Undang-Undang Ketenagakerjaan di Global Pendidikan

Undang-Undang Ketenagakerjaan di Global Pendidikan

Ada apa dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan kita? Mengapa aksi demonstrasi para pekerja nan menuntut diangkatnya status kerja mereka menjadi karyawan tetap nampaknya semakin marak saja? Mengapa para pekerja nan sudah mengabdi di atas 3 tahun, bahkan ada nan telah mencapai 10 tahun namun belum juga beranjak dari status tenaga kerja kontrak? Apa nan salah dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan?

Padahal dengan hanya menjadi tenaga kerja kontrak, berarti mereka hanya menjadi tenaga kerja kelas dua, nan terbatas hak, tunjangan dan fasilitas lainnya. Sistem nan tidak memihak, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan, menyebabkan mereka mengambil jalan nan terjal. Namun itulah satu-satunya jalan nan dapat mereka lakukan buat mengubah undang-undang ketenagakerjaan menjadi lebih baik, yaitu turun ke jalan.



Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Beberapa Kasus Aksi Demonstrasi Buruh

Memang melakukan aksi demonstrasi, khususnya menyangkut Undang-Undang Ketenagakerjaan ialah satu-satunya jalan nan dianggap tepat dan cepat buat merevisi Undang-Undang ketenagakerjaan. Dengan turun ke jalan, maka media akan mengekspos, sehingga akan menarik perhatian khalayak ramai. Publik pun akan tersentak dan mengetahui apa sesungguhnya nan terjadi dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan..

Bila tak punya keberanian buat melakukan aksi turun ke jalan, maka mustahil publik akan mengetahui kezaliman dan penindasan nan terjadi. Seperti nan terjadi di bulan Januari 2012 ini, tepatnya di ruas jalan tol Cikampek di mana puluhan ribu pekerja dari berbagai perusahaan tumpah ruas memenuhi jalan bahkan menutup ruas jalan tol tersebut buat meminta revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akibatnya arus lalu lintas menjadi wafat total, tidak kurang dari sepuluh kilo meter barisan kendaraan nan praktis tidak bergerak sama sekali.

Belum lagi nan terjadi di Bandung, masih di bulan Januari 2012. Puluhan ribu buruh pabrik nan bergabung ke dalam Organisasi Buruh Seluruh Indonesia meminta jajaran manajemen mengangkat para karyawan kontrak nan telah bekerja sekitar tiga tahun buat diangkat menjadi karyawan tetap sinkron Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Bila dituliskan semua aksi buruh nan pernah terjadi nan berkaitan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, niscaya akan menghasilkan setumpuk buku dengan beratus-ratus halaman. Mereka sebagian besar menuntut perusahaan patuh dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.



Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Nasib Karyawan Kontrak/Outsourcing

Isu pengangkatan menjadi karyawan tetap dan penghapusan sistem outsourcing nampaknya menjadi tema primer dalam setiap aksi para pekerja itu. Kedua isu tersebut memang menjadi ganjalan dalam menjalankan aktivitas pekerjaan mereka selama ini.

Siapa nan nyaman bila bekerja tanpa kepastian? Sebab dengan menjadi tenaga kerja kontrak, maka posisi mereka menjadi labil. Mereka dapat dihentikan sewaktu-waktu, kapan pun perusahaan mau dengan alasan kontraknya tak diperpanjang.

Siapa pun niscaya tak akan suka bila menjadi pekerja kelas dua, yaitu mereka nan bekerja dengan jumlah jam nan sama, mengerjakan pekerjaan nan sama, namun mendapatkan penghasilan dan fasilitas nan berbeda.

Begitu pula dengan pekerja outsourcing . Dengan menjadi tenaga outsorcing , maka mereka harus siap dibayar dengan harga nan lebih murah dibandingkan dengan karyawan tetap dengan pekerjaan nan sama.

Pekerja outsorcing ibarat sapi perah nan hanya dimanfaatkan tenaganya saja, bekerja dan bekerja tak perlu banyak bertanya, apalagi bertanya menanyakan hak-haknya. Menjadi pekerja outsourcing juga ibarat kerbau nan dicocok hidung, dapat digiring ke sana ke mari melakukan tugas nan terkadang tak manusiawi dengan hak-hak nan dikebiri.

Kalau ini nan terjadi jangan salahkan mereka melakukan aksi, menutup jalan membakar ban demi kelangsungan hayati anak dan istri. Jadi, sine qua non solusinya, salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.



Undang-Undang Ketenagakerjaan di Global Pendidikan

Ketidakpuasan terhadap status tenaga kerja kontrak dan outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ternyata bukan hanya monopoli kalangan buruh pabrik saja, tetapi juga merambah ke global pendidikan, di mana guru kerap menjadi korban.

Guru dan global pendidikan. Bila mendengar dua kata tersebut, bayangan kita sepertinya akan terlempar ke "dunia lain". Loka tenang nan terpisah dari hiruk pikuknya dunia, loka ideal nan luput dari kesewenangan dan kezaliman. Benarkah?

Bila ditelisik, dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini, global pendidikan sudah menjelma menjadi industri nan menggiurkan. Kondisi sekolah negeri terutama sekolah dasar nan masih meprihatinkan membuat orangtua, terutama di kalangan perkotaan berpaling pada sekolah partikelir nan menawarkan kelengkapan fasilitas dan kurikulum unggulan serta kualitas guru nan tidak perlu diragukan.

Para orangtua itu merasa lebih kondusif dan nyaman menitipkan anak-anaknya di sekolah dasar partikelir tersebut walaupun bayarannya mencapai dua puluh jutaan hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi uang bulanannya nan seharga minimal satu juta.

Namun anehnya, bayaran nan sudah mahal tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan guru dan karyawannya. Nasib mereka bahkan lebih jelek dari guru sekolah negeri, sekolah nan diklaim tak selevel dan tak sebonafide sekolah partikelir berharga mahal ini. Hal itu terlihat dari para guru nan masih banyak berstatus kontrak walaupun sudah mengajar lebih dari tiga tahun.

Begitu pula dengan karyawan lainnya, seperti para petugas keamanan dan staf rumah tangga ( office boy ), sistem kerja outsourcing menjadi pilihan utama, sebab merupakan solusi nan tepat buat tindakan penghematan. Lalu ke mana larinya pundi-pundi uang itu pergi?

Tak terlalu sulit buat menjawabnya. Sekolah sudah menjadi bagian dari industri. Industri apa pun akan memberlakukan prinsip ekonomi: "dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, menghasilkan laba sebesar-besarnya". Akibatnya, sekolah partikelir tersebut lebih mementingkan langkah investasi ke depan dengan cara melakukan perluasan membuka cabang sekolah baru walau konsekuensinya harus membayar cicilan ke bank dalam jumlah nan besar, seakan melupakan kesejahteraan guru dan karyawan.

Hal nan lebih menyakitkan lagi bila di antara pengusaha pendidikan tadi, setelah mendapatkan hasil nan memuaskan lalu mulai berpaling ke kancah perpolitikan dengan aktif di partai, menjadi anggota dewan, lalu mengikuti pemilukada sambil meneriakkan bermacam slogan, seperti "mari kita tegakkan keadilan", "ayo kita tingkatkan kesejahteraan guru dan karyawan", atau "mari kita bekerja buat memajukan global pendidikan" dan lain-lain. Sangat memuakkan.

Padahal para pengusaha pendidikan nan seperti itu ialah mereka nan berdiri di atas dua kaki. Di satu sisi, bisnis sekolahnya ingin dianggap sebagai yayasan sosial nan nirlaba, sehingga terkesan tidak ingin disamakan dengan perusahaan. Oleh karenanya, tidak perlu memenuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan seperti Kepmenaker No 100/2004 atau UU 13/2003 Pasal 63 ayat (1) dan (2). nan menyebutkan bahwa, karyawan nan dikontrak lebih dari tiga tahun harus dipenuhi kewajibannya sebagai karyawan tetap dan wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh nan bersangkutan.

Ada juga Undang-Undang No.21/2000 tentang Perkumpulan Pekerja. Perkumpulan pekerja nan sebenarnya legalitasnya diakui negara namun sepertinya diharamkan buat berdiri, dengan alasan sekolah bukanlah perusahaan, tetapi hanyalah (lagi-lagi) yayasan sosial nan nirlaba sehingga tidak perlu mengikuti undang-undang ketenagakerjaan seperi itu.

Hal nan paling dihindari: UU No. 13/2003 tentang Pemutusan Interaksi Kerja (PHK), nan jelas-jelas pihak perusahaan harus memberi pesangon sinkron ketentuan. Namun hal ini sepertinya tidak pernah terjadi di industri pendidikan, sebab pihak manajemen nan sekolah seakan menolak yayasan pengelolanya disamakan dengan perusahaan.

Menolak sebagian namun menerima sebagian, begitulah tabiat manajemen sekolah seperti ini. Di satu sisi menolak Undang-Undang ketenagakerjaan, namun di sisi lain ingin memberlakukan Undang-Undang Ketenagakerjaan nan menguntungkan pihaknya sendiri, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang mutilasi gaji karyawan. (PP no 8 tahun 1081) dan pemberlakuan jam kerja di atas 8 jam (Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep-608 /Men/1989).

Padahal peraturan ini sudah dihapus oleh UU No. 13/2003 sebab dianggap tak manusiawi, dan pemberhentian karyawan (UU tenaga kerja Pasal 156 ayat 1), nan kesemuanya mengacu pada Undang-Undang ketenagakerjaan.

Pantas saja bila sekolah nan tampaknya dapat dipercaya dan elite ini memiliki sejarah tenaga kerja nan labil, banyak nan keluar masuk, dan selalu dihiasi oleh orang-orang baru sehingga merugikan orang tua dan murid sekolah itu sendiri. Kalau sudah begini, maka pertanyaannya ialah Apakah Undang-Undang ketenagakerjaan nan diterapkan di global pendidikan itu menjadi sumber solusi, atau "Undang-Undang Ketenagakerjaan malah menjadi sumber konflik?