Sejarah Intelektual - Ilmu Menyatu dengan Agama
Sejarah intelektual setiap bangsa berbeda satu sama lainnya. Islam memiliki sejarah sendiri nan berbeda dari sejarah peradaban lainnya. Sejarah intelektual Islam bermula dari turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw.
Wahyu itu, 'Bacalah! dengan menyebut nama Tuhanmu nan menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa nan tak diketahuinya . (Al-Alaq: 1:5). Jadi, sejarah intelektual Islam lahir berbarengan dengan diutusnya Muhammad Saw. sebagai Rasulullah.
Kata-kata bacaan, pengajaran, dan pena merupakan aktivitas keintelektualan. Dalam Sejarah intelektual Islam, betapa ilmu pengetahuan sangat diagungkan. Kita bisa melihat bagaimana Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan luar biasa pada saat perang badar, yaitu tawan kaum musyrikin bisa membebaskan diri dengan cara mengajar anak-anak kaum muslimin dengan baca tulis.
Bahkan Al-Quran dan sunnah -sebagai panduan kaum muslimin- banyak memuat kata-kata tuntutan, observasi, maupun kedudukan ( fadhilah ) orang nan menuntut ilmu. Kata ilmu beserta kata-kata jadiannya digunakan dalam al Quran sebanyak 780 kali.
Ini menandakan bahwa persoalan keilmuan dalam sejarah Islam, mendapat loka nan sangat istimewa dalam kitab kudus dan sabda Nabi. Bahkan konsep long life education (belajar sepanjang hayat) sudah dikenal pada masa kelahiran Islam, implikasinya mendorong terciptanya masyarat ilmu ( knowledge society ) dan budaya ilmu ( knowledge culture ).
Paska wafatnya Rasulullah saw, para khalifah Islam juga menunjukkan kecintaannya pada ilmu. Ilmu harus disebar luaskan kepada masyarakat. Maka ketika khalifah Umar bin Khattab sukses menaklukkan Irak (Qodisiya) dari kerajaan Persia. Beliau mengirim sepuluh orang utusan nan ditugaskan buat mengajarkan penduduk Basrah.
Delegasi tersebut diantaranya: Abdullah bin Mughfal al Mazniy, Imran bin Hushain al Aslamiy, dan Abu Musa al Asy'ariy. Lalu di mesjid kota Bashrah ini Abu Musa Al Asy'ariy membuka majelis ( halaqoh) ilmu buat mengajar masyarakat. Sejarah intelektual Islam makin hari makin terukir.
Dari majelis tersebut lahirlah para ulama-ulama kaliber nan namanya terkenal diberbagai kota Islam. Sebut saja Sa'id bin Musayyab (w 92 atau 94 H), Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib di Madinah (w 94 H), Ato' bin Abi Rabah di Mekkah, Thawus di Yaman, Yahya bin Katsir di Yamamah, Hasan Bashri di Bashrah, dan sederetan nama besar lainnya nan tertulis dalam sejarah intelektual Islam.
Sejarah intelektual di global Islam begitu semarak dan mempesona. Geliat ilmu pengetahuan menjalar kelapisan masyarakat. Pengetahuan ialah hak semua masyarakat. Para khalifah dan sultan memberi dukungan penuh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di wilayah kekuasaannya.
Sejarah Intelektual - Kemegahan Sejarahnya
Kemegahan sejarah intelektual itu mengatakan bahwa pada abad kedua Hijriyah telah berdiri madrasah hadits dan fiqh di Madinah nan dipimpin oleh Muhammad Baqir bin Husain. Sama halnya dengan madrasah Imam Malik, di Bashrah terkenal dengan madrasahnya Abu Hanifah, madrasah ra'yi dan ijtihad. Sementara kota Kufah dan juga Bashrah masyhur dengan sebutan madrasah lughah (bahasa).
Sejarah intelektual di global muslim tidak kenal lelah. Seiring semakin luas dan pesatnya futuh al buldan (pembebasan negeri-negeri), pada abad kedelapan (8 M) luas kekuasaan Islam sudah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander The Great di Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko), termasuk Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, dan semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) dan India. Hubungan dengan budaya setempat pun tidak bisa dielakkan. Di sini kaum muslim terdorong mempelajari tradisi dan intelektual negeri taklukannya.
Dengan semangat kecintaan terhadap ilmu, sejarah intelektual Islam dihiasi oleh intensitas penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab. Penerjemahan tersebut sudah dimulai semenjak permulaan Daulah Umayah nan disponsori oleh Khalifah Khalid bin Yazid. Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz juga turut memberi andil dalam aktivitas penerjemahan buku-buku kedokteran, kimia, dan geometri.
Kegiatan penerjemahan baru melembaga pada masa Daulah Abbasiyah dan mencapai keemasannya pada masa Khalifah Al-Ma'mun (w 833). Dialah nan membangun Bait al-Hikmah . Akademi ini tak hanya berfungsi sebagai forum terjemah melainkan juga loka pengembangan sains dan filsafat.
