Kenapa Indonesia Tak Mau ke Mahkamah Internasional?
konkurensi perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di Pulau Ambalat kembali memanas. Provokasi Malaysia ditengarai sebagai penyebabnya. Ini menjadi contoh kasus konkurensi internasional nan menghebohkan. Pasalnya, konkurensi ini sudah berkali-kali terjadi. Bukan di tahun 2009 saja, tahun 2005 pun sudah terjadi.
Ambalat memang menjadi contoh kasus konkurensi internasional sebab berdasarkan laporan TNI AL tentang pelanggaran wilayah bahari Ambalat oleh angkatan bahari Malaysia. Apa sesungguhnya nan terjadi? Di dalam artikel ini penulis ingin memaparkan apa saja nan ada di Ambalat sehingga menjadi incaran malaysia.
Mengenal Ambalat
Ambalat bukan sebuah pulau. Ia merupakan kawasan bahari nan memiliki luas sekitar 6.700 kilometer persegi. Posisinya berada di antara Pulau Kalimantan dengan Sulawesi. Bila dilihat dari posisi geografisnya, ada di antara 118 hingga 120 derajat bujur timur. Sedangkan garis lintangnya ada berada di antara 3 dan 5 derajat lintang utara.
Bila ingin mengunjungi Ambalat dari Tarakan , Kalimantan Timur, maka perjalanan tersebut bisa ditempuh dengan boat sekitar 2 jam. Ambalat memang dekat dengan Malaysia. Bila dilakukan perjalanan dari Kota Tawau, Sabah, Malaysia, ia memiliki jeda berkisar sekitar 150 kilometer ke arah timur.
Apa keistimewaan Ambalat sehingga begitu diperbutkan? Ternyata, ada bersemayam emas hitam di bawah bentangan bahari dalam Ambalat. Catatan adanya emas hitam tersebut ada dalam peta minyak dan gas milik Indonesia maupun Malaysia.
Di dalam buku “Heboh Ambalat” dicantumkan bahwa pemerintah Indonesia telah membuka tambang migas di Ambalat nan diberikan kepada dua perusahaan asing dengan sistem bagi hasil. Di Ambalat bagian barat, Indonesia bekerjasama dengan Ente Nazionale Indrocarburi (ENI) Ambalat Ltd. nan berasal dari Italia dengan luas 1.990 kilometer persegi. Sedangkan di bagian Timur Ambalat, pemrintah Indonesia bekerjasama dengan Unocal Ventures Ltd. dengan luas 4.175 kilometer persegi.
Bayangkan, terjadinya perebutan Ambalat lantaran dalam catatan ENI setiap harinya didapat cadangan minyak berkisar 30.000-40.000 barel dengan lima sumur minyak nan ada. Ini masih nan di bagian barat.
Demikian tentunya juga nan terdapat di bagian timur. Maka wajar bila ini menjadi perebutan antara Indonesia dengan Malaysia. Sehingga ini pun menjadi contoh kasus konkurensi internasional nan layak menjadi pusat perhatian.
Menilai Malaysia dari Kasus Ambalat
Kasus Ambalat tampak memanas di tahun 2009, ternyata motifnya masih sama dengan insiden Ambalat pada tahun 2005. Awalnya sebab konkurensi kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Ada beberapa sikap nan tak sopan atau tak etis nan berasal dari pemerintah Malaysia.
Pada tahun 1979, Malaysia memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah mereka. Malaysia juga menjadikan Sipadan-Lagitan sebagai dasar buat mengukur wilayah pada zona ekonomi ekslusif (ZEE) mereka. Hal tersebut jelas salah, sebab wilayah Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah nan masih dalam sengketa.
Indonesia melayangkan protes keras terhadap peta Malaysia nan dibuat pada tahun 1979 tersebut. Bagi Indonesia, selain menyertakan Pulau Sipadan dan Lagitan, Malaysia juga melakukan kesalahan-kesalahan lainnya. Peta tersebut menarik secara garis lurus antara Pulau Sipadan dengan pantai timur Pulau Sebatik. Akibatnya, seluruh bahari nan terdapat di Pulau Sebatik diakui milik Malaysia. Menurut hukum sebenarnya Malaysia tak berhak.
Ternyata Malaysia tak tinggal diam. Mereka juga melakukan kesalahan lain dengan menarik garis tengah antara Pulau Sipadan dan Sebatik dengan garis dasar Indonesia pada tahun 1960.
Jelas saja hal tersebut menyebabkan wilayah Malaysia jauh lebih luas hingga meluas ke bawah dan menabrak Ambalat. Maka sejak saat itulah Malaysia berani mengklaim bahwa wilayah Ambalat termasuk ke dalam wilayah Malaysia.
Padahal menurut topografis, Ambalat merupakan wilayah sebagai kelanjutan alamiah dari wilayah Kalimantan bagian timur. Dari sudut hukum kelautan internasional, Ambalat memiliki interaksi dengan Pantai Kalimantan Timur.
Meski demikian, kenyataannya, Malaysia tetap nekad mengklaim bahwa Ambalat termsuk ke dalam wilayah Malaysia. Padahal Malaysia sendiri mengetahui dengan niscaya bahwa Ambalat berada di Indonesia.
Namun anehnya, Malaysia ambil keputusan sendiri. Hal inilah nan kemudian membuat situasi makin ricuh sebab pihak dari Malaysia tidak mau berbicara kepada pemerintah Indonesia. Padahal, sebagai negara tetangga, pembicaraan mengenai wilayah dan perbatasan sangat perlu.
Selain mengklaim wilayah Ambalat ialah miliknya, Malaysia juga menjustifikasi bahwa Karang Unarang nan berada di sebelah timur Kalimantan merupakan wilayah nan termasuk ke dalam Malaysia. Anggapan mereka ini terjadi lantararan pihak Malaysia melakukan penarikan secara garis lurus antara Sipadan dan Sibatik. Padahal hal ini sungguh tidak dapat dilakukan sebab terlalu jauh.
Jadi, sangat tak dapat dimengerti mengapa Malaysia dengan begitu lantang berani menjustifikasi bahwa Karang Unarang milik mereka. Padahal wilayah tersebut berjarak kurang dari 12 mil dari pantai Pulau Sebatik sebelah selatan, nan sudah konkret merupakan wilayah Indonesia.
Seharusnya, Malaysia paham mana batas wilayah miliknya dan milik negara tetangganya. Karang Unarang termasuk wilayah Indonesia. Namun anehnya, ketika pekerja Indonesia sedang memasang seperangkat rambu-rambu pelayaran, malah ditangkap tentara Malaysia dan dituduh memasuki wilayah Malaysia.
Dari sini, tampaklah bahwa Malaysia bukanlah tergolong sebagai negara tetangga nan baik. Pasalnya, tidak pernah ingin berkomunikasi dengan negara tetangganya. Mestinya, sebagai negara nan memiliki bahasa nan hampir sama hendaknya mau berdiksusi dan membicarakan batas wilayah dengan baik dan bijaksana.
Kenapa Indonesia Tak Mau ke Mahkamah Internasional?
Indonesia tidak mau membawa masalah Ambalat ke mahkamah internasional sebab trauma dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Tak hanya itu, jika menyelesaikannya melalui mahkamah internasional juga membutuhkan biaya nan besar dan memakan waktu nan cukup lama.
Bayangkan saja, buat masalah Sipadan dan Ligitan saja waktu itu Indonesia mengeluarkan uang dalam penyelesaian kasus tersebut hingga 90 miliar US $. Kebanyakan uangnya habis buat membayar pengacara asing dari Amerika dan Perancis.
Sedangkan Malaysia sendiri tidak mau menggunakan prosedur regional di ASEAN . Karena Malaysia ialah negara nan punya persoalan-persoalan dengan beberapa negara nan tergabung dalam ASEAN. Seperti Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand. Semuanya berkaitan dengan batas laut. Di sinilah letak ketakutan Malaysia. Mereka takut bila negara-negara tersebut memihak kepada Indonesia.
Sejatinya, permasalahan perbatasan memungkinkan buat diselesaikan dengan cara bilateral. Contoh kasusnya ialah Indonesia dengan Vietnam selama bertahun-tahun lamanya. Indonesia pernah berunding dengan Vietnam Selatan ihwal perbatasan dekat Natuna nan terjadi pada tahun 1971. Dan kesepakatannya baru tercapai pada tahun 2002 setelah perundingan tersebut berlangsung alot.
Dari sini, bisa dipahami bahwa kesepakatan tetap bisa tercapai walaupun Indonesia dan Vietnam memiliki dasar hukum nan berbeda. Karena dalam pasal 33 Piagam PBB ihwal Hukum Bahari Internasional disebutkan, jika tak dapat diselesikan secara bilateral, maka menggunakan alternatif nan lain. Yaitu mediator, arbritrator, dan prosedur regional.
Sejatinya, Indonesia sudah berkali-kali menyelesaikan masalah perbatasan bahari dengan cara-cara nan berbeda. Salah satunya dengan joint development . Ini terjadi pada tahun 1989, sebab bertahun-tahun lamanya tidak menemui jalan penyelesaian.
Indonesia sepakat tak akan membuat garis pembatas dengan Australia di wilayah Celah Timor. Indonesia dan Australia sepakat buat membuat perjanjian atrau kesepakatan nan bertajuk joint development . Yaitu, dengan cara bersama-sama melakukan kegiatan ekonomi di wilayah nan disengketakan.
Ini sejatinya dapat dilakukan dengan Malaysia. Karena Malaysia juga sudah melakukan hal nan sama dengan Vietnam dan Thailand. Namun entah kenapa buat kasus Ambalat ini Malaysia tidak mau menggunakan cara joint development . Indonesia sudah menawarkan, namun Malaysia tetap bersikukuh menyatakan bahwa Amalat ialah milik mereka. Mereka lebih siap bila kasus ini dibawa ke mahkamah internasional.
Malaysia memang saudara serumpun dan tetangga Indonesia. Namun Malaysia bukanlah tetangga nan baik. Entah sampai kapan kasus Ambalat akan berhenti dari persengketaan.
Inilah artikel singkat tentang contoh kasus konkurensi Internasional nan terjadi antara Indonesia dengan Malaysia dalam perebutan bahari Ambalat. Semoga bermanfaat.[]