Dampak Positif dan Negatif Jual Beli Saham
Pada prinsipnya, Islam tak melarang umatnya buat mencari harta dari mana pun. Tapi, harta tersebut haruslah halal dan thoyib . Maksudnya, cara mendapatkannya halal, tapi barang nan didapat tak halal, berarti tak baik. Begitu pun sebaliknya. Jadi harus semuanya bagus, baik cara mendapatkannya maupun barangnya. Dalam hal jual beli hukumnya boleh dan halal. Tapi bagaimana dengan hukum jual beli saham ?
Fakta Tentang Saham
Membeli saham sama artinya menanamkan dana di suatu perusahaan, dalam artian ikut memiliki suatu perusahaan nan sahamnya dibeli. Islam sangat memperhatikan sektor ekonomi ini. Bilamana perusahaan nan sahamnya dibeli bergerak di sektor nan bertentangan dengan hukum Islam, maka membeli sahamnya menjadi haram.
Misalnya, perusahaan nan bergerak di bidang produksi minuman keras sekecil apapun kadar alkoholnya, bisnis babi dan apa saja nan terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi konvensional, industri hiburan, seperti kasino, disko, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Tidak ada kontradiksi di antara ulama terhadap haramnya memiliki perusahaan seperti ini.
Bagaimana kalau membeli saham perusahaan nan bergerak di bidang nan dihalalkan, seperti, transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, restoran, obat-obatan, pertambangan, pendidikan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain, apakah tak boleh?
Ada disparitas pendapat dalam hal ini. Ada ulama nan tak membolehkan, ada nan membolehkan, tapi juga ada nan membolehkan asalkan perusahaan nan mengelola bisnis tersebut termasuk dalam kategori perusahaan Islami.
Jual Beli Saham dalam Pasar Modal
Para pakar fikih pada masa ini sepakat, bahwa haram hukum jual beli saham di pasar kapital dari perusahaan nan bergerak di bidang usaha nan haram. Misalnya, perusahaan nan bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja nan terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil nan mengharamkan jual beli saham perusahaan seperti ini ialah semua dalil nan mengharamkan segala aktivitas tersebut.
Namun mereka berbeda pendapat jika saham nan diperdagangkan di pasar kapital itu ialah dari perusahaan nan bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,” Menanam saham dalam perusahaan seperti ini ialah boleh secara syar’i…Dalil nan menunjukkan kebolehannya ialah semua dalil nan menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.” (Syahatah dan Fayyadh, ibid ., hal. 17).
Tapi ada fukaha nan tetap mengharamkan hukum jual beli saham walau dari perusahaan nan bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin ( ibid ., hal. 109) dan Ali As-Salus ( Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah , hal. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) nan sesungguhnya tak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya nan dilihat lebih dulu ialah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami ( syirkah Islamiyah ) atau tidak.
Aspek inilah nan nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar pakar fikih dan ahli ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tak menyinggung sama sekali aspek penting ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai prosedur transaksi nan ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option , transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; Az-Zuhaili, 1996; Al-Mushlih & Ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004).
Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah ) ialah bentuk syirkah nan batil (tidak sah), sebab bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah.
Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor nan menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan nan hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i. Sangat fatal, bukan?
Maka dari itu, pendapat kedua nan mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) ialah lebih kuat (rajih) , sebab lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya nan menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama nan membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, ialah dalil al-Mashalih Al-Mursalah , sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin. Padahal menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah ialah sumber hukum nan lemah, sebab kehujjahannya tak dilandaskan pada dalil nan qath’i ( Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah , Juz III (Ushul Fiqih), hal. 437)
Dampak Positif dan Negatif Jual Beli Saham
Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki akibat positif, disamping akibat negatifnya nan lebih banyak. Beberapa akibat positif dari jual beli saham ialah sebagai berikut:
- Membuka pasar tetap nan memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.
- Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah melalui penjualan saham.
- Mempermudah penjualan saham dan menggunakan nilainya.
- Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang komoditi, melalui aktivitas permintaan dan penawaran.
Akan tetapi, akibat negatif nan ditimbulkan dari transaksi saham, terutama pada pasar sekunder jauh lebih besar seperti:
- Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya, yakni tak adanya unsur serah terima sebagai syarat absah jual beli menurut hukum Islam.
- Kebanyakan dari transaksi saham ialah penjualan sesuatu nan tak dimiliki, baik berupa uang, saham, giro piutang dengan asa akan dibeli di pasar sesungguhnya dan diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
- Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang nan dibelinya sebelum dia terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang. Peran penjual dan pembeli selain nan pertama dan terakhir, hanya buat mendapatkan laba semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan mengharapkan harga naik kemudian menjualnya kembali).
- Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar dapat menekan penjual nan menjual barang-barang nan tak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan lain kesulitan.
- Pasar saham memilki pengaruh merugikan nan sangat luas. Harga-harga pada pasar ini tak bersandar pada prosedur pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal nan lekat dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan warta dusta dan sejenisnya.
Hukum Jual Beli Saham
1. Alasan Jual Beli Saham Haram
Suatu transaksi dianggap absah dalam Islam kalau ada akad. Bila pembelian saham hanya terjadi transaksi sepihak tanpa adanya akad dengan penjual langsung atau perusahaan nan bersangkutan, maka transaksi itu batal. Hal ini dikaitkan dengan sepasang laki-laki dan wanita nan akan menikah. Perbedaannya hanyalah pada akad nikah.
Tanpa adanya ijab dan kabul, maka pernikahan itu tak sah. Jadi kalau mau menanamkan modal, sine qua non perundingan atau negosiasi dengan perusahaan nan bersangkutan. Hal inilah nan membuat jual beli saham nan ada di bursa saham menjadi haram walaupun jenis usahanya halal.
2. Alasan Jual Beli Saham Halal
Perusahaan nan menjual sahamnya di bursa saham terutama di bursa saham Islam, telah menyerahkan penjualan sahamnya kepada bursa saham. Dalam hal ini pihak bursa saham menjadi ‘perwakilan’ dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Dengan demikian, akad nan terjadi cukup dengan ‘perwakilan’ saja tak harus berhubungan dengan perusahaan nan bersangkutan. Jadi, asalkan bidang usahanya halal, maka membeli sahamnya juga halal. Dengan kecanggihan teknologi, akad jual beli dapat dilakukan lebih sederhana dan cepat.
Hal ini pun merupakan ijtihad para ulama nan juga para ahli ekonomi kontemporer. Mengingat bahwa perkembangan zaman sudah sangat cepat, maka umat Islam pun harus berpacu, tapi dengan tak mengabaikan tuntunan dan hukum Islam nan ada.