Bali Akan Menjadi Benteng Terakhir Budaya Indonesia
Tidak seperti di sebagian besar pulau lainnya nan dihuni mayoritas Muslim Indonesia, Bali ialah kantung dari agama dan budaya Hindu. Setiap unsur kebudayaan Bali selalu diliputi dan berkaitan dengan agama Hindu, atau apa nan kita perkirakan begitu, sebab tanda-tanda nan paling terlihat lebih kentara muatan lokal, semisal persembahan kecil (sesajen) bunga, beras ketan dan garam sedikit nampan daun bambu, ditemukan di setiap rumah Bali, restoran, kios suvenir dan bandara saat check in.
Semua itu ditaburi dengan air kudus tak kurang dari tiga kali sehari, sebelum makan. Hindu Bali sendiri, menganut ajaran Mahayana (kereta besar).
Dan menurut seorang mitra bermarga Djelantik. Para Brahmana Hindu asal Bali banyak nan membuat tafsiran baru, dan kitab-kitab nan memperbarui ajaran Hindu . Apa nan tampak sebagai unsur unsur kebudayaan Bali itu ialah perubahan di masyarakat itu sendiri. Misalkan Tari Bali dan musik Bali dengan aroma mistis dan filosofisnya.
Seperti, budaya di Jawa, tarian Bali meliputi:
- Barong atau "barongsai"
Sebuah tarian ritual nan menggambarkan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, dengan pemain mengenakan topeng menakutkan seperti singa.
- Kecak atau " tarian monyet "
Sebenarnya diciptakan pada tahun 1930 oleh penduduk asal Jerman Walter Spies buat film tapi menjadi sebuah tontonan tetap, dengan 250 penari dalam lingkaran konsentris meneriakkan "kecak kecak", sedangkan pemain di tengah bertindak menari seperti spiritual.
Perubahan budaya bagi orang Bali ialah bagian dari budaya. Seorang sosiolog Bali, dan profesor di Universitas Surabaya di Jawa Sujana, mengisahkan bahwa orang Bali cermat mempertahankan posisi kritis berdasarkan melihat hal-hal baru dari luar pulau menyatakan bahwa Bali mudah dicekoki dengan martabat reputasi wisata mereka luar negeri dan tak perlu concern dengan "keaslian bukti diri budaya Bali".
Karena budaya harus serius dikompromikan. Lebih tepatnya, ia menjelaskan bagaimana pembukaan Bali ke global luar melalui pariwisata internasional membawa sebuah gerakan simultan meninggalkan unsur budaya adat dan mengadopsi unsur-unsur budaya asing nan membatalkan interaksi orang Bali dengan dewa-dewa mereka, sesama manusia, dan lingkungan mereka, lambat laun unsur kebudayaan Bali sedang mencair dan terbawa ke bahari budaya global oleh gelombang pariwisata. (Sujana 1988).
Identitas Budaya Bali
Apakah ini semacam peringatan, mungkin bukan, dan hari berikutnya, Bali Post mengabdikan editorial buat pertanyaan tentang bukti diri budaya Bali. Pada hari-hari dan minggu-minggu berikutnya, surat kabar menerbitkan reaksi pembaca entah tertekan atau entah malah marah, serta wawancara dengan berbagai pemuka Bali, buat sebagian besar akademisi mengambil bagian dan berikut pejabat tinggi.
Counter budaya pada arus nan mengikuti evolusi dari isu-isu baru nan mengungkapkan banyak tentang tantangan pariwisata di Bali, dalam hal rekapitulasi dengan cara akselerasi transformasi pariwisata budaya ke dalam budaya wisata dunia, cenderung melambat.
Editorial dimulai dengan mengingatkan orang Bali bahwa mereka harus menganggap diri mereka di atas semua orang Indonesia. Dan dari saat pemerintah pusat memutuskan buat membuat pulau menjadi corong dan ventilasi wisata Indonesia, maka menjadi tidak terelakkan bahwa global tradisional Bali akan menderita pergolakan, beberapa nan akan menyakitkan.
Itu terserah Bali, oleh sebab itu, buat menunjukkan diri orang Bali sebagai sama dengan ujian dan naik ke tantangan pariwisata.
Kemudian artikel pertama di mulai mempertanyakan dasar sosiologi orang Bali, bersikeras, “Tidak sahih ke-Balian orang Bali memudar.” Hal ini sebab bukti diri budaya Bali harus dilihat dalam dimensi ganda: struktur banal (Luar) dan struktur batin (Dalam,). Struktur batin ialah fondasi agama masyarakat Bali (Agama) dan nilai-nilai solidaritas komunal nan mendukung forum adat (adat), dan itu sama sekali tak terancam.
Hanya struktur banal nan memudar (dan pada kenyataannya itu ialah bukti dari dinamika budaya Bali di mana orang Bali telah mampu memanfaatkan kekayaan buah seni budaya Bali (seni) buat mengembangkan pariwisata) nan menganut urgensi waktu dan menyesuaikan diri dengan transformasi lingkungan.
Setelah masa perdebatan, beberapa orang diwawancarai menegaskan pada pertanyaan, "ke-Balian orang Bali Apakah lebih kuat dari sebelumnya?" Jawabannya budaya Bali terkenal pada ketahanan dinamis, dan kesamaan orang Bali buat mengadopsi hanya apa nan sinkron dari pengaruh asing dan, di atas semua, buat mengubah dan memasukkan Bali sinkron dengan perintah lokal jenius Bali sendiri.
Dalam kondisi ini, para wisatawan akan sangat tertarik dalam budaya Bali nan menjadi stimulan egosentrisme budaya, alias dapat memperlihatkan modern sambil tak meninggalkan budaya lama, dalam hal ini ialah masalah dari kedua kebanggaan dan laba bagi orang Bali.
Tidak ada nan mengejutkan tentang hal ini, sejauh ini. Tapi apa nan tampaknya signifikan bagi aku ialah bahwa salah satu argumen primer nan diajukan buat membantah pandangan kiamat sudah dekat atau kehancuran Bali oleh pariwisata salah.
Bali Akan Menjadi Benteng Terakhir Budaya Indonesia
Sebuah survei di antara pembaca surat kabar diambil pada kesempatan ini, menunjukkan bahwa sementara 40% dari orang nan diwawancarai dikaitkan dengan pengaruh wisatawan nan akan mengerosi ke-Balian, 60% berpikir bahwa, sebaliknya, meningkatnya jumlah kedatangan turis di Bali malah menjadi bukti terbaik dari kekuatan daya tarik budaya bukti diri Bali (Widminarko 1989).
Jadi semakin banyak wisatawan datang ke Bali, maka semakin eksotis lah budaya Bali. Dengan premis :
- Karena wisatawan itu bukan datang buat melihat mall-mall dan pembangunan di negara berkembang.
- Karena wisatawan asing ingin mempelajari budaya Indonesia.
- Karena wisatawan asing bukan ingin melihat pantai-pantai saja.
- Karena wisatawan asing ingin lari dari kemajuan nan menjemukan pada suasana rural nan akrab dan hangat.
Itulah nan di jual Bali. Dan 60 % orang Bali percaya bahwa Bali menarik bagi wisatawan “karena mereka sangat Indonesia”. Masih menjadi benteng terakhir dari budaya Indonesia, di saat daerah daerah lain meninggalkan karakteristik komunalitas mereka, meninggalkan budaya leluhur mereka.
Dengan demikian, sinkron dengan gambaran Bali, orang Bali tak hanya dituntut buat mereka sendiri, tetapi buat Bali dan harus menjadi wakil-wakil nan layak bagi "ke-Balian", Bali harus menjadi hayati mereka. Dan semua upaya Bali pada penegasan bukti diri Bali hanyalah reaksi terhadap perintah ini dari mana Bali tak bisa melepaskan diri.
Budaya wisata tengah menjadi brand image Bali (menandai keunikan produk wisata, yaitu dimana pulau Bali mencoba buat membedakan dirinya di pasar internasional nan sangat kompetitif) budaya telah menjadi, penanda bukti diri bagi orang Bali.
Tekad nan mewarnai mereka sebagai masyarakat dengan unsur kebudayaan Bali nan inheren tertentu, nan dimana orang Bali mendefinisikan dan mengenali diri sendiri dalam kemandirian kultural. Fakta bahwa Soekarno pemimpin pertama Indonesia berdarah Bali menunjukkan kemandirian berbangsa, dan gerakan budaya anti imperialisme asing menunjukkan hal itu.
Orang Bali boleh diremehkan, orang Bali boleh di sebut tak modern, orang Bali dapat saja bukan selera Anda dalam pembangunan. Tidak perlu ambil pusing. Yang jelas pulau Dewata ialah unik. Dan orang Bali ialah mereka nan paling unik, hingga zaman semakin tua.
Itulah sedikit klarifikasi mengenai unsur kebudayaan Bali. Kita patut berbangga sebab kita memiliki Bali nan terkenal di dunia. Selain itu dapat menjadi contoh bagi kita kan buat selalu melestarikan budaya Indonesia.