Kurangnya Pelayanan Prima di Timnas Argentina
Seorang penyerang terhebat sekalipun membutuhkan pelayanan prima dari rekan-rekannya, terutama dari sektor gelandang buat mencetak gol. Tanpa pelayanan prima, jumlah gol penyerang tersebut akan menurun drastis. Tanpa pelayanan prima pula, sang penyerang akan melakukan dua hal.
Jika ia termasuk penyerang oportunis nan terlalu haus mencetak gol, ia akan mudah frustrasi dan menyalahkan para gelandang. Namun, jika ia termasuk penyerang nan pandai mengolah bola dan pandai meredam ego, penyerang ini terpaksa turun jauh ke tengah lapangan sebab tak mendapatkan pelayanan prima dari teman-temannya.
Banyak contoh bagaimana seorang penyerang papan atas global nan hampir setiap pertandingan mencetak gol, akan berubah melempem ketika tidak mendapatkan pelayanan prima. Salah satu contoh nan paling mencolok ialah Lionel Messi sang penyerang Argentina dan Barcelona. Messi begitu tajam ketika bermain di Barcelona dan keadaan sebaliknya terjadi di timnas Argentina. Begitu sulit Messi mencetak gol sebab tidak memiliki rekan gelandang nan memberikan pelayanan prima.
Pelayanan Prima Gelandang-gelandang Barcelona
Lionel Messi menjadi perhatian global bukan hanya sebab tubuhnya nan mungil. Messi dikenal memiliki skill individu nan begitu matang. Meskipun usianya masih muda, Messi sudah dianggap setara dengan dewa, nan nyaris tidak tersentuh ketika memegang bola. Bek versus mana pun akan memerah mukanya sebab dengan mudah dihabisi oleh kelincahan Messi. Kehebatan Lionel Messi menjadi-jadi di Barcelona sebab klub ini memiliki gelandang-gelandang nan mampu memberikan pelayanan prima.
Bagaimana tak akan disebut sebagai pelayanan prima? Di lini tengah Barcelona ada Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Thiago Alcantara, Cesc Fabregas, hingga Cristian Tello nan memiliki kemampuan mengolah bola di atas rata-rata. Selain itu, ada pula sosok Javier Mascherano dan Sergio Busquets, gelandang jangkar nan berfungsi buat menahan bola dan menjadi stabilisator di setiap pertandingan.
Para gelandang Barcelona di atas memiliki kemampuan akurasi passing nan sangat tinggi dan visi bermain nan sangat tajam. Hal ini jelas sangat membantu para penyerang. Gelandang nan cuma bertipe perusak lini tengah, tapi akurasi passing nya rendah, hanya akan membuat para penyerang kebingungan sendiri. Sementara, gelandang nan cuma mengandalkan passing semata, tanpa memiliki visi bermain, tak akan mampu melihat celah kosong di tengah lini pertahanan versus nan dapat dihancurkan dengan umpan-umpan terobosan.
Gelandang nan bervisi tinggi biasanya pula seolah memiliki mata di punggung dan kemampuan merekam jalannya laga dalam sekedipan mata. Sering sekali gelandang seperti ini, nan biasanya dimiliki oleh gelandang asal Spanyol atau Brazil, menyodorkan bola umpan-umpan daerah nan menjadi pelayanan prima bagi striker. Mengapa demikian?
Umpan-umpan daerah sangat sulit dibaca oleh para bek lawan. Ditambah dengan penyerang mumpuni nan sudah sehati dengan para gelandang tersebut, gelandang hendak mengumpan ke manapun, sang striker sudah mengetahui arah bola. Jika hal ini nan terjadi, pelayanan prima para gelandang berkorelasi penuh dengan ketajaman para penyerang.
Hal inilah nan terjadi di Barcelona. Bukan sebuah kebetulan atau hanya ingin mencari sensasi saja jika para instruktur Barcelona lebih menyukai buat mengorbitkan para pemain muda mereka. Logikanya, semakin lama bermain buat sebuah klub, meskipun berbeda jenjang senior dan junior, semakin hafal pula para pemain tersebut dengan visi bermain klub tadi.
Xavi Hernandez ialah gelandang jebolan akademi La Masia nan meroket ke tim senior sejak awal dasa warsa 2000-an. Sementara itu, Andres Iniesta tampil di tim senior Barcelona 3-5 tahun setelah Xavi Hernandez. Kehadiran Lionel Messi cuma berbeda tipis satu-dua tahun dengan kemunculan Andres Iniesta. Wajar jika ketiga pemain ini begitu mengenal karakter masing-masing.
Kasus nan sama juga terjadi pada Thiago Alcantara dan Cristian Tello nan lebih junior daripada Messi. Berada dalam satu naungan dan satu cetakan pola pikir, membuat "hati" mereka menyatu; dan hal ini sama sekali bukan guyonan. Apalagi jika kita menyaksikan sendiri bahwa Barcelona tak membuat sebuah tim; tapi mereka membuat sebuah keluarga sehingga kebersamaan benar-benar terjadi. Atas dasar inilah, Cesc Fabregas langsung mampu memberikan pelayanan prima kepada Lionel Messi dan para penyerang Barcelona lain.
Berbeda dengan Xavi Hernandez dan Andres Iniesta nan memang berasal dari tim junior Barcelona lalu menetap di klub, Cesc Fabregas sempat melanglang ke tanah Inggris pada usia 16 tahun. Yang didatanginya ialah Arsenal, klub papan atas Perserikatan Inggris. Di bawah sepuhan Arsene Wenger, Fabregas menjadi salah satu gelandang flamboyan nan begitu disegani meski usianya belum genap 25 tahun.
Delapan tahun di Arsenal, tak membuat Cesc Fabregas melupakan daratan Spanyol, daerah Catalan, dan sebuah klub nan sudah menetap di hatinya, Barcelona. Maka, pada musim 2011/2012, ia akhirnya kembali ke kampung halaman.
Kekeluargaan di Barcelona membuat Cesc mudah beradaptasi. Selain itu, ia mendapatkan peran nan lebih ringan daripada perannya di Arsenal. Kalau di Arsenal, Fabregas didorong buat menguasai lini tengah sepenuhnya, berlarian ke sana kemari, tak demikian halnya di Barcelona. Kekuatan lini tengah sudah cukup dengan seorang jenderal lapangan bernama Xavi Hernandez atau kalau tidak, Thiago Alcantara atau Andres Iniesta. Cesc didorong lebih ke depan dengan daya jelajahnya nan luar biasa.
Wajar kalau Cesc lebih produktif ketika bermain buat Barcelona. Wajar pula kalau Fabregas langsung bermain kompak bersama Lionel Messi sebab mereka berasal dari satu akademi nan sama. Kualitas, visi bermain, dan kebersamaan pasukan Barcelona inilah nan membuat Lionel Messi selalu mendapatkan pelayanan prima dari para gelandangnya. Dengan pelayanan prima ini pula, Barcelona mampu menjadi klub terbaik global pada akhir dasawarda 2000-an hingga awal 2010-an.
Kurangnya Pelayanan Prima di Timnas Argentina
Kalau gelandang Barcelona selalu memberikan pelayanan prima kepada Lionel Messi, lain ceritanya dengan gelandang timnas Argentina. Hingga awal dasa warsa 2000-an, sebenarnya Argentina masih begitu produktif dalam mencetak playmaker andal. Sebutlah saja Pablo Aimar nan sempat dijuluki titisan Diego Maradona sebelum Lionel Messi. Ada pula Ariel Ortega nan memiliki visi bermain dengan pelayanan prima begitu mumpuni. Masih dapat ditambahkan pula nama Juan Sebastian Veron dan Marcelo Gallardo. Bahkan, beberapa playmaker mumpuni tidak dapat memperkuat Argentina sebab timnas kelebihan stok.
Namun, pada akhir 2000-an, seperti nan terjadi pada beberapa negara kuat di global sepak bola, Argentina mulai kehilangan sosok pengatur agresi nan bervisi tajam dan memberian pelayanan prima. Gelandang serang atau gelandang pekerja keras memang masih tersisa di global sepak bola modern. Namun, mereka bukan lagi tokoh nan mampu memberikan pelayanan prima dan membagi bola dengan baik.
Alhasil, Lionel Messi sering tidak didukung siapa pun di timnas Argentina. Seolah-olah ia tida mendapatkan pelayanan prima, berjuang dan berkreativitas seorang diri demi negaranya hingga ada istilah timnas Argentina ibarat Lionel Messi & Friends saja.
Hal ini kemudian menimbulkan persepsi negatif, bahwa Lionel Messi hanya dapat bermain apik di taraf klub saja, bukan di taraf internasional. Padahal, sepak bola bukanlah permainan seorang individu belaka. Lionel Messi nan hebat tak mungkin dapat bermain sendirian dalam 90 menit. Inilah nan membedakan keberhasilan Messi di Barcelona dan di Argentina.
Di taraf klub, gelandang Barcelona memberikan pelayanan prima sehingga kerja Messi cukup ringan. Di taraf tim nasional, tak ada sosok Xavi Hernandez atau Andres Iniesta nan menyuplai umpan-umpan dengan pelayanan prima kepadanya.