Ma'mun juga terkenal sebagai sosok nan cinta ilmu dan pernah mengirim utusan ke seluruh kerajaan Bizantium buat mencari buku-buku Yunani dalam berbagai subjek. Penerjemahan ini tak hanya berkisar pada warisan Yunani, tetapi juga mencakup peradaban lainnya seperti Persia dan India. Ini ialah bukti bahwa para penguasa memiliki andil besar dalam sejarah slam.
Di antara buku-buku Yunani nan telah diterjemahkan dan termasuk di dalamnya karya Plato seperti Thaetitus , Cratylus , Parmenides , Tunaeus , Phaedo, dan Politicus dan karya Aristoteles, seperti Categoriae , Rethorica , De Caelo , Ethica Nichomachaea . Dan menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh buku induk saintifik Yunani sukses diterjemahkan, meliputi berbagai disiplin ilmu kedokteran, matematika, astronomi, fisika, filsafat, astrologi dan alchemy (kimia).
Dari semangat kecintaan terhadap ilmu, sejarah dipenuhi ilmuan-ilmuan besar semisal Alkindi, Al Farraby, Ibnu Sina, Al Ghazali, Assyafi'I, Maliki, Ibnu Khaldun, Ibnu Thufail dan jajaran ilmuan lainnya, baik berasal dari Timur maupun dari Barat-Islam (Andalusia). Lahirnya majemuk aliran-aliran pemikiran, ataupun mazhab di masing-masing bidang keilmuan, seperti filsafat, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, tasawuf, dan sebagainya membuat dinamika keilmuan dalam sejarah intelektual umat muslim semakin menggeliat.
Dinamika keilmuan dalam sejarah tersebut, tampak bagaimana sengitnya 'serangan' Imam Ghazali terhadap filsafat -dimana ia juga seorang filosof- nan terlihat dalam bukunya Tahafut al Falasifa . Hal ini tak berhenti begitu saja, bahkan sepeninggal Ghazali buku itu mendapat tanggapan balik oleh Ibnu Rusyd (w 1198 M) dalam bukunya Tahafut at Tahafut . Kecintaan terhadap ilmu mengantarkan para sarjana Muslim berada di depan peradaban manusia dan sejarah merekam prestasi keilmuan itu.
Sejarah Intelektual - Ilmu Menyatu dengan Agama
Ilmu adalah syi'ar (identitas) Islam. Ilmu diorientasikan buat sosialisasi dan pendekatan terhadap Sang Pencipta serta buat kemashlahatan manusia. Melalui ilmu, manusia menuju kepada kesempurnaan ( kamal ). Bila sebaliknya nan terjadi, maka perlu pemikiran ulang terhadap konsep ilmu itu sendiri.
Dalam sejarahnya, ilmuan muslim tak memisahkan antara ilmu dan agama. Kedua-duanya menyatu tak terkotak-kotak. Jadi ilmu nan diinginkan ialah ilmu nan bisa mendekatkan diri pada sang khaliq dan sejarah Islam membuktikan hal itu.
Dalam Islam, kata ilmu memiliki spekrum nan sangat luas, tak sekedar ilmu-ilmu agama tapi juga mencakup ilmu-ilmu alam. Pembagian nan ketat terhadap kedua ilmu tersebut merupakan sebuah reduksi terhadap ilmu nan disinyalir dalam al-Quran. Kriteria keterpujian ilmu dilihat dari kebergunaannya dan ilmu tersebut mampu membawa manusia kepada Tuhan.
Bidang ilmu apa saja nan memiliki karakteristik seperti itu merupakan ilmu terpuji dan memperolehnya ialah sebentuk ibadah. Sejarah intelektual kaum muslimin, tak memperlihatkan adanya restriksi satu subjek ilmu tertentu.
Ilmu nan berkembang dalam Islam tak bisa dilepaskan dari dimensi ilahiyah. Motivasi sarjana Muslim pada era kegemilangan Islam dalam pencarian ilmu-ilmu kealaman ialah upaya mengetahui tanda-tanda Tuhan di alam semesta. Kajian mereka terhadap alam didasarkan pada pandangan global mereka nan religius.
Konsep ilmu dalam Islam memiliki keunikan tersendiri. Ilmu dalam Islam menyatu dengan akhlak dan bagian dari agama. Ini berbeda bila kita melihat sejarah nan berkembang pada peradaban Yunani nan mengabaikan akhlak dari ilmu atau peradaban Barat nan memisahkannya dari agama.
Akan sangat membahayakan bila ilmu lepas dari agama. Hal itu sebab ilmu nan demikian itu akan menjelma menjadi malapetaka bagi umat manusia. Di mana ilmu tak lagi dipergunakan buat kepentingan bersama, tetapi sebagai alat pemuasan pribadi. Tentunya hal ini akan memperburuk catatan sejarah intelektual itu sendiri.