makan kacamata feminisme akan bisa membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dengan gender. Jenis kelamin sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan nan bersifat biologis dan merupakan kodrat Tuhan, sementara gender merupakan disparitas antara laki-laki dan perempuan nan dikonstruksi secara sosial, disparitas nan diciptakan manusia melalui proses sosial dan kultur nan panjang.

Namun pada cerpen ini, aku lebih melihat sisi budaya nan hendak diangkat oleh Khayam sebenarnya dibandingkan dengan sisi feminisme nan terdapat di dalamnya. Hal ini secara semiotik terlihat dari nama nan dipilih Khayam sebagai tokoh, yakni Marno, Jane, dan Tommy.

Permasalahan dalam cerpen ini bukan merupakan berpretensi gender nan berbeda pada masyarakat di suatu loka dengan masyarakat di loka lain, tetapi lebih merupakan berpretensi salah tujuan budaya nan dikenakan oleh Marno saat berbenturan dengan budaya lainnya.

Di sini Khayam menciptakan benturan budaya lokal dan asing buat menemukan persinggungannya sebagai produk dari kegagalan berbudaya nan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya kegagalan dalam menafsirkan feminisme itu sendiri nan kemudian oleh Khayam ditansformasikan secara tekstual lewat tokoh Marno dan Jane.



Identifikasi Bukti diri Budaya Indonesia

Pada masyarakat Jawa, perempuan masih diletakkan pada wilayah-wilayah domestik. Bahkan ketika kesempatan memperoleh pendidikan sudah terbuka lebar bagi siapa pun, masih ada cacat bahwa perempuan boleh saja berpendidikan tinggi asal tak melupakan tugasnya di wilayah domestik (mengurus rumah tangga dan menjaga anak).

Mereka selalu diidentikkan dengan sifat lemah lembut, penurut, sopan, dan keibuan. Seorang istri harus mendukung suaminya dari belakang tanpa boleh mendahului langkah suaminya. Keputusan absolut di tangan laki-laki dan perempuan berkewajiban menurutinya tanpa boleh membantah.

Maka setelah datangnya produk modernitas nan bernama feminisme itulah perempuan Indonesia kebanyakan melakukan pemberontakan terhadap budaya patriarki nan dianggap ortodok sehingga perempuan dapat melakukan apa nan dapat dilakukan oleh kaum laki-laki, termasuk memiliki kekasih lain.

Dalam cerpen ini, Khayam mencoba membersihkan kembali wilayah kebudayaan dari modernitas dan kesalahpahaman masyarakat Indonesia dalam menginterpretasikan feminisme sehingga budaya bangsa dikembalikan ke nilai-nilai aslinya dengan tanpa memojokkan modernitas sebagai simbol dari budaya maju (yang dianggap maju).

Pertemuan dua konstruksi budaya nan berbeda ini memperlihatkan adanya penguasaan pada budaya satu dan keterasingan pada budaya lainnya, yakni barat dan Indonesia. Ketika berada di tengah kebudayaan nan asing sekaligus bertolak belakang dari budaya nan melingkupinya, Marno merasa kaku dan terasing.

Konsep patriarki nan ditawarkan masyarakat jawa sama sekali tak dapat ditemukan saat ia harus berhadapan dengan Jane nan berlatar budaya Amerika. Pikiran-pikiran nan ditabukan oleh masyarakat Jawa, terutama perempuan tak dikenakan dalam budaya asing nan membawa keperkasaan perempuan sebagai penggiat feminisme.

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan nan dilontarkan tokoh Jane, " Oh, tidak tahulah. Tadi saya kira dapat menemukan pikiran-pikiran nan cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah… "

Dalam budaya Jawa, tak akan dijumpai perempuan nan secara frontal mengemukakan pikiran seterbuka itu sehingga Marno dalam keterasingannya terhadap budaya nan ada di hadapannya itu, lebih memilih diam dan mengalah saat Jane sering berbicara megenai berbagai hal.

Ketidakmampuan Marno dalam menghadapi Jane ini merupakan metafora atas ketidakberdayaan budaya Indonesia dalam mempertahankan nilai-nilai budayanya saat berhadapan dengan budaya asing nan masuk.

Marno hanya dapat mempertahakan budaya Jawa nan memang tak bersinggungan dengan budaya Jean. Akan tetapi ketika budaya Jawa bertentangan dengan budaya barat secara langsung, Marno akan mengambil sikap mengalah. Hal ini mengakibatkan Jean dengan sikap-sikapnya nan berani seolah-olah menganggap bahwa Marno lebih rendah.

Penulis melihat adanya keinginan Khayam buat memperingatkan masyarakat Indonesia akan pentingnya mengenal budaya sendiri dan mempertahankannya sebagai bukti diri bangsa agar mitos-mitos modernitas nan dijadikan alat oleh bangsa asing buat mendominasi wilayah kebudayaan Indonesia sedikitnya dapat dihadapi dengan cara nan halus, sama halnya dengan kekerasan nan lembut dari budaya asing, agar budaya bangsa kita tak digeser bahkan dihilangkan oleh budaya asing nan masuk ke dalam wilayah kebudayaan lokal.

Khayam menawarkan katarsis atas budaya bangsa dengan mengenal lebih dekat bagaimana budaya bangsa kita dan bagaimana nilai-nilai nan terdapat di dalamnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita tak akan sulit menghadapi budaya asing nan masuk, serta tak secara mudah menolelir budaya tersebut tanpa filter nan pada akhirnya menimbulkan ingar dan berujung pada krisis bukti diri bangsa Indonesia.