Mafia Pertandingan di Musim 2006-2007
Tahun 2006, Perserikatan Italia diguncang dengan skandal mafia pengatur pertandingan. Skandal mafia nan terkenal dengan nama Calciopoli atau Moggiopoli ini menyentak seluruh dunia. Serie A, perserikatan nan sempat menjadi barometer sepakbola global pada era akhir 1990-an hingga awal 2000-an, berada di salah satu titik terbawah dalam sejarah mereka.
Jika skandal mafia pengaturan skor diikuti oleh klub-klub kecil, barangkali efeknya tidak seberapa. Namun, ketika klub sekelas Juventus, AC Milan, Lazio, dan Fiorentina bekerjasama dengan mafia pertandingan, lain ceritanya. Skandal mafia ini diawali dari pemeriksaan terhadap agensi sepak bola Italia, GEA World.
Dalam pemeriksaan ini, disebutkan bahwa pada musim 2004-2005, Luciano Moggi, manajer primer Juventus, melangsungkan pembicaraan dengan beberapa tokoh krusial di sepak bola Italia buat mempengaruhi penunjukan wasit. Sebenarnya, bukan misteri lagi kalau Juventus kerap dibantu oleh wasit. Namun, selama ini belum ada bukti tentang mafia pertandingan nan berkaitan dengan Juventus.
Mafia Pertandingan di Musim 1999-2000, Lazio Nyaris Gagal Juara
Kita dapat menengok dalam perburuan gelar musim 1999/2000. Kala itu, Juventus nyaris juara. Mereka unggul 9 angka dari Lazio hingga pekan ke 20-an. Namun, dengan gagah berani, Lazio mampu mengejar ketertinggalan hingga tinggal defisit 2 angka. Petaka pun terjadi pada pekan 33 musim tersebut. Kala itu Juventus menjamu AC Parma, salah satu klub nan sempat masuk dalam Seven Magnificent-nya Serie A.
Dalam laga tersebut, Juventus menang 1-0. Namun, ada sebuah gol Parma nan dianulir. Gol tersebut lahir dari tandukan Fabio Cannavaro nan saat itu masih menjabat sebagai kapten Parma. Dari tayangan ulang terlihat tak ada pelanggaran apa pun. Wasit nan menguntungkan Juventus ini kemudian mengundang protes dari Laziale, suporter Lazio. Mereka menduga keras terjadi pengaturan skor nan dilakukan mafia pertandingan agar Juventus menjuarai Serie A musim tersebut.
Sepanjang minggu, Laziale turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi menuntut agar ada perubahan besar menyangkut hasil pertandingan Juventus vs Parma. Bahkan, mereka mengumandangkan jargon “ Play off atau Perang”. Maklum, seandainya gol Fabio Cannavaro sah, skor akan menjadi 1-1. Dengan demikian, Juventus memiliki poin 69, sama dengan Lazio. Namun, demonstrasi ini tak digubris. Bahkan, beberapa Laziale sempat menghadapi pentungan petugas keamanan.
Italia pun memanas pada pekan 34 atau pekan terakhir Serie A nan saat musim tersebut, Serie A masih memiliki 18 klub peserta, sementara saat ini 20 klub. Laziale sampai-sampai mengusung keranda ke Stadion Olimpico saat klubnya berlaga. Keranda tersebut difungsikan sebagai insinuasi kepada federasi sepakbola Italia (FIGC) dan penyelenggara Perserikatan Italia, Lega Calcio terhadap mafia pertandingan. Laziale menyatakan bahwa sepak bola sudah wafat sebab skandal laga Juventus vs Parma oleh mafia pertandingan.
Namun, keajaiban nan tidak disangka-sangka justru terjadi. Lazio sukses menang menghadapi Piacenza dengan skor 3-0. Para penonton turun ke lapangan Stadion Olimpico, mencabuti rumput, jala, dan bahkan meminta kaus dan celana para pemain Lazio. Akibatnya, pemain seperti Juan Sebastian Veron, harus rela cuma memaki kaus dan celana dalam saja. Sementara itu, Juventus bertandang ke markas Perugia. Yang lebih dramatis, sempat terjadi hujan deras nan memaksa pertandingan dihentikan.
Semestinya, pertandingan Perugia vs Juventus dan Lazio vs Piacenza dilangsungkan secara serentak. Namun, hujan ini membuat laga Juventus terhenti lebih dari 45 menit. Akhirnya, dengan lapangan basah, wasit Pierluigi Collina memulai lagi pertandingan babak kedua. Secara dramatis, Alessandro Calori, bek Perugia, mampu mencetak gol di menit 49. Juventus nan diprediksi menang mudah dari klub tersebut, justru akhirnya kalah 1-0. Alhasil, poin mereka nan cuma 71, disalip oleh Lazio nan berjumlah 72.
Media pun ramai memberitakan pesta kampiun Lazio musim tersebut. Pertama, kebetulan gelar scudetto ini tepat dengan seremoni 100 tahun berdirinya Lazio (sejak 1900). Kedua, tentu cara nan begitu heboh dalam memenangkan kampiun liga, meski terkait mafia pertandingan. Bahkan, titel Lazio dibubuhi kata-kata “ Incredibile lotta Scudetto ” (Peraih Kampiun dengan Cara Yang Sangat Tidak Masuk Akal). Dalam hal ini, Lazio berhasil mengalahkan mafia pertandingan nan sempat mengatur Juventus buat menjuarai liga.
Mafia Pertandingan di Musim 2006-2007
Sebenarnya, pasca tragedi musim 1999-2000, masih ada beberapa momen mafia pertandingan ketika Juventus dibela wasit. Mereka dengan mudah mendapatkan hadiah penalti dan sering mengamankan 3 poin dengan kemenangan tipis atau gol di menit-menit akhir. Namun, bukti pengaturan skor belum meledak hingga terbongkarnya mafia C alciopoli tersebut. Mafia Calciopoli sendiri juga disebut sebagai Moggiopoli sebab manajer Juventus, Luciano Moggi menjadi tersangka primer dalam mafia pengatur skor pertandingan.
Lalu, apa sanksi setimpal bagi klub-klub nan terlibat dalam mafia Calciopoli ? Juventus sempat direncanakan turun ke perserikatan di bawah Serie B, dapat Serie C1 atau C2. Namun, pada akhirnya, Bianconeri, demikian julukan klub ini, cuma diturunkan ke Serie B. Juventus juga mesti menjalani kompetisi musim 2006-2007 dengan poin minus 17. Barulah kemudian sanksi dari praktik mafia pertandingan diperlunak menjadi pengurangan 9 angka.
AC Milan, Fiorentina, dan Lazio awalnya juga sempat diancam akan diturunkan ke Serie B. Namun, akhirnya sanksi ini melunak menjadi pengurangan poin dan klub-klub tersebut tetap bisa berlaga di Serie A. Reggina nan awalnya tak terdeteksi, akhirnya terkena getah juga. Klub lemah ini mendapatkan pengurangan poin meski tetap bermain di Serie A.
Uniknya, klub-klub nan dihukum sebab mafia pertandingan ini justru tampil kesetanan di musim 2006-2007, musim di mana mereka mendapatkan sanksi. Juventus langsung menjadi kampiun Serie B dengan selisih nan sangat jauh dari peringkat kedua. Artinya, mereka cuma butuh setahun kembali ke Serie A. Lazio dan AC Milan, meski mendapatkan pengurangan poin nan signifikan, malah sukses lolos ke kualifikasi Perserikatan Champions.
Demikian pula dengan Fiorentina nan sukses mendapatkan tiket ke Europa League (dulu UEFA Cup). Bahkan, Reggina nan terlemah di antara kelima klub nan terlibat dengan mafia pertandingan, berhasil lolos dari zona degradasi.
Skandal mafia Calciopoli memang menjadi tamparan keras bagi sepak bola Italia. Namun, bukan berarti tak terulang. Misalnya, pada Juli-Agustus 2011, didapati beberapa pemain terlibat dalam skandal mafia judi dan pengaturan skor. Pemain terkenal, Cristiano Doni (Atalanta) malah diganjar tiga setengah tahun tak boleh bertanding sebab bergelut dalam masalah ini. Alhasil, Doni nan sudah berusia 38 tahun terpaksa gantung sepatu dengan cara memalukan.
Lalu, bagaimana nasib dengan Luciano Moggi sang dedengkot mafia pertandingan? Ia dihukum seumur hayati tidak boleh terlibat dalam sepak bola Italia sejak Juni 2011. Ketegasan seperti di Italia inilah nan semestinya diterapkan di Perserikatan Indonesia. Meskipun sekarang skandal mafia di Indonesian Premier League (IPL) tak terjadi, di perserikatan ilegal seperti ISL (Indonesia Super League) isu adanya mafia wasit masih kental terasa.
Bahkan, terlalu banyak instruktur dan pemain nan merasa dikerjai wasit. Biasanya, klub-klub ISL sangat mudah mendapatkan hadiah tendangan penalti atau gol-gol di menit akhir pertandingan. Kalau tidak, salah satu pemain tim tamu akan diberi kartu merah oleh wasit atas pelanggaran nan sebenarnya cuma berbuah kartu kuning. Belum lagi terhindarnya pemain-pemain bintang dari sanksi kartu meskipun mereka bertindak brutal, termasuk adu jotos atau adu jambak dengan pemain lawan. Karena saking seringnya hal ini terjadi, layaklah kita patut curiga. Seberapa jauh mafia pertandingan berperanan di ISL